Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wildhan Khalyubi

Tantangan bagi Partai Politik Reborn Menuju Pemilu 2024

Politik | Saturday, 12 Feb 2022, 22:38 WIB
Contoh Kotak Suara Pemilu. Contoh kotak suara berbahan kardus di Kantor KPU Pusat, di Jakarta. (Sumber: republika.co.id)

Ditulis oleh:

Wildhan Khalyubi - Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Gemuruh patronase politik yang tumbuh dalam politik kepartaian di Indonesia selama ini memang bukan hal asing untuk didiskusikan. Upaya membentuk patronase politik merupakan perjuangan seorang tokoh dalam mengkonsentrasikan kekuasaannya dengan tujuan membentuk ikatan loyalis (Nainggolan & Wahyu, 2016). Sebagian besar partai politik di Indonesia tidak terlepas dari status elit sebagai tokoh sentral partai politik, termasuk mereka yang terpilih melalui kongres partai dalam beberapa periode. Alih-alih banyak partai yang menyandarkan karakternya pada tokoh-tokoh kepartaian sebagai simbol politik, Partai Buruh dan Partai Masyumi yang kembali mendeklarasikan diri, justru muncul sebagai partai yang “terlahir kembali” dengan mengedepankan ideologi partainya masing-masing. Tentu saja, ini akan menjadi pertanyaan seberapa jauh kedua partai politik tersebut berjuang untuk mendapatkan kursi parlemen di Senayan. Pertanyaan itu akan terjawab jika kedua partai tersebut mampu melewati beberapa tantangan menjelang pemilu 2024.

Partai Buruh

Kembali hadirnya Partai Buruh merupakan jalan tengah politik perburuhan yang terlembaga. Selama ini aspirasi buruh masih belum terwakili dalam tubuh parlemen. Isu ketiadaan ruang hak asasi bagi buruh serta persoalan kesejahteraan buruh yang masih dianggap jauh dari standar kelayakan, kerap menjadi isu sentral yang menuntut upaya advokasi buruh terhadap pemilik perusahaan. Selain itu, persoalan mengenai disahkannya Undang-Undang Omnibus Law banyak dianggap menguntungkan investor dan merugikan kelompok buruh. Maka, dari tiadanya keterwakilan yang dapat mengartikulasikan kepentingan persoalan tersebut, layak bahwa kepentingan buruh selama ini dianggap sebagai “yatim-piatu” di parlemen.

Adanya Partai Buruh menandakan upaya buruh untuk menciptakan pranata sosial dalam merespon isu perburuhan. Partai Buruh harus menawarkan sebuah politik programatik yang konkrit sebagai daya tawar politik mereka terkait isu perburuhan. Isu persoalan buruh ini harus dijadikan sebagai isu yang inklusif dan diterima seluruh golongan masyarakat. Oleh sebab itu, Partai Buruh dapat menjadi lembaga politik yang berfungsi dalam mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan buruh. Hal ini tentu berkaitan dengan bagaimana kelompok buruh dapat terkonsolidasi dalam balutan kepentingan politik yang homogen guna mengarungi percaturan politik kedepan. Ini tentu tidak akan mudah mengingat bahwa terakhir kali Partai Buruh mengikuti kontestasi pemilu yakni pada tahun 2009. Selama dua periode penyelenggaraan pemilu terakhir, yakni 2014 dan 2019, Partai Buruh justru abstain dalam kontestasi pemilu. Upaya penguatan partai yang bersifat administratif kepartaian menjadi pertaruhan pertama bagi Partai Buruh untuk lolos dalam tahapan verifikasi partai politik sebagai peserta pemilu 2024.

Partai Masyumi

Suatu ketika Partai Majelis Syura Muslim Indonesia (Partai Masyumi) pernah mencatat sejarah sebagai partai politik Islam terbesar di Indonesia. Sebab, dalam sejarahnya, Partai Masyumi merupakan partai politik yang berbasis pada beberapa ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain. Meski NU keluar dari partai menjelang Pemilu 1955, Partai Masyumi justru memperoleh suara terbesar kedua di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan perolehan suara sekitar 20%. Bukti sejarah tersebut menjadi manifesto bagi partai politik Islam dan mendasari bahwa bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari partai politik Islam sampai saat ini.

Sebab kemunculannya -setelah 61 tahun silam dilarang oleh Soekarno- tidak lain karena maraknya penggunaan politik identitas yang titik mulanya terjadi di Pemilu 2014. Lalu hal tersebut menyeret pada Pilkada DKI Jakarta 2017, hingga Pemilu Serentak 2019. Ada pun dari sebab kemunculan politik identitas tersebut, Partai Masyumi haruslah menjawab kegelisahan bangsa mengenai keterbelahan di masyarakat yang berlarut hingga saat ini. Tak hanya itu, residu keterbelahan masyarakat kedepan akan banyak mengaitkan persoalan intoleransi yang berbuntut pada pembukaan ruang terkait hak-hak kelompok minoritas, terutama hak untuk dipilih dalam agenda pemilihan. Hal ini yang akan menjadi pertanyaan yang harus dijawab oleh partai politik yang berideologi Islam seperti Partai Masyumi dalam menghadapi permasalahan masyarakat yang terbelah tersebut.

Menghadapi Berbagai Tantangan

Sebenarnya ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh Partai Buruh dan Partai Masyumi dalam mengarungi kontestasi pemilu 2024. Pertama, patronase kepartaian di Indonesia saat ini menuntut kehadiran tokoh elit di partai politik yang dipasang sebagai marketing politik partai. Hal ini juga berpengaruh pada proses rekrutmen nantinya yang dimana sosok figur partai politik dapat melambangkan ideologi kepartaiannya. Kedua, kelengkapan persyaratan administrasi menjadi salah satu pintu gerbang pertama lolosnya parpol sebagai peserta pemilu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu harus memenuhi beberapa persyaratan seperti memiliki badan hukum, kepengurusan daerah, dan keanggotaan minimal 1000 anggota atau 1/1000 dari jumlah penduduk.

Ketiga, kebijaksanaan pemerintah selama ini tentu akan berdampak pada partai politik. Mengingat dalam sejarah, kedua parpol tersebut pernah menjadi “korban” kebijaksanaan pemerintah. Misalnya Partai Masyumi yang pernah dibubarkan oleh Soekarno karena ada isu keterkaitan dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di beberapa daerah. Sama halnya dengan Partai Buruh yang kesulitan berkembang secara politik karena doktrin Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Hal tersebut merupakan cara mengharmonisasikan buruh dengan rezim Soeharto, sehingga buruh kesulitan untuk mengekspresikan sikap politiknya. Setidaknya, ketiga hal tersebut harus diperhatikan oleh Partai Buruh dan Partai Masyumi selagi bersiap untuk “membentangkan layar”. Oleh karena itu, patut ditunggu bagaimana kiprah partai politik yang terlahir kembali menjelang pemilu 2024.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image