Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gina Sonia

Ketika Pemerintah Hindia Belanda Bangun Rumah Sakit Jiwa Pertama di Bogor

Sejarah | Tuesday, 15 Feb 2022, 10:05 WIB
Rumah sakit jiwa di Buitenzorg, 1880. Sumber: media-kitlv.nl; kode gambar: 87369.

Masalah kesehatan pada dasarnya tidak hanya tentang fisik, tetapi juga tentang mental (kesehatan jiwa). Kolonialisme membawa banyak sekali dampak negatif ke kesehatan penduduk khususnya bagi pribumi yang terjajah. Bahkan jika dilihat secara dekat, pemerintah pada awalnya tidak berminat menjadikan kesehatan pribumi sebagai prioritas mereka dan baru ‘bergerak’ setelah adanya kritik dan protes.

Di Hindia Belanda sendiri, masalah kesehatan jiwa kerap dikaitkan dengan hal-hal mistik, pengobatannya pun dilakukan dengan menggunakan bantuan dukun (melalui mantera atau jimat). Mereka memandang roh jahat sebagai sumber dari berbagai penyakit termasuk penyakit jiwa. Selain itu, penderita gangguan jiwa biasanya akan dimasukkan ke penjara (dikurung) atau dipasung.

Berbeda dengan negara-negara Eropa yang sudah mengalami reformasi kesehatan mental sejak tahun 1830-an, penderita gangguan jiwa di negara-negara jajahan seperti Hindia Belanda masih diserahkan ke Rumah Sakit Militer, itu pun dalam satu departemen kecil dan mayoritas pasien merupakan tentara yang menderita Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka ditempatkan di kamar yang mirip penjara, ada jeruji besi, pintu yang kokoh, dan penjagaan ketat. Sebelumnya, seperti yang terjadi di Batavia, penderita gangguan jiwa ditampung di Rumah Sakit Cina (Chineesch Hospital) dengan pajak orang Tionghoa. Pasiennya tidak hanya berasal dari etnis Tionghoa, tetapi juga orang-orang Kristen, non-Kristen, pengemis buta dan cacat, dan penderita lepra. Ada pula penampungan di Panti Asuhan Fakir Miskin dimana penderita gangguan jiwa ditempatkan bersama orang miskin dan jompo.

Biasanya, masyarakat pribumi yang menderita gangguan kejiwaan disebabkan oleh wabah dan pertempuran. Pada akhir abad 19, Hindia Belanda diserang berbagai wabah seperti pes, kolera, dan sebagainya. Wabah tersebut berdampak pada ekonomi masyarakat, banyak masyarakat jatuh miskin sehingga muncul gangguan kejiwaan. Pertempuran/perang menyebabkan masyarakat mengalami depresi dan trauma hingga akhirnya menderita gangguan jiwa. Sementara orang-orang Eropa yang memiliki gangguan kejiwaan dipercaya disebabkan oleh iklim lembab Asia Tenggara yang berpengaruh pada keseimbangan tubuh mereka, terutama pada perubahan lingkungan yang berlangsung cepat.

Pada masa kolonial, jumlah orang dengan gangguan jiwa sangatlah banyak. Keberadaan mereka kerap kali mengganggu masyarakat, sehingga mereka terpaksa dipasung, dikurung, dimasukkan ke penjara, panti, atau dititipkan di rumah sakit militer dengan pelayanan yang jauh dari kata layak.

Sebelum didirikannya rumah sakit jiwa pertama yang berlokasi di Bogor, ada banyak usaha yang dilakukan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan jiwa. Tokoh-tokoh yang pernah menyinggung serta berperan penting dalam mendorong munculnya institusi kesehatan jiwa di Hindia Belanda seperti Thomas Sevestre, P.H. van Lawick van Pabst, JW Hofmann, dr. G Wassink, FH Bauer, dan WM Smit.

Pada desember 1815, Thomas Sevestre menyampaikan laporan mengenai Chineesch Hospital. Sevestre menemukan rumah sakit ini dalam keadaan kurang terpelihara, kaca-kaca jendela pecah, atap bocor, pagar belakang roboh, dan riol (selokan kotoran di bawah tanah) buntu sehingga menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung serta menyebabkan demam. Bagian untuk penderita penyakit jiwa yang terletak agak terpisah, kotor dan lembab. Tanah di bagian penyakit jiwa penuh dengan terowongan-terowongan yang digali oleh penderita-penderita yang mencoba untuk melarikan diri (Loedin, 2005: 121).

Pada tahun 1819, P.H. van Lawick van Pabst, Residen Batavia, mengirim surat kepada Gouverneur-Generaal dengan keluhan tentang perawatan penderita sipil yang tidak manusiawi. Setelah Binnen Hospitaal ditutup, penderita sipil terpaksa dirawat dalam penjara bersama narapidana. Menurut P.H. van Lawick van Pabst hal ini merupakan sesuatu yang sepenuhnya bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (Loedin, 2005: 121).

Pada tahun 1862, di bawah pimpinan Dr. G. Wassink selaku kepala medis Hindia Belanda, pemerintah menggelar sensus kesehatan mental. Hasilnya, ditemukan setidaknya ada 586 penderita gangguan jiwa yang tidak terawat dan berpotensi mengganggu masyarakat. Meskipun ada 586 penduduk yang didata, namun yang berhasil dimasukkan ke Rumah Sakit militer atau panti hanya 252 orang. Biasanya, penduduk yang mengganggu masyarakat akan ditangkap polisi. Karena menunjukkan perilaku yang berbeda, akhirnya kepolisian menganggap bahwa penduduk tersebut bukanlah seorang kriminal, melainkan penderita gangguan jiwa sehingga mereka dikeluarkan dari penjara dan dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Menurut “Occidental Therapeutics in the Netherlands East indies During Three Centuries of Netherlands Settlement (1690-1900)”, Wassink menyarankan kepada pemerintah agar mendirikan rumah sakit khusus, namun ia lebih menekankan penggunaannya untuk bangsa Eropa.

Menanggapi hal tersebut, FH Bauer (psikiater) dan WM Smit (dokter Angkatan Laut Belanda) lalu ditugaskan pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan survei dan melakukan observasi terkait standar pelayanan rumah sakit jiwa di negara-negara Eropa. Mereka menyarankan ke pemerintah Hindia Belanda agar bertanggung jawab atas penduduk yang memiliki gangguan jiwa, setidaknya memprioritaskan orang-orang yang berpotensi mengganggu masyarakat (berbahaya).

Melalui surveinya, pada tahun 1865, Bauer dan Smit mengirim surat rekomendasi kepada Inspektur Urusan Asylum di Belanda yang selanjutnya akan diteruskan ke Ratu dan akhirnya disetujui pada akhir tahun 1865. Mereka meminta izin kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membuka rumah sakit jiwa atau suaka (krankzinnigengesticht) di Buitenzorg (Bogor). Persetujuan itu ditandai dengan Besluit No. 100 tanggal 20 Desember 1865. Belanda mengizinkan untuk mendirikan dua rumah sakit jiwa di Hindia Belanda dengan syarat rumah sakit yang kedua baru bisa didirikan setelah rumah sakit yang pertama selesai dibangun.

Dalam sebuah verslag berjudul "Een Woord over de Zaak van de Plaatsing van het Krankzinnigengesticht te Buitenzorg op Java" Dr. C. Swaving mengungkapkan bahwa mereka bersukacita karena praktik pengurungan berakhir pada 1865 dengan diambilnya keputusan dan tindakan oleh Kerajaan. Keputusan ini cepat atau lambat dapat memberi manfaat bagi ribuan penderita gangguan jiwa di Hindia Belanda Selain itu, ia juga senang mendengar bahwa akan cair dana yang diperlukan untuk membangun rumah sakit jiwa pada akhir 1872 melalui Menteri Koloni.

Di sisi lain, para dokter memang sudah memiliki keinginan untuk membangun sebuah pelayanan kesehatan mental, namun yang mereka pikirkan adalah layanan tersebut hanya untuk orang-orang Eropa. Hal tersebut memperlihatkan bahwa dokter-dokter pun tidak ingin menjadikan pribumi prioritas dalam layanan kesehatan mental mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa pembangunan rumah sakit akan memakan biaya yang sangat besar, ditambah kemungkinan pasien sembuh hanya 30%, jadi mereka lebih memilih agar penderita dititipkan saja di rumah sakit militer.

Akhirnya pemerintah membentuk layanan kesehatan mental pertama di Hindia Belanda yang berlokasi di Bogor. Faktor lain yang mendorong perlunya layanan kesehatan adalah ketakutan orang-orang dan pentingnya citra di mata pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah takut jika sewaktu-waktu penderita gangguan jiwa ini akan menyerang dan melukai mereka.

Meskipun awalnya Rumah Sakit Jiwa ditujukan untuk merawat orang-orang Eropa, namun JW Hofmann (psikiater Belanda) mengkritisi kebijakan tersebut lewat tulisannya tahun 1894 karena sebelumnya ia sempat berkunjung ke Bogor. Hofmann juga mengajukan permohonan akan diadakannya layanan kesehatan jiwa dengan cara yang murah dan praktis. Akhirnya, pemerintah merubah kebijakan mereka dan mau menerima pasien pribumi. Kenyataan bahwa orang-orang Belanda mengidap gangguan kejiwaan bagaikan sebuah aib bagi pemerintah, dengan menerima pasien pribumi, itu akan menunjukkan bahwa yang mengidap penyakit jiwa bukan hanya orang Belanda, tetapi juga pribumi. Selain citra, pemerintah Hindia Belanda juga tidak ingin dicap sebagai penjajah tak beradab. Dengan memberikan pelayanan kesehatan yang baik, itu akan membuktikan kepada negara lain bahwa Belanda merupakan penjajah yang baik.

Sumber Rujukan:

Loedin, A.A. (2005). Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Pols, Hans dan Wibisono, Sasanto. (2017). Psychiatry and Mental Health Care in Indonesia from Colonial in Modern Times dalam Harry Minas (Ed.). Mental Health in Asia and the Pacific: Historical and Cultural Perspectives. New York: Springer

Pols, Hans. 2006. The Development of Psychiatry in Indonesia: From Colonial to Modern Times. International Review of Psychiatry, 18 (4), 363-370.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image