Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Munawar Khalil N

Dinamika Beras dan Momentum Diversifikasi Pangan

Gaya Hidup | Sunday, 06 Feb 2022, 09:37 WIB

Dinamika harga beras menjadi salah satu isu publik yang banyak menyita perhatian. BPS mencatat harga beras pada Januari 2022 di tingkat penggilingan mengalami kenaikan sebesar 2,23% dan di tingkat eceran sebesar 0,94 % (MoM).

Kenaikan harga tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain meningkatnya konsumi (demand) beras oleh masyarakat seiring pemulihan ekonomi, dan tantangan perubahan iklim serta kerusakan lingkungan yang berpotensi memengaruhi produksi dan pasokan beras.

Salah satu produk pangan lokal yang dijual di Gerai Pangan Lokal (dok.pribadi)

Hal ini wajar menjadi perhatian publik karena beras merupakan pangan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebutuhan yang besar harus diimbangi dengan ketersediaan yang cukup. Namun dinamika beras ini perlu dilihat dari perspektif lain yaitu diversifikasi pangan. Bahwa kita masih terlalu bergantung pada beras sebagai pangan pokok utama. Padahal masih banyak pangan sumber karbohidrat lain yang tumbuh di negeri ini.

Ketergantungan ini berakar dari konstruksi sosial yang tertanam kuat sejak lama. Kita masih sering mendengar istilah “belum kenyang kalau belum makan nasi”. Ini seperti menjadi budaya yang terus berlangsung hingga hari ini. Beras dipandang sebagai pangan kelas satu dan lebih di atas dari pangan sumber karbohidrat lainnya.

Meningkatkan produksi beras untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat memang harus terus diupayakan. Namun pada saat yang sama, dorongan untuk mengonsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya harus digerakkan agar sumber daya pangan yang beragam dapat termanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Keanekaragaman menjadi kunci untuk tetap menjaga ketahanan pangan dan gizi secara berkelanjutan.

Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di dunia dengan keanekaragaman sumber daya hayatinya. Kita memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah. Sayangnya, sumber daya yang beragam tersebut belum sepenuhnya termanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2021, beras masih mendominasi dengan porsi mencapai 60,3%. Lebih besar dari angka ideal konsumsi padi-padian sebesar 50%. Sedangkan konsumsi umbi-umbian serta sayuran dan buah-buahan masih relatif rendah dengan persentase masing-masing 2,3% dan 4,9%.

Seiring pandemi Covid-19 yang melanda di awal 2020, Kementerian Pertanian menggencarkan gerakan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat non beras yang berfokus pada enam komoditas yaitu jagung, pisang, kentang, talas, sagu, dan singkong. Keenam komoditas pangan ini terus didorong mulai dari produksinya, aksesibilitasnya hingga pemanfaatannya.

Dari aspek produksi, selain memperluas areal pertanaman, pemerintah juga mengupayakan peningkatan produktivitas pangan lokal melalui pemanfaatan teknologi budidaya, penggunaan bibit unggul hingga peningkatan skala usaha tani.

Pemetaan klaster komoditas juga menjadi agenda penting sebab sebaran komoditas tersebut tidak merata di seluruh provinsi. Karena itu, setiap provinsi memiliki unggulan komoditas berbeda. Sebagai contoh, pengembangan komoditas sagu difokuskan pada provinsi penghasil sagu yaitu Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Demikian pula komoditas jagung yang dikonsentrasikan di beberapa provinsi sentra seperti Gorontalo, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Upaya peningkatan produksi pangan lokal sumber karbohidrat non beras tersebut harus dibarengi dengan pemerataan aksesibilitas baik fisik dan ekonomi. Pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Selain itu daya saing produk pangan lokal harus ditingkatkan dengan mendorong UMKM pangan lokal untuk bangkit dan berdaya. Infrastruktur digital mempercepat jangkauan produk yang dihasilkan oleh UMKM Pangan Lokal. Terlebih lagi sejak pandemi Covid-19, masyarakat semakin mudah mengakses pangan lokal melalui berbagai platform belanja online. Kementan mendorong akselerasi pangan lokal tersebut dengan membangun Gerai Pangan Lokal yang dapat diakses di Pasar Mitra Tani yang ada di seluruh provinsi secara offline maupun online.

Hal yang tidak kalah pentingnya juga bagaimana agar mengubah mindset untuk “beralih” dari beras ke pangan lokal sumber karbohidrat lainnya. Beralih bukan dalam pengertian 100% meninggalkan beras, namun membiasakan diri untuk mengonsumsi pangan sumber karbohidrat lain, sehingga lidah kita terbiasa dengan beragam pangan.

Mengubah selera yang sudah bertahun-tahun melekat dalam keseharian memang membutuhkan upaya yang kuat. Ini dilakukan setidaknya dari dua sisi. Pertama, peningkatan kesadaran yang didorong oleh pemerintah melalui komunikasi, edukasi, dan sosialisasi diversifikasi pangan. Kedua, regulasi yang kuat mengatur bagaimana pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan langkah-langkah strategis diversifikasi pangan.

Saat ini upaya mendekonstruksi ketergantungan terhadap beras sebagai pangan pokok utama diupayakan dengan menghadirkan narasi Kenyang Tidak Harus Nasi dalam sosialisasi, promosi, dan edukasi mengenai pangan beragam, bergizi seimbang dan aman (B2SA). Ini bukan hal baru, beberapa tahun lalu kampanye Sehari Tanpa Nasi atau One Day No Rice digencarkan pemerintah.

Peran media sangat penting dalam mengubah persepsi masyarakat tentang pangan lokal. Terutama media sosial di era digital saat ini menjadi referensi utama dalam arus informasi di masyarakat. Karena itu, pelibatan para generasi muda, publik figur, influencer, dan milenial memberikan pengaruh yang kuat dalam mengubah selera masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image