Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Artikha Wibawa

KAUM MILENIAL DAN MEDIA SOSIAL: RAJA ALI HAJI ZAMAN NOW PELESTARI BAHASA

Eduaksi | Saturday, 12 Feb 2022, 23:33 WIB

Pendahuluan

“Jika hendak mengenai orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa”, merupakan kutipan salah satu pasal dalam Gurindam Dua Belas, sebuah mahakarya sastrawan melayu, yakni Raja Ali Haji. Beliau merupakan sosok penting di balik penyebaran bahasa Indonesia. Raja Ali Haji adalah tokoh yang menyebarkan bahasa melayu yang sangat eksis dan memiliki peran serta kedudukan penting di masyarakat pada zaman itu, yang mana bahasa melayu tersebut pada akhirnya menjadi bahasa nasional, bahkan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Peran sosok Raja Ali Haji yang giat menyebarkan budaya berbahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu pantas untuk dilanjutkan oleh tangan-tangan generasi milenial sebagai penerus bangsa meskipun menggunakan cara yang berbeda. Sebab dewasa ini metode komunikasi yang digunakan khususnya oleh kaum milenial telah didominasi komunikasi digital melalui media sosial.

Dilansir dari tekno.kompas.com, pesatnya penggunaan media sosial di Indonesia bahkan mencapai 61,8% dari total populasi Indonesia. Selain itu perubahan nama facebook ke meta juga menjadi peluang baru bagi eksistensi bahasa Indonesia, sebab perubahan tersebut akan semakin memudahkan akses dan pola sosialisasi masyarakat di dunia virtual (bbc.com). Hal ini semakin memberikan peluang besar bagi kaum milenial menjadi sosok Raja Ali Haji masa kini sebagai pemersatu bangsa melalui bahasa, khususnya dalam penerapannya di media sosial.

Analisis

Media sosial merupakan platform digital dimana penggunanya dapat berkomunikasi, berinteraksi, bersosial, membagikan ataupun memproduksi konten, jejaring sosial, forum, dan dunia virtual (Anang, 2016). Andreas Kaplan dan Michael Haenlein juga memberikan definisinya terkait media sosial, yakni sebagai kelompok aplikasi berbasis internet yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Media sosial yang berkaitan dengan teknologi semakin membawa kehidupan manusia, khususnya kaum milenial sebagai aktor yang mendominasi pengguna media sosial pada jangkauan yang semakin luas dalam era yang tak terbatas. Luasnya jangkauan media sosial tersebut tidak hanya berdampak positif melalui berbagai kemudahan yang dirasakan manusia, namun juga diramaikan dengan hoaks, propaganda, bullying, rasisme, maupun provokasi terhadap oknum tertentu yang dapat memberikan ancaman berupa disintegrasi bangsa.

Turut menanggapi hal tersebut para milenial sebagai pengguna dapat memanfaatkan kehadiran media sosial, salah satunya sebagai media penyebaran informasi serta pembangun citra bangsa melalui penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, sebab media sosial bersifat fleksibel. Hal ini selaras dengan Medium Theory yang dikemukakan oleh MCLuhan dan Harold Innis (1994). Teori ini menjelaskan bagaimana persepsi manusia, perasaan, emosi dapat dipengaruhi oleh media dan proses komunikasi. Kaum milenial dapat menerapkan proses komunikasi secara persuasif dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media sosial dengan tujuan mendapatkan respon berupa meningkatnya eksistensi penggunaan bahasa Indonesia yang dapat diresapi sebagai bahasa persatuan.

Konsep bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik. Sebab seiring dengan perkembangan zaman, bahasa Indonesia semakin meluas sehingga Indonesia kian dipersatukan oleh bahasa yang memungkinkan masyarakatnya yang berasal dari berbagai latar belakang sosial, dapat bersentuhan dengan dunia modern, sehingga bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat ekspresi dari nasionalisme, melainkan juga sebagai aspirasi tentang Indonesia. Penerapan ini sejatinya tidak hanya berfungsi sebagai penyebaran persuasif bahasa Indonesia saja, namun juga menjadi media terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sebab melalui media sosial, bahasa Indonesia dapat berkembang sehingga melahirkan istilah-istilah baru (Riyandi,2018).

Munculnya berbagai kosakata atau istilah baru yang lebih familiar dan sesuai tren digunakan oleh netizen dapat berimbas pada perkembangan bahasa Indonesia. Sebab penggunaan kosakata tersebut tidak hanya digunakan dalam media sosial, namun turut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata, baik bentuk lisan maupun tulisan. Istilah yang digunakan warganet berupa kosakata baku atau singkatan yang tidak baku, ataupun kosakata yang dipengaruhi bahasa Inggris maupun bahasa daerah, seperti gaje, mager, lur, sis, rempong, BTW, OTW, GWS, woles, jones, dan lain-lain.

Perubahan tersebut diantaranya disebabkan oleh tidak adanya aturan baku terkait penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media sosial. Ini karena penggunaan sosial media berada pada konteks non-formal, sehingga tidak mengharuskan untuk taat terhadap aturan kebahasaan. Hal ini menyebabkan kemurnian bahasa Indonesia memudar, dan penggunaannya menjadi sembarangan karena tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang cenderung serampangan ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor bahasa daerah, budaya, dan kata-kata serapan dari tren bahasa media sosial lainnya.

Selain itu, arus globalisasi dan modernisasi juga berpengaruh terhadap memudarnya kemurnian bahasa Indonesia melalui kehadiran dan pencampuran bahasa asing (Meilian & Leli, 2020). Tidak hanya itu, media sosial yang dapat menyebarkan bahasa secara masif juga ditunjukkan dengan suatu kata dalam bahasa Indonesia yang mampu memiliki arti baru di media sosial. Oleh sebab itu kemurnian bahasa Indonesia akan terancam apabila kondisi ini tetap berlangsung. Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan kebahasaan akan lebih digemari oleh generasi muda sebab lebih mudah, singkat, dan sesuai dengan tren. Sehingga dalam hal ini media sosial dan kontrol bahasa yang diterapkan penggunanya mempunyai andil besar dalam pelestarian dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai aksi nyata dalam melanjutkan peran Raja Ali Haji terhadap pelestarian eksistensi bahasa Indonesia.

Penutup

Kehadiran media sosial menjadi suatu fenomena tersendiri sebagai dampak globalisasi dan modernisasi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan kini hampir seluruh kehidupan masyarakat tidak lepas dari media sosial yang telah memegang peranan penting termasuk memberikan dampak berupa perubahan budaya serta metode dan gaya berkomunikasi masyarakat Indonesia, terutama pada kaum milenial. Media sosial sejatinya dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan dan melestarikan budaya Indonesia salah satunya seperti bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa persatuan, bahkan identitas bangsa. Kaum milenial sebagai pengguna dominan dapat memanfaatkan media sosial yang fleksibel dalam mempersuasif penggunaan bahasa Indonesia yang murni sesuai dengan kaidah.

Namun pada kenyataanya banyak penyelewengan bahasa yang dilakukan dalam media sosial yang ditunjukkan dengan munculnya berbagai slang baru yang bahkan sampai terserap ke dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal tersebut terus dibiarkan maka pesona dan eksistensi bahasa Indonesia yang telah diperjuangkan oleh Raja Ali Haji akan semakin memudar. Dampak terburuknya para generasi muda dapat tidak mengetahui seperti apa bahasa Indonesia yang baik dan benar karena terbiasa menggunakan bahasa slang dalam segala situasi di kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu penggunaan media sosial harus dapat dimanfaatkan secara efektif oleh kaum milenial baik dalam menulis komentar, hingga memproduksi ataupun mendistribusikan konten yang komunikatif, informatif, dan edukatif. Melalui Media sosial, para milenial juga sepatutnya bangga dan selalu menjunjung tinggi kaidah pemakaian bahasa Indonesia supaya tidak hilang akibat peradaban manusia dan intervensi dari bahasa lain. Sejatinya bahasa dalam dunia maya tidak ada yang salah karena budaya, dinamika peradaban manusia, dan lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pola berbahasa seseorang. Maka dari itu, dalam menggunakan bahasa Indoneia, para milenial harus aktif dan tepat serta bijak dalam berbahasa di dunia maya supaya tidak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa sarkasme demi melestarikan dan meningkatkan eksistensi kemurnian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu serta identitas bangsa.

Daftar Pustaka

Ambar. 2022. 7 Teori Komunikasi Media Baru Menurut Para Ahli – Pengertian dan Karakteristiknya. Diakses melalui https://pakarkomunikasi.com/teori-media-baru pada 11 Februari 2022

Ambar. 2022. 20 Pengertian Media Sosial Menurut Para Ahli. Diakses melalui https://pakarkomunikasi.com/pengertian-media-sosial-menurut-para-ahli pada 11 Februari 2022

BBC News Indonesia. 2021. Facebook Ganti Nama Menjadi Meta Demi Bangun Dunia ‘Metaverse’ dan Tidak Lagi Sekadar Platform Medsos – Seperti Apa Bentuknya?. Diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/majalah-59086054 pada 10 Februari 2022

Cahyono, Sugeng Anang. 2016. Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Masyarakat di Indonesia, 9(1), 140. Diakses melalui https://journal.unita.ac.id/index.php/publiciana/article/view/79 pada 11 Februari 2022

Riyandi, Rizma. 2018. Bahasa di Media Sosial. Diakses melalui https://www.ayobandung.com/read/2018/12/06/41396/bahasa-di-media-sosial pada 10 Februari 2022

Stephanie, Conney. 2021. Riset Ungkap Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia “Melek” Media Sosial. Diakses melalui https://tekno.kompas.com/read/2021/02/24/08050027/riset-ungkap-lebih-dari-separuh-penduduk-indonesia-melek-media-sosial pada 10 Februari 2022

Sulaeman, Agus. 2019. Bahasa Slang Generasi Muda Dalam Media Sosial di Era Milenial. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa (Semiba) 2019, 46-49, 53. Diakses pada 11 Februari 2022

Wikisource. 2018. Gurindam Dua Belas. Diakses melalui https://id.wikisource.org/wiki/Gurindam_Dua_Belas pada 10 Februari 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image