Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Calon Tunggal di Pilkada 2024

Politik | 2024-10-15 16:13:58
Ilustrasi calon tunggal dan kotak kosong

Pada tanggal 27 November 2024, bangsa Indonesia kembali akan merayakan pesta demokrasi untuk kedua kalinya pada tahun yang sama, yaitu pemilihan kepala daerah, sebelumnya 14 Februari 2024 pesta demokrasi dengan lima kotak suara, dilakukan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pesta demokrasi di tingkat daerah atau lazim disebut pilkada, menjadi penutup rangkaian kontestasi politik di tahun 2024, setelah pilkada usai, lima tahun kedepan kita tinggal memantau dan mengawasi buah dari pilihan kita dibilik suara, mengawasi kinerja eksekutif dan legislatif baik tingkat pusat atau daerah.

Bila mereka yang terpilih itu memiliki kinerja baik tentu akan mendapatkan reward dipilih kembali oleh masyarakat, atau bisa juga berupa punishment dianggap gagal memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan. Masyarakat akan menjatuhkan hukuman dengan memilih kandidat lain, dinilai mampu memperjuangkan aspirasi, keinginan, dan kehendak konstituen. Artinya lima tahun kedepan masyarakat diberikan ruang untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, lima tahun merupakan waktu yang cukup bagi masyarakat menjadi hakim memberikan dua keputusan penting, dilanjutkan atau diberhentikan lewat kota suara pada pemilu berikutnya.

Di dalam sejarah sistem politik Indonesia pemilihan kepala daerah secara langsung di mulai pada tahun 2005, sebelumnya di masa Orde Baru melalui mekanisme pengajuan beberapa nama dari DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota) ke pemerintah pusat, nanti Presiden memutuskan siapa Gubernur terpilih, kemudian Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI) menunjuk siapa yang menjadi Bupati.

Sedangkan di awal reformasi pemilihan kepala daerah sepenuhnya dilakukan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, tanpa ada campur tangan atau intervensi dari pemerintahan pusat. Ternyata pemilihan kepala daerah melalui anggota legislatif (DPRD), tidak mencerminkan sistem perwakilan sesungguhnya, para wakil rakyat itu tidak memilih kepala daerah sesuai aspirasi dari masyarakat, kenyataanya pemimpin daerah yang terpilih bukan merupakan kehendak arus bawah, tetapi dipilih melalui proses jual-beli suara di legislatif atau tingkat elit.

Selain menimbulkan money politics dalam sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, muncul beberapa masalah lain, misalnya setiap laporan pertanggungjawaban kepala daerah yang dibacakan setiap tahun di depan anggota DPRD, kerap dibayang-bayangi wacana pemakzulan (pelengseran) oleh legislatif. Para wakil rakyat merasa kuat sebagai pihak yang mengangkat kepala daerah, menurut mereka juga berhak untuk memberhentikan kepala daerah ditengah jalan, tanpa menunggu periode kekuasaan eksekutif itu berakhir. Kemudian terjadi konflik antara eksekutif dan legislatif terkait kebijakan diambil, biasanya berujung pelengseran kepala daerah, membuat roda pemerintahan daerah terganggu stabilitasnya.

Sistem pemilihan kepada daerah (ode baru dan awal reformasi) itu dinilai bermasalah, karena mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat daerah dalam memilih pemimpinnya, demokrasi mengalami pembajakan oleh elit politik, sehingga pemilihan kepada daerah secara langsung menjadi pilihan.

Pilkada Serentak 2024

Kontestasi politik di tingkat daerah tahun 2024, berbeda dengan pilkada sebelumnya, untuk pertama kalinya pilkada dilaksanakan secara serentak nasional, di waktu bersamaan masyarakat memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah dari Aceh sampai Papua, sebelumnya pilkada dilaksanakan tidak serentak, masing-masing daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki jadwal yang berbeda-beda.

Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah, dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Menjelang Pilkada Serentak 2024, publik tanah air dikejutkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024, keputusan MK ini menganulir pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25%, suara sah dalam pemilu, menjadi 6,5% sampai dengan 10% berdasarkan jumlah penduduk (jumlah pemilih) di daerah itu. Keputusan MK seharunya menjadi angin segar bagi pembangunan demokrasi di tingkat lokal, karena bisa mengurangi bahkan menghilangkan munculnya calon tunggal.

Dengan angka presentase ambang batas parlemen diturunkan melalui keputusan MK, seharusnya partai politik lebih mudah mengusung kandidat, masyarakat diberikan alternatif pilihan banyak ketika menentukan pemimpin daerah. Tetapi berdasarkan informasi dari berbagai media, Pilkada Serentak 2024 masih terdapat 37 daerah yang memiliki calon tunggal. Kemunculan calon tunggal melawan kotak kosong terkesan terjadi pemaksaan politik dari elit ke masyarakat di dalam memilih pemimpinnya.

Kemunculan calon tunggal sejatinya menghilangkan spirit berdemokrasi, di dalam sistem meletakan kedautalan di tangan rakyat ini, seharusnya iklim kompetisi menjadi ruh utama, dialektika perdebatan visi dan misi antar kandidat menjadi faktor determinan masyarakat di dalam menentukan pilihan politik, sehingga melahirkan tipe pemilih rasional dan kritis.

Kemunculan Calon Tunggal

Terdapat beberapa faktor kemunculan calon tunggal di Pilkada 2024, meskipun terdapat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), telah menurunkan syarat persentase mengusung pasangan calon. Pertama, pilihan pragmatis dari partai politik, ketika melihat elektabilitas dan popularitas sangat tinggi pada satu figur tokoh biasanya pertahana (incumbent), maka dalam kondisi seperti ini, partai menjadi ragu untuk mengusung calon lain, dikarenakan peluang untuk memenangkan kontestasi politik sangat kecil.

Kedua, biaya politik pilkada itu mahal yang harus dikeluarkan kandidat, baik untuk kampanye, strategi komunikasi, maupun logistik lainnya, sedangkan energi dan finansial partai politik sendiri sudah terkuras di Pemilu 14 Februari 2024, hal ini menyebabkan keengganan banyak orang ikut berkontestasi di pilkada. Ketiga, terdapat regulasi bahwa anggota legislatif harus mengundurkan diri kalau ingin berkontestasi di dalam pilkada, padahal anggota legislatif sudah memiliki basis konstituen politik, mereka memiliki bekal elektoral cukup, regulasi itu bisa menyebabkan para politisi berpengalaman enggan mempertarukan karir politik dengan mengikuti kompetisi pilkada. Keempat, politik dinasti atau politik kekerabatan dapat pula mempengaruhi munculnya calon tunggal. Para anggota keluarga mungkin memiliki kendali yang kuat atas struktur politik di daerah, sehingga menyulitkan munculnya calon alternatif dalam mendapatkan dukungan.

Mengatasi fenomena munculnya calon tunggal melawan kotak kosong di dalam pilkada memerlukan strategi melibatkan berbagai pihak, dari partai politik dan masyarakat sipil.

Kedepan bagi partai politik yang memperoleh kursi sedikit di DPRD atau partai non-parlemen harus berani membangun koalisi baru diluar koalisi partai-partai besar di dalam mengusung calon alternatif. Partai-partai kecil bisa bersatu meningkatkan daya saing politik di depan pemilih untuk mencegah dominasi munculnya calon tunggal. Sedangkan bagi aliansi masyarakat sipil perduli demokrasi, bisa menggunakan jalur independen untuk menghadirkan banyak pilihan figur bagi para pemilih. Terakhir bagi penyelenggara pemilu harus memastikan proses demokrasi dapat berjalan secara terbuka dan transparan, serta pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Semoga lima tahun mendatang pesta demokrasi tingkat lokal, kian semarak dengan kehadiran banyak figur calon pemimpin daerah, sehingga menutup peluang kehadiran kembali calon tunggal.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Karawang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image