Wakaf dan Kedaulatan Petani Kopi
Bisnis | 2022-02-15 16:46:39
Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Praktisi Wakaf dan Pendiri Ekselensia Tahfizh School Dompet Dhuafa)
Target utama pengembangan aset wakaf adalah menghasilkan surplus wakaf. Pada konteks ini, wakaf tidak berbeda jauh dengan bisnis yang menargetkan laba usaha. Bedanya pada alokasi surplus wakaf. Jika laba diperuntukkan bagi perusahaan itu sendiri, surplus wakaf mesti disalurkan kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).
Karena itulah, metode dan tools yang biasa digunakan dalam pengembangan bisnis bisa diadaptasi untuk mengembangkan aset wakaf. Tools semisal business model canvas (BMC) juga bisa diadaptasi untuk merumuskan rencana pengembangan aset wakaf agar lebih terstruktur.
Selain itu, kreativitas dalam bisnis juga mesti menjadi mindset pengembangan aset wakaf. Nazir mesti mampu berpikir kreatif dan out of the box untuk menghasilkan model-model baru pengembangan aset wakaf. Sehingga, aset wakaf teroptimasi dan menghasilkan surplus berkelanjutan.
Sebagai contoh, industri kopi dari hulu ke hilir bisa dikembangkan berbasis wakaf. Tujuannya untuk kedaulatan petani kopi agar kehidupan petani kopi tidak sepahit rasa kopi. Pada sisi hulu berupa lahan perkebunan kopi. Kebutuhan ini bisa dipenuhi dengan wakaf.
Umat Islam berwakaf melalui uang untuk pembelian lahan perkebunan kopi. Perkebunan kopi tersebut digarap oleh petani kopi dengan sistem bagi hasil. Kemudian, agar petani tidak menjual panen kopinya kepada tengkulak, nazir mesti membeli dengan harga yang pantas.
Lantas, buat apa kopi tersebut? Di sinilah sisi hilir mesti dimainkan. Nazir mesti mampu mendisain bisnis jaringan kedai kopi atau cafe. Aset berupa kedai kopi bisa dibangun dari wakaf melalui uang. Karenanya, kedai kopi harus produktif menghasilkan surplus wakaf dari transaksi bisnis kopi.
Alternatif lain, bisa sewa tempat yang dibiayai dari surplus wakaf yang dimiliki nazir dari aset produktif sebelumnya. Dalam tata kelola surplus wakaf, 10% untuk operasional nazir, 40% untuk reinvestasi atau pengembangan wakaf, 50% untuk mauquf ‘alaih.
Tantangannya adalah bagaimana kedai kopi wakaf bisa bersaing dengan kedai kopi yang sudah ada, baik brand lokal maupun asing. Di sinilah kemampuan berpikir kreatif dan out of the box nazir sangat dibutuhkan.
Nazir mesti mampu merumuskan value proposition yang kuat, membidik segmentasi market spesifik, kemudian mengomunikasikan keunggulan produk dan layanan secara kreatif dan menarik kepada segmen market melalui kanal-kanal yang tepat.
Strategi marketing ngopi sambil berdonasi, menurut penulis, bukan strategi yang tepat. Bisnis ya bisnis. Donasi ya donasi. Tidak perlu dicampuradukkan. Marwah wakaf dan petani kopi perlu dijaga. Bisnis berbasis wakaf bukan “mengemis”, melainkan harus profesional.
Karena itu, yang perlu dipikirkan oleh nazir adalah diferensiasi dari kedai kopi wakaf. Apakah itu dari sisi cita rasa dan variannya ataupun suasana ngopi yang dibangun. Dari sisi cita rasa kopi misalnya, cita rasa khas kopi Arabica Kahaya dan Robusta Kemloko bisa diracik sedemikian rupa oleh barista, sehingga menghasilkan cita rasa kopi khas lokal.
Sementara, dari sisi suasana dan atmosfer yang dibangun, kedai kopi wakaf bisa memunculkan kesan epik kedaulatan petani kopi dari disain interiornya. Narasi visi yang kuat disertai visualisasi apik bisa memunculkan atmosfer kedaulatan petani kopi. Seolah konsumen diajak menjadi bagian dalam perjuangan mewujudkan kedaulatan petani kopi dan merasakan semangatnya.
Alternatif lain, kedai kopi wakaf bisa menawarkan value proposition suasana hangatnya ngopi sembari menikmati serunya wisata literasi. Mungkin bisa diberinama kedai kopi literasi. Kesan yang ingin dibangun, pelanggan kedai kopi literasi adalah orang intelek, elegan, berkelas, tapi casual dan gaul.
Disain kedai kopi dalam nuasan literasi mesti terasa. Buku bacaan beragam genre yang menarik, kontemporer, dan berkualitas mesti tersaji apik. Bedah buku perlu dihelat secara rutin. Sesekali perlu mengundang artis influencer sebagai narasumber.
Mengapa penikmat kopi betah berlama-lama nongkrong di kedai kopi brand asing? Karena, suasana berkelas dan elegan yang dibangun. Artinya, atmosfer dan suasana yang tepat bisa menjadi value proposition yang dibangun kedai kopi wakaf. Sehingga, bisa memunculkan brand awareness kedai kopi wakaf dalam benak pelanggan.
Karenanya, kesadaran dan keberpihakan umat Islam untuk turut serta dalam membangun industri kopi berbasis wakaf menjadi penting. Umat Islam-lah pelanggan utama dari jaringan bisnis kedai kopi wakaf.
Keberpihakan umat Islam akan membesarkan industri kopi berbasis wakaf. Karena, keuntungan dari jaringan bisnis kedai kopi wakaf menjadi surplus wakaf. Alokasinya seperti disebutkan sebelumnya, 40% bisa untuk reinvestasi dan pengembangan wakaf. Bayangkan industri kopi berbasis wakaf akan terus membesar dan boleh jadi secara bertahap akan menjadi pemimpin pasar.
Ketika jaringan bisnis kedai kopi wakaf berjalan baik dan sukses, pada titik inilah kita bisa mendeklarasikan kedaulatan petani kopi. Gambarannya, petani kopi menggarap lahan perkebunan kopi tanpa perlu menyewa lahan, melainkan dengan sistem bagi hasil. Kemudian, hasil panen yang menjadi bagian petani dibeli dengan harga pantas oleh nazir.
Kopi hasil panen diolah dan diproduksi menjadi kopi kemasan yang didistribusikan ke jaringan kedai kopi wakaf. Jaringan bisnis kedai kopi wakaf menghasilkan surplus wakaf. Petani kopi bisa dimasukkan sebagai mauquf ‘alaih pada alokasi 50% penyaluran surplus wakaf selain untuk pendidikan dan kesehatan. Maka, terwujudlah kesejahteraan petani kopi.
Pertanyaannya, adakah lembaga wakaf melalui nazirnya yang siap mengeksekusi? Harusnya ada. Meski tidak mudah, namun juga bukan hal mustahil untuk direalisasikan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.