Suka Berdalil Tetapi Terbalik
Agama | 2024-10-11 20:42:27Di tengah kehidupan beragama, sering kali kita menemukan orang yang menggunakan dalil-dalil agama untuk berbagai keperluan. Sayangnya, tidak jarang dalil tersebut digunakan dengan cara yang tidak tepat atau bahkan terbalik dari maksud aslinya. Pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap konteks dalil sering kali membuat ajaran agama yang seharusnya memberikan solusi justru menjadi alat pembenaran untuk sesuatu yang tidak tepat. Akibatnya, dalil tersebut tidak lagi menjadi petunjuk yang memudahkan, tetapi justru menjadi beban yang memberatkan.
Sebagai contoh, Shofiyurrakhman Al Mubarakfuri dalam Al-Rahiiq Al-Makhtuum menceritakan bahwa Rasulullah Saw menikahi Khadijah dengan mahar 20 ekor unta. Jika kita hitung dengan asumsi 1 ekor unta bernilai Rp25 juta, maka 20 ekor unta sama dengan Rp500 juta. Angka ini tentu sangat besar jika diterapkan dalam kehidupan saat ini. Bagi seorang perempuan yang hendak dinikahi, menjadikan jumlah ini sebagai patokan bisa sangat memberatkan bagi calon suami.
Di sisi lain, ada hadis yang menyatakan bahwa pernikahan yang paling barokah adalah pernikahan yang maharnya sedikit. Disebutkan dalam hadis, "إن أعظم النكاح بركة أيسره مؤونة", yang artinya, "Sesungguhnya pernikahan yang paling besar keberkahannya adalah yang paling sedikit beban (mahar)-nya." Hadis ini bisa dijadikan dalil oleh laki-laki untuk menawar mahar serendah mungkin saat melamar perempuan. Namun, menggunakan dalil ini tanpa memperhatikan kemampuan dan kehormatan kedua belah pihak bisa jadi malah memberatkan pihak perempuan.
Contoh lainnya, orang yang suka marah jangan menggunakan dalil untuk melegitimasi kemarahannya, seperti hadis Nabi, "مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ", yang artinya, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya." Dalil ini jika dijadikan alasan untuk bertindak agresif dan emosional untuk memukul orang lain yang dia anggap salah, tentu bukan suatu kebaikan. Merubah kemungkaran dengan tangan membutuhkan kebijaksanaan dan kehati-hatian. Tidak semua kemungkaran bisa dihadapi dengan kekerasan fisik, terlebih jika itu mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
Sebaliknya, Rasulullah bersabda, "لَا تَغْضَبْ" yang artinya, "Jangan marah." Jika nasihat ini disampaikan kepada orang yang sudah sangat lembut dan sabar, hal ini bisa membuatnya terlalu pasif dan tidak mampu beramar ma'ruf nahi mungkar. Orang yang lembut dan sabar tentu tidak membutuhkan nasihat ini, tetapi justru perlu diberi motivasi untuk lebih berani dalam menghadapi kemungkaran dengan cara yang baik.
Contoh lainnya adalah tafsir Imam Al-Qurthubi terhadap Surat Al-Muzzammil ayat 20, di mana disebutkan bahwa bekerja mencari karunia Allah sama dengan berjihad. Jika dalil ini diberikan kepada orang yang terlalu cinta dunia, maka akan semakin menguatkan cintanya pada dunia. Begitu pula dengan ayat yang berbunyi, "وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا", yang artinya, "Janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia." Dalil ini juga tidak cocok untuk orang yang terlalu cinta dunia. Penggunaan dalil semacam ini kepada orang yang sudah berlebihan dalam cinta dunia justru bisa memperkuat kecenderungan mereka untuk mengabaikan tanggung jawab akhirat.
Sebaliknya, orang yang malas bekerja tidak seharusnya diberikan dalil yang menyatakan bahwa akhirat lebih baik dari dunia. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى", yang artinya, "Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia." Jika dalil ini diberikan kepada mereka yang malas bekerja, maka hal ini bisa memperburuk keadaan. Orang yang malas akan semakin beralasan untuk tidak bekerja dan tidak berusaha mencari nafkah untuk kehidupan dunianya.
Dari berbagai contoh di atas, kita bisa melihat bahwa penggunaan dalil yang terbalik justru bisa menyebabkan salah kaprah dalam pemahaman agama. Dalil agama seharusnya digunakan dengan bijak dan sesuai konteks agar memberikan manfaat yang tepat. Jangan sampai dalil yang seharusnya memudahkan justru menjadi alat yang memberatkan atau membenarkan perilaku yang salah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.