Pendidikan Kewirausahaan Sosial
Eduaksi | 2022-02-15 16:44:09Isu pendidikan adalah isu yang tidak lekang oleh waktu, namun harus selalu berkompromi dengan waktu. Keselarasan isi/kurikulum pendidikan dengan kondisi nyata/zaman ataupun tuntutan kehidupan adalah kunci utama terhasilkannya lulusan yang berguna, berdaya saing dan berpotensi hidup mandiri.
Hari ini dunia dihadapkan pada perubahan teknologi yang begitu masif, rontoknya sejumlah perusahaan besar dan semakin sulitnya mencari pekerjaan. Maka, sejatinya, upaya memberikan bekal yang cukup kepada siswa dan mahasiswa, agar mereka dapat membangun masa depan yang cerah adalah penting.
Salah satu diantara banyak sekali amanah pendidikan pada era sekarang ini adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang bukan hanya mandiri secara ekonomi, namun juga sekaligus menjadi konseptor optimasi sumber daya yang ada, agen pemberdaya masyarakat dan aktor penggerak eknomi
Maka salah satu jalan keluarnya, memberikan suntikan bahan baru terhadap kurikulum pendidikan. Hal yang diusulkan penulis adalah suntikan program peningkatan keterampilan inovasi sosial dan kemampuan membangun kewirausahaan sosial. Adapun, roadmap-nya dimulai dari penumbuhkembangan kepekaan sosial, inovasi sosial dan pada ujungnya kewirausahaan sosial.
Mengapa kewirausahaan sosial? Ada sejumlah jawaban terkait hal ini. Satu hal bahwa, sejak Muhammad Yunus menerima hadial nobel dari inovasinya membangun Grameen Bank (Bank untuk kaum miskin), gerakam kewirausahaan sosial semakin berkembang, para pelakunya semakin banyak, dan kajian ilmiahnya juga semakin masih menghiasi jurnal nasional dan internasional.
Secara sederhana kewirausahaan sosial dimaknai sebagai transformasi metode dan tehnik yang biasa digunakan pada bisnis komersial, kepada masalah sosial. Jadi ini adalah visi pengentasan masalah sosial dan pengembangan solusi sosial melalui praktik kreatif dan inovatif. Maka, ini adalah ruang kreasi baru bagi generasi muda, dan kawah candradimuka baru bagi pengembangan softskill seperti leadership, colaboration, communication skill, idea presentation dll. Sehingga sangat menarik bagi dunia pendidikan untuk mencoba mengenalkannya pada generasi muda. Bagaimanakah caranya? Bagaimana upaya mengenalkan kewirausahaan sosial agar semangat kemandirian, kreativitas dan inovasi sosial yang melekat pada aksi ini dapat terinstal pada pola pikir dan pola tindak generasi muda Indonesia?
Kepekaan sosial
Upaya menumbuhkan keterampilan inovasi sosial, secara umum, dimulai dari penumbuhan “empati atau jiwa’ sosial. Peserta didik, dapat secara berkesinambungan didekatkan dengan akar kondisi sosial masyarakat. Ragam studi kasus dapat diberikan untuk mendorong peserta didik mengasah sisi terdalam dari simpati sosialnya. Berbagai bentuk simulasi yang bertujuan untuk mengumpulkan ‘bank’ pemahaman peserta didik terhadap permasalahan sosial, dapat selalu diprogramkan.
Kepekaan kewirausahaan sosial, menjadi penting untuk ditumbuhkan mengingat Indonesia secara umum membutuhkan para pemikir/konseptor bersama/kolektif untuk beragam penyelesaian masalah bangsa. Jika ‘rasa’ ini ditanamkan sejak dini, maka secara umum kita dapat berharap bahwa ide/gagasan atau bahkan praktik/gerakan penyelesaian masalah sosial, dapat muncul dari mana saja dan kapan saja dari masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena kewajiban untuk ikut serta dalam pembangunan, semakin lama akan semakin mengakar dan mendarah daging.
Inovasi sosial
Selanjutnya,upaya membangun pola pikir kreatif, out of the box, berpikir di luar keumuman (unreasonable thinking) dan sebagainya. Ini adalah pola pembelajaran yang anti mainstream. Peserta didik, didorong untuk berpikir seluas dan seliar mungkin, dalam koridor pembelajaran yang ‘bebas’dan terarah. Simulasi pembelajaran, diharapkan mampu mendorong setiap siswa mengeluarkan ide/gagasan/usulan yang belum pernah ada sebelumnya, bahkan absurd sekalipun. Para pendidik kemudian bertindak sebagai fasilitator untuk meluruskan, merangkum dan membumikannya.
Kewirausahaan Sosial
Kewirausahaan, sebagai kata kunci pengembangan bangsa (Mclelland) adalah harga mati yang tidak bisa di tawar. Ciputra (2016) menyebutnya sebagai aksi yang dapat mempengaruhi masa depan individu dan masa depan bangsa. Proses pendidikan kewirausahaan dalam hal ini, juga harus selalu melakukan penyelerasan dan penyesuaian dengan trend bisnis dan kompetisi dunia.
Pendidikan kewirausahaan kepada mahasiswa misalnya, tidak lagi (harus) berisi pengajar yang mendorong mereka menjadi UKM, namun wajib diarahkan menjadi start-up. Case (2016 dalam Kasali, 2017) menjelaskan bahwa start-up memiliki ambisi untuk menjadi besar, sebesar samudra luar, untuk menjadi pemain global. Start-up berpotensi memiliki dampak besar pada penciptaan lapangan kerja, karena sifatnya yang global dan cenderung menembus batas.
Mendidik siswa/mahasiswa untuk berpikir start-up adalah berarti mengenalkan mereka pada gelombang baru ekonomi yaitu ekonomi berbagi (share economy). Ingin memiliki bisnis jasa perhotelan/penginapan, tidak berarti harus memiliki sebidang tanah luas, lokasi strategis, dan properti bangunan yang mewah dan mahal, namun cukup dengan membangun aplikasi yang handal, dan berhubungan dengan banyak pemiliki kamar yang dapat disewakan. Begitu juga keinginan untuk membangun restoran/bisnis kuliner, tidak harus punya dapur mewah, koki mahal dan lokasi strategi, cukup berbagi dengan mereka yang telah memilikinya, kemudian membentuk jaringan komunikasi dan transportasinya, untuk jasa pengantaran. Prinsipnya, semakin melibatkan banyak pihak, semakin besar kemungkinan bisnis tersebut tumbuh dan berkembang.
Maka pendidikan kewirausahaan sosial, akan melengkapi pola pikir tersebut. Terminologi sosial, menyiratkan bahwa setiap usaha yang dilengkapi dengan strategi keseimbangan. Pemikiran klasik, berbisnis untuk menghasilkan dana pribadi sebesar-besarnya sudah jauh ditinggalkan. Saat ini, berbisnis adalah dengan berbagi ekonomi dan sumber daya. Berbisnis adalah untuk saya, kami dan kita semua. Berbisnis adalah membangun maslahat, untuk sebanyak mungkin pemegang kepentingan.
Melalui platform kewirausahan sosial, pendidikan bisnis tidak akan hanya menghasilkan calon pengusaha rakus/tamak yang menghalalkan segala cara, namun justru membangun empati sosial bahwa setiap bentuk usaha apapun, punya potensi untuk menyelesaikan satu atau beragam jenis masalah sosial. Setiap satu keuntungan dari usaha yang halal, merupakan potensi senyum dan berkah bagi pihak yang membutuhkan.
[1] Penulis adalah Penulis buku Etos Hijau Generasi Pembaru: Motivasi Internal bagi Praktik Kewirausahaan Sosial dan Aksi Inovasi Sosial
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.