Sejarah Hidayatullah (2): Kampus Berperadaban Itu Bernama Hidayatullah

Sejarah  
Kampus Hidayatullah, Gunung Tembak, Kalimantan Timur.

KH Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, pada penghujung 1969, memutuskan untuk hijrah dari Makassar, Sulawesi Selatan, ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia merasa di tempat hijrah inilah cita-citanya membangun kampus berperadaban bisa diwujudkan. Namun, bukan berarti segalanya menjadi mudah. Justru, dari sinilah perjuangan panjang itu dimulai.

Tiba di Balikpapan, setiap hari KH Abdullah Said mengamati kehidupan beragama masyarakat di sana. Yang ia dapati hanya kegersangan. Masyarakat terlalu jauh tenggelam dalam kehidupan yang hedonis. Anak-anak muda lebih tertarik kepada materi ketimbang urusan akhirat. Kota Minyak itu terasa panas.

Dari pengamatan itu, KH Abdullah Said mulai berpikir bagaimana cara mencetak kader di Kota Minyak tersebut. Ia sadar, cita-citanya membangun sebuah kampung pengkaderan tak bisa dilakukan sendirian. Ia perlu "pasukan" yang siap mengorbankan dirinya untuk berjuang di jalan Allah Ta'ala.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lantas, bagaimana cara merekrut anak-anak muda di sana? Abdullah Said yang pernah bergelut di organisasi Muhammadiyah itu memutuskan untuk menggunakan metoda pelatihan (training).

Namun, metoda ini hanya sekadar cara untuk merekrut kader. Cita-cita KH Abdullah Said tetap ingin membangun sebuah kampung pengkaderan di mana penghuninya menetap, bukan sekadar datang dan pergi.

Rupanya, kepiawaian berceramah yang diberikan Allah Ta'ala kepada KH Abdullah Said menjadikan ia tak merasa sulit mengajak anak-anak muda tersebut bergabung bersamanya. Hanya saja, KH Abdullah Said merasa itu saja belum cukup. Ia masih harus mengajak sejumlah anak muda berpengalaman dari Tanah Jawa untuk ikut berjuang bersamanya di sini.

Lagi-lagi, Allah i memberi jalan kemudahan baginya. Tercatatlah sejumlah nama para pemuda yang bersedia membantu KH Abdullah Said mewujudkan impiannya membangun kampung perkaderan di Balikpapan. Satu di antara para pemuda tersebut adalah KH AHmad Hasan Ibrahim yang baru saja meninggal dunia pada Ahad, 13 Februari 2022. Beliau adalah santri Pesantren Krapyak yang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah.

Pemuda lainnya yang ikut bersamanya adalah KH Muhammad Hasyim HS. Beliau pernah nyantri di Pondok Modern Gontor. Seorang lagi bernama KH Muhammad Nazir Hasan yang ketika itu juga sedang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah. Mereka inilah pendiri Hidayatullah. Mereka bersedia membantu KH Abdullah Said mewujudkan impiannya membangun kampung perkaderan di Balikpapan.

Tanggal 1 Muharram 1393 Hijriyah atau 5 Februari 1973, Allah Ta'ala menganugerahkan kepada KH Abdullah Said sebuah tempat di Karang Bugis, Kalimantan Timur, yang kemudian menjadi sebuah pesantren dan diberinama Hidayatullah. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Hidayatullah meskipun pusat pembinaan kemudian dipindahkan dari Karang Bugis ke Gunung Tembak pada 1976. Dari Gunung Tembak inilah justru cerita tentang Hidayatullah dimulai.

Tekad untuk mewujudkan cita-cita membangun sebuah kampung perkaderan semakin menguat ketika KH Abdullah Said mendapat suntikan semangat dari Buya Hamka saat berkunjung ke Balikpapan. "Teruskan usaha ini Nak. Ini adalah usaha yang mulia," ujar Buya Hamka sambil menepuk-nepuk bahu KH Abdullah Said muda.

KH Abdullah Said saat menerima Kalpataru.

Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, cita-cita KH Abdullah Said bukan lagi sekadar membangun kampung perkaderan, namun membangun kampus yang berperadaban Islam. Cita-cita ini tertulis jelas dalam visi organisasi Hidayatullah yang dirumuskan kemudian.

KH Abdullah Said sadar bahwa orang-orang yang berjuang menegakkan Islam secara kaffah kerap dianggap aneh. Namun, ia juga tahu bahwa anggapan seperti itu sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Maa anta bini'mati rabbika bi majnuun (Dengan karunia Tuhanmu, engkau, Muhammad, bukanlah orang gila). Begitulah bunyi al-Qur'an surat al-Qolam [68] ayat 2 tentang keadaan tersebut.

Ayat ini juga yang menjadi salah satu inspirasi KH Abdullah Said mewujudkan cita-citanya membangun sebuah perkampungan pengkaderan di Kalimantan Timur. KH Abdullah Said ingin membuktikan kebenaran ayat tersebut lewat sebuah perkampungan kecil yang biasa ia sebut "kampus". Dan, kampus ber-Qur'an tersebut bernama Hidayatullah.

Yang menarik, orang-orang yang tinggal di kampus ini tidak semata belajar membaca al-Qur'an, namun juga belajar menerapkan al-Qur'an. Ini diakui oleh Syamsurijal Palu, salah seorang perintis Hidayatullah, dalam acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah di Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau, pada Juni 2015.

"Sebelum bergabung dengan Hidayatullah, saya telah sering mempelajari al-Qur'an. Namun, ketika itu, saya merasa ada yang kurang. Saya merasa baru mempelajari al-Qur'an, tetapi belum ber-Qur'an. Di Kampus Hidayatullah, saya baru mengalami proses ber-Qur'an.," jelas Syamsurijal.

Ia juga mengaku amat percaya diri setelah bergabung dengan Hidayatullah. "Terasa sekali Allah memberikan garansi yang membuat kita tak merasa rendah, apalagi hina dan takut, di hadapan manusia," kata Syamsurijal lagi.

Justru sebaliknya, orang-orang yang tinggal di Kampus Hidayatullah tak akan merasa gila. Sebab, menurut KH Abdullah Said, jadwal hidup mereka sudah diatur sesuai dengan aturan Sang Pencipta, termasuk cara berpakaian, bergaul antara pria dan wanita, bekerja, dan bermuamalah.

Bahkan, di kampus Hidayatullah, pernikahan akan dimudahkan. Ini terbukti dengan diselenggarakannya pernikahan massal ---atau pernikahan mubarokah--- di kampus ini. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Pernikahan masal pertama diselenggarakan pada 6 Maret 1977, diikuti oleh 2 pasang kader. Yang terbesar pada 1997, diikuti oleh 100 pasang kader.

Buat sebagian orang, menjalani kehidupan ber-Qur'an mungkin tidak mudah. Namun, KH Abdullah Said meyakini, bila sudah terbiasa akan terasa mudah. Dalam beberapa ceramah, KH Abdullah Said sering menganalogikan mudahnya hidup ber-Qur'an dengan kebiasaan memakan tempe dan ikan.

Orang Jawa, kata KH Abdullah Said, suka sekali makan tempe. Sebab, sejak lahir, mereka sudah terbiasa dengan tempe. Setiap hari mereka mendengarnya, melihatnya, lalu memakannya, bahkan menjadikannya santapan utama. Ini berbeda dengan orang Bugis yang sejak kecil sudah diperkenalkan dengan ikan. Setiap hari mereka sudah terbiasa menyantap ikan. Bahkan mereka merasa ada yang kurang jika tak ada ikan yang yang tersaji.

Demikian pula al-Qur'an. "Kalau sejak bangun tidur sudah al-Qur'an yang dibaca dan dibicarakan, akhirnya al-Qur'anlah yang akan lengket di otak dan di perasaan kita," kata KH Abdullah Said dalam buku Mencetak Kader karya Mansyur Salbu.

Bahkan, orang yang sudah demikian akrab dengan al-Qur'an akan merasa sia-sia hidup tanpa Qur'an. "Kalau bukan karena itu, yakni untuk membangun peradaban Islami berlandaskan al-Qur'an, buat apa kita berpayah-payah menekuni pekerjaan ini," kata KH Abdullah Said lagi.

Namun, bukan berarti tak ada kader yang goncang dan menyerah. Terhadap kader yang demikian, KH Abdullah Said biasanya memberi nasehat, "Saya telah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan Anda tentang prospek di lembaga perjuangan ini. Bahasa Indonesia terlalu miskin untuk mengungkapkan apa yang semestinya dijelaskan untuk meyakinkan Anda. Maka, berangkatlah Anda mencari tempat yang lebih bagus dari tempat ini. Kalau Anda telah menemukannya, segeralah memberi informasi kepada kami. Insya Allah kita akan berlomba-lomba menuju tempat itu."

Di awal perintisan Hidayatullah, KH Abdullah Said amat mengkhawatirkan berjangkitnya penyakit thagha (melampaui batas) pada diri kadernya. Karena itu, cerita KH Hasan Ibrahim, saat memberi ceramah itiqaf di Masjid Baitul Karim, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, pada September 2010, KH Abdullah Said sengaja menempatkan para kader yang mulai banyak bergabung di kampus Hidayatullah pada posisi yang kontradiktif dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sebelumnya.

Lewat cara ini, KH Abdullah Said ingin melatih mental para kader agar beramal tanpa terbebani oleh status dan jabatan sebelumnya. Mereka mengisi bak wadhu, bak mandi, membajak sawah, menggali empang, membantu tukang, mencari donatur, dan lain-lain.

Amal-amal seperti ini, selain akan mengikis perasaan sombong, juga akan menjadi cerita yang indah bagi para kader kelak. Bahkan, mereka juga tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang siap ditugaskan berdakwah ke manapun juga.

Beginilah cara KH Abdullah Said membangun perkampungan pengkaderan yang dulu dicita-citakannya. Perkampungan berbentuk kampus itu kian lama kian membesar karena dukungan dan partisipasi masyarakat di Balikpapan. Luas kampus bahkan sudah mencapai 120 hektar.

Sebuah masjid besar bernama Ar-Riyadh juga berdiri kokoh di kampus ini. Bahkan, masjid ini adalah bangunan pertama yang dibangun KH Abdullah Said, dan menjadi bangunan pertama juga yang akan Anda saksikan manakala Anda memasuki kawasan Kampus Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan.

Kawasan putri terpisah dengan kawasan putra. Dinding pemisahnya berupa pagar kayu setinggi 1.5 meter, memanjang ke belakang dan melingkar, tertutup dari luar. Di tengah-tengah kampus ada danau buatan sebagai resapan air bagi kawasan Desa Gunung Tembak. Lalu, di belakangnya lagi ada ladang tempat para santri bercocok tanam.

Selamat datang di Kampus Perjuangan, Hidayatullah Gunung Tembak, kampus pengkaderan, kampus berperadaban Islam *** (Bersambung)

Penulis: Mahladi Murni

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Jaga Iman dengan Berbagi Renungan

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image