Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Emrido Muhamad

Perkembangan Pesisir Jakarta dalam Buku Sejarah Teluk Jakarta

Sejarah | Tuesday, 01 Feb 2022, 18:23 WIB
Foto: Koleksi Perpustakaan Literasi Batavia, Jakarta Timur

Membahas Kota Jakarta memang sangat menarik dalam segi apapun termasuk sejarah dan perkembangannya. Jakarta pada masa lampau merupakan sebuah kampung yang belum menjadi kota seperti masa sekarang. Kemandiriannya sebagai kota merupakan kemauan dan kesepakatan sekelompok masyarakat yang menempati Jakarta itu sendiri. Perubahan-perubahan yang terus dilakukan hampir saja melupakan sisi nilai sejarah serta budayanya yang termuat dalam Kota Jakarta dan yang paling miris adalah reklamasi di pesisir pantai utara Jakarta meski pada akhirnya beberapa reklamasi dimenangkan oleh Pemprov DKI di pengadilan untuk kemudian dihentikan. Sementara yang tidak dapat dimenangkan rencananya akan digunakan untuk kepentingan publik.

Wilayah Teluk Jakarta dalam buku “Sejarah Teluk Jakarta” dibahas cukup komprehensif. Buku yang diterbitkan pada tahun 1996 oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI ini memuat informasi mulai dari sejarah, perkembangan sampai kondisi aktual hingga buku ini terbit. Dalam buku ini Teluk Jakarta secara geografis didefinisikan sebagai wilayah yang melingkupi Tanjung Pasir di sisi barat sampai Tanjung Karawang di sisi timur. Di sepanjang wilayah inilah terdapat beberapa gugusan pulau yang dinamakan Kepulauan Seribu.

Menurut buku ini, dataran Teluk Jakarta terbentuk oleh endapan vulkanis Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Gunung Salak. Barangkali juga jika ditambahkan termasuk Gunung Krakatu yang pernah meletus tahun 1883 yang sangat dahsyat letusannya. Semua letusan tersebut banyak membentuk daratan atau pulau. Beberapa pulau yang termasuk di dalamnya antara lain Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Edam, Pulau Kelor, Pulau Untung Jawa, Pulau Bidadari, dan pulau-pulau lainnya yang beberapa di antaranya tak berpenghuni bahkan hilang karena abrasi laut. Pulau Untung Jawa adalah pulau yang cukup paling luas dengan penduduknya mayoritas etnis Bugis dan Makassar yang beragama Islam.

Pulau Onrust dan Cipir pernah memiliki peranan yang cukup penting bagi perkembangan proses haji di Hindia Belanda (pemerintah saat itu) sekitar tahun 1911-an. Jadi para calon jamaah haji ditampung di pulau ini istilahnya diberi pembekalan untuk bagaimana proses haji nantinya. Sementara saat itu cukup banyak orang atau pribumi yang berkeinginan naik haji karena selain mereka naik haji, mereka juga menuntut ilmu kepada para ulama di sana sehingga pada saat itu orang yang akan menunaikan haji laksana orang yang akan melepas keluarganya di tanah air entah sampai kapan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena perjalanan jalur laut menggunakan kapal yang memakan waktu lama.

Padatnya penghuni pulau mungkin saja menjadi hal paling mendasar sehingga timbulnya penyakit menular di antara para jamaah haji dan menimbulkan banyak kematian. Dalam beberapa sumber akhirnya jamaah yang sakit dipindahkan ke Pulau Cipir sehingga terpisah dengan jamaah haji yang sehat berada di Pulau Onrust. Ada keterangan lain bahkan berpendapat bahwa banyaknya jumlah jamaah haji bukan hanya karena penyakit menular tetapi juga sengaja disuntik mati oleh pengurus Rumah Sakit Haji tersebut yang dimotori oleh dokter Belanda. Hal ini dikarenakan banyaknya para jamaah haji yang sepulang dari hajinya kembali ke tanah air memotori perlawanan di wilayahnya masing-masing terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Pada bagian di atas tidak dimuat dalam buku ini, itu didapatkan dari referensi lain. Namun dalam buku ini memberikan informasi tentang Pelabuhan Tanjung Priok sebagai bagian dari Teluk Jakarta yang dibangun pada 1883 dan menjadi pelabuhan utama kapal-kapal besar karena perairannya yang cukup dalam termasuk para jamaah haji diberangkatkan dari sini. Kemudian penyerangan Inggris ke bagian pulau Teluk ini satu di antaranya adalah Pulau Onrust pada tahun 1800, 1803, dan 1806. Era selanjutnya ada juga peristiwa pemberontakan Kapal Zeven Provincien yang terjadi pada tanggal 4-10 Februari 1933. Pemberontakan tersebut dikarenakan pembayaran upah yang berbeda antara pribumi dan bangsa Eropa serta pembagian kerja yang tak sesuai.

Menariknya dari buku ini adalah sumber-sumber yang digunakan sebagai referensinya cukup akurat dan sesuai dengan priode masanya. Mulai dari tabel-tabel yang sumbernya berasal dari catatan pemerintah Hindia Belanda saat itu. Beberapa foto yang dibuat oleh bangsa Belanda sebagai penggambaran Batavia dan sekitarnya juga termuat dalam buku ini. Update foto juga termuat sebagai perubahan yang dialami oleh lokasi, benda, atau bangunan teretentu seperti Masjid Luar Batang, Masjid Al-Alam Marunda, dan lain-lain.

Persoalan lain tentang buku ini adalah adanya kelas sosial di Batavia dan sekitarnya (termasuk Teluk Jakarta). Kelompok kelas atas dikuasai oleh bangsa Cina begitu juga dengan kelas menengahnya. Namun ada juga orang-orang Jawa sebagian di dalamnya. Kelas ini berprofesi sebagai pemilik tanah partikelir, apartemen, atau semacam kavling penghunian. Kelas menengah ke bawah barulah ditempati oleh orang Jawa, Sunda, Bugis, Bima, Betawi (meski jarang disebut dalam buku ini), Maluku, dan lainnya. Kelas ini berprofesi mulai dari pemilik kapal, pemilik bagan, nelayan, buruh muatan, pedagang, dan lain-lain. Buku ini juga menyebutkan bahwa mayoritas keadaan pendidikan pribumi adalah AD/MI/SR dengan persentase 35%.

Hingga kini eksistensi Teluk Jakarta menjadi heterogen dan melunturkan budaya asli setempat. Mayoritas Kepulauan Seribu saja dihuni oleh Suku Bugis yang sejak abad 17 M hadir di Sunda Kalapa bukan hanya sebagai pedagang dan nelayan saja tetapi juga sebagai pasukan Kerajaan Goa-Tallo yang pernah dipimpin oleh Karaeng Galesung dan Syech Yusuf dalam membantu Banten menghadapi VOC.

Penggambaran nilai budaya dalam buku ini hanya dituliskan sedikit saja yaitu pada bagian sub judul Nadran. Nadran atau Nyadran merupakan upacara terima kasih kepada penguasa laut yang telah memberikan kehidupan kepada masyarakat pesisir. Inisasi ini dilakukan setahun sekali bahkan sampai sekarang masih dilakukan tepatnya di bagian Marunda. Biaya yang dikeluarkan dalam upacara ini dilakukan secara urunan oleh tiap warganya.

Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup mudah dimengerti sehingga tujuan buku ini dibuat menyasar pada masyarakat luas yang ingin tahu lebih jauh tentang Jakarta dan teluknya terutama pada bidang sejarah. Meski terdapat beberapa typo dalam penulisannya, buku ini pada bagian akhirnya memberikan ralat-an sehingga pembaca mengetahui maksud yang sebenarnya, namun yang dikhawatirkan adalah penulisan angka tahun saja karena berhubungan dengan distorsi sejarah. Akhirnya saya sangat mengapresiasi adanya buku ini karena informasi sejarah yang cukup akurat dapat ditemukan di buku ini dengan dapat dipertanggungjawabkan tentunya. Salam hormat kepada Bapak Drs. H. Dirman Surachmat selaku koordinator, Bapak Drs. Idik Mutholib selaku Ketua dalam penulisan buku ini serta editor Bapak Drs. Candriyan Attahiyat yang juga merupakan seorang arkeolog.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image