Ketika Haji Berbekal Tawakal kepada Allah

Tajug  
Jamaah tengah melakukan tawaf. (Agus Yulianto/matapantura.republika.co.id)

Hatim Al-Asham adalah seorang yang fakir, tapi sangat zuhud dan mempunyai keimanan yang sangat keuat kepada Allah SWT. Ia pun mempunyai keluarga yang menjadi tanggungannya. Mereka pun menjalani kehidupan sehari-hari dalam keadaan sulit.

Pada suatu malam, dia duduk bersama teman-temannya membicarakan tentang haji dan ziarah ke Baitullah. Obrolan itu sedemikian bekesan dalam hatinya, sehingga dia mendambakan untuk bisa berziarah ke Baitullah.

Dia pulang ke rumah dan menyampaikan keinginannya untuk ziarah ke Baitullah kepada keluarga. "Jika kalian setuju aku pergi berziarah ke Baitullah, aku akan mendoakan kalian," katanya, dikutip dari 'Kisah-kisah Pertolongan Allah', karya Mahdi Shahid Hunar, seperti ditulis dalam buku 'Misteri Wukuf di Arafah'.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Istrinya pun berkata, "Dalam keadaan kita yang fakir dan keluargamu yang banyak ini hendak kemana engkau pergi? Ziarah ke Baitullah hanya wajib bagi orang yang mamoy (kaya)."

Anak-anaknya pun sertuju atas apa yang dikatakan oleh ibu mereka, kecuali seorang putrinya yang kecil. "Apa yang akan terjadi jika kita memberi izin pada ayah untuk berangkat? Biarkan ayah pergi kemanapun yang ia inginkan. Pemberi rezeki kita adalah Allah, sedangkan aya hanyalah oerantara rezeki itu. Allah Maha Kuasa menyampaikan rezeki kita dengan perantara lainnya."

Mendengar kata-kata si kecil itu, semua anggota keluarga menjadi sadar dan membenarkannya. Mereka pun mengizinkan ayah mereka (Hatim) berziarah ke Baitullah. Tentu saja, Hatim sangat bahagia. Disiapkanya perbekalan bepergian jauh (safar) dan berangkat bersama khafilah haji.

Para tetangga pun datang ke rumahnnya. Mereka pun melontarkan kata-kata celaan. "Mengapa dalam keadaan kalian yang miskin justru kalian membiarkan dia berangkat? Perjalanan jauh ini akan memakan waktu beberaoa bulan. Dari mana kalian mendapatkan rezeki untuk menanggung kebutuhan hidup kalian?" kata tetangga itu.

Keluarga Hatim pun jadi terpengaruh oleh celaan tetang tersebut dan seolah-oleh mereka menyalahkan puteri kecilnya. "Andai saja kamu tidak bicara dan bisa menjaga lisanmu pada waktu itu, tentu kami semua juga tidak mengizinkan ayah bepergian jauh."

Tentu saja, ucapan keluarganya itu membuat sang putri menjadi sedih mendengarkan perkataan mereka. Dia lantas menengadahkan tangan ke langit dan berdoa. "Tuhanku, mereka ini terdidik dengan keutamaan dan kemuliaan serta mensyukuri nikmat-Mu, janganlah Engkau abaikan mereka, dan janganlah Engkau permalukan aku di hadapan mereka," ujar sang putri kecil.

Saat mereka kebingungan memikirkan bagaimana mendapatkan nafkah hidup, tiba-tiba Amir (pemimpin) di kota itu baru kembali dari berburu. Ia kahausan lalu pengawalnya pergi ke pintu rumah Hatim untuk mendapatkan air.

Mereka mengetuk pintu rumah. Lalu dari balik pintu istri Hatim bertanya, "Apakah keperluan kalian?". Mereka menjawab, "Amir sedang berdiri di depan pintu rumah Anda, minta sedikir air dari Anda (untuk menghilangkan dahaga)."

Wanita itu panik. Dia memandang ke langit seraya berdoa, "Tuhanku, semalam kami dalam keadaan lapar, sedangkan saat ini Amir memerlukan bantuan kami air kepada kami."

Kemudian wanita itu memenuhi sebuah wadah dengan air. Dibawanya kepada Amir sembil memohon maaf karena wadahnya terbuat dari tanah liat.

Amir bertanya kepada pengawal, "Rumah siapa ini?". Mereka menjawab, ini rumah Hatim Al-Asham, salah seorang zahid di kota ini. Kami dengar ia sedang safar ke Baitullahmm, sementara keluarganya hidul dalam kesusahan."

Lalu Amir berkata, "Kita telah menyusahkan mereka. Rasanya tidak pantas jika orang seperti kita menyusahkan kaum yang lemah dan menamah beban di pundak mereka."

Maka, segera Amir membuka ikat pinggan dan dilemparkannya ke dalam rumah itu seraya berkata kepada para pengawalnya. "Yang mencintaiku hendaknya melemparkan ikat pinggangnya ke dalam rumah." Semua pengawal melepaskan ikat pinggan emas mereka dan melemparkannya ke dalam rumah.

Ketika hendak pulang, Amir berkata, "Semoga Allah memberkati kalian hai keluarga. Nanti anak buahku akan menghitung berapa harga dari semua ikat pinggang ini dan menguangkannya untuk kalian." Amir dan rombongannya pun pergi sambil mengucapkan salam.

Beberapa saat kemudian, salah seorang anak buah Amir kembali ke rumah keluarga Hatim dengan membawa uang hasil penjualan semua ikat pinggang. Si puteri kecil pun menangis karena peristiwa itu.

Anak buah Amir bertanya, "Mengapa engkau menangis? Seharusnya engkau bahagia, sebab Allah dengan rahmat-Nya tekah memberikan keluasan kepada kalian."

Sang puteri kecil menjawab, "Saya menangis karena semalam kami tidur dalam keadaan lapar. Dan hari ini, seserang datang memperhatikan kami dan memenuhi kebutuhan kami. Berarti setiap waktu Allah Yang Maha Penyayang mencurahkan perhatiannya kepada kami. Tidak sesaat pun Allah berpaling dari kami."

Kemudian puteri kecil ini mendoakan ayahnya. "Ya Allah, sebagaimana Engkau curahkan perhatian-Mukepada kami dan telah Engkau atasi urusan kami, maka mohon curahkan juga kasih sayang-Mu kepada ayah kami dan tolonglah urusann-Nya."

Ketika itu, Hatim berada di tengah kafilah. Tidak ada orang yang lebih miskin darinya. Ia tidak mempunyai kendaraanyang dapat ditungganginya adan tidak punya bekal yang memadai. Orang-orang yang mengenalnya terkadan memberikan bantuan kecil kepadanya.

Pada suatu malam, pimpinan kafilah tirtimpa sakit berat. Dokter tak mampu mengobatinya. Lalu ia bertanya, "Adakah orang di antara kalifah yang ahli ibadah dan bisa mendoakanku?"

Mereka berkata, "Ada. Hatim Al Hasham, seorang lelaki tua yang zuhud. Ia ada bersama kita." Kata pemimpin kafilah, "Cepat panggil dia."

Para pelayan laki-laki mengatarnya ke hadapan pimpinan mereka. Hatim mengucapkan salam dan duduk di samping pembaringan pemimpin kafilah itu. Hatim mendoakannya, dan Allah memberi kesembuhan penyakitnya.

Karena itu, pemimpin kafilah menjadi senang dan mempeprhatikannya. Ia pun memerintahkannya agar menydiakan kendaraan untuk Hatim. Semua kebutuhan perjalanannya dituanggung oleh pemimpin khafilah itu. Hatim bersyukur kepada Allah. Dia tiada henti bermunanjat pada Allah.

Suatu saat, di dalam tidurnya ada yang menyeru kepadanya, "Hai Hatim, orang yang mengerjakan amal shaleh dan bersabar kepada Allah, maka Allah pun akan meliputinya dengan karunia. Kini, janganlah engkau merisaukan keluargamu, karena Allah telah memberikan penghidupan kepada mereka." Ia terbangun dari tidurnya lalu memuji dan bersyikur kepada Allah SWT.

Wahai para haji! Mintalah kepada Allah tentang apa saja untuk kebaikan dunia dan akhirat karena kita sedang dalam jaminan Allah untuk memperoleh pengabulan atas semua permintaan itu. n Agus Yulianto

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image