Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wanda Ernasari

Bagaimana Pandangan Islam Dalam Fenomena Tunda Bayar (Pay Later) ?

Agama | Saturday, 29 Jan 2022, 12:08 WIB

Perkembangan teknologi zaman sekarang semakin pesat dengan adanya bantuan internet, bahkan sekarang internet berdampingan dengan kehidupan manusia. Dengan adanya internet dan kemajuan teknologi semakin memudahkan aktivitas masyarakat, di era modern ini semua kegiatan yang dilakukan masyarakat akan terasa cepat dan efisien karena terminimalisir oleh alat bantu berupa elektronik.

Kemudahan ini memunculan inovasi baru yang bervariasi, e-commerce (elektronik commerce) merupakan salah satu sektor perdagangan yang merupakan pemasaran barang dan jasa yang menggunakan elektronik seperti internet. Jasa yang ditawarkan e-commerce antara lain e-banking, pembelian tiket hotel, tiket kereta api, tiket pesawat, pembayaran tagihan dan jual beli online bahkan kredit online.

Dengan kemudahan yang tersedia membuat masyarakat tertarik menggunakan teknologi berbasis internet ini. Perkembangan ini berpengaruh bagi gaya hidup masyarakat yang setiap harinya kini melakukan transaksi secara online. Transaksi menggunakan internet yang dilakukan setiap harinya adalah bisnis online. Bisnis online merupakan jual beli yang terjadi dimedia elektronik, yang mana transaksi jual beli tidak mengharuskan penjual dan pembeli bertemu dan bertatap muka secara langsung, dengan menentukan ciri-ciri, jenis barang, sedangkan untuk harga nya dibayar terlebih dahulu baru diserahkan barangnya.

Jual beli sudah ada sejak zaman dahulu bahkan sudah dikenal dari zaman kenabian. Saat Rasulullah Saw remaja beliau sudah mulai berdagang ke negeri Syam. Jual beli merupakan aktivitas yang dianjurkan dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam al-qur‟an QS. Al-Baqarah ayat 275:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَوَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”2

Seiring perkembangan zaman, banyaknya fintech (Financial Technologi) atau perusahaan jasa keuangan yang menawarkan layanan elektronik digital yang dapat melakukan transaksi pembelian barang atau jasa di mana fintech sebagai uang elektronik yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dalam fatwa No. 116/DSNMUI/IX/2017 tentang uang elektronik syari‟ah.3 Fatwa tersebut menimbang bahwa masyarakat Indonesia masih membutuhkan penjelasakan terhadap batasan dan ketentuan hukum dari segi syari‟ah. Uang elektronik syari‟ah yang kini kian dipergunakan oleh masyarakay salah satu nya adalah paylater. Paylater ini banyak digunakan oleh e-commerce ticketing liburan hingga marketplace. Contoh perusahaan aplikasi yang memberikan layanan paylater adalah Traveloka, Shopee, Gojek dan semacamnya.

Untuk produk paylater ini terdapat unsur bunga yang diterapkan di semua perusahaan yang menarapkan sistem paylater. Bunga cicilan flat (rata) antara 2.14 % sampai 4.78 % bahkan beberapa perusahaan menerapkan bunga yang lebih tinggi. Yang dipermasalahkan adalah apakah pola transaksi sebagaimana paylater ini termasuk yang diperbolehkan dalam syariat?Ada beberapa pendapat yang memungkinkan untuk kita ambil dalam transaksi ini.

Pertama, hutangan yang diberikan oleh Grab/Traveloka lewat produk paylater adalah termasuk kategori riba qardli (riba utang) yang diharamkan sebab adanya unsur ziyadah (tambahan) yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya. Bagaimanapun juga, paylater ini adalah aplikasi berbasis utang (qardl). Hal itu tercermin dari konsumen yang mengakses situs pesan barang atau jasa terlebih dulu, dan selanjutnya untuk pembayarannya ditanggung dulu oleh penerbit paylater (misalnya, Grab, Traveloka, atau lainnya). Dengan demikian, pihak konsumen memiliki utang terhadap perusahaan tersebut. Sampai di sini maka bila pihak perusahaan menetapkan syarat berupa tambahan harta/manfaat dari jasa utang yang diberikannya kepada konsumen, maka di satu sisi ia masuk kategori riba qardli. Sebab, hukum asal dari utang adalah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yang diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan oleh pemberi utang, maka tidak diragukan lagi bahwa tambahan tersebut merupakan riba.

Kedua, hutangan yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan itu lewat aplikasi Paylater tersebut bukan termasuk riba yang diharamkan sebab tambahan tersebut hanya bisa diperoleh lewat penggunaan aplikasi. Karena harus memakai aplikasi, maka tambahan itu termasuk bagian dari akad ijarah (sewa jasa aplikasi). Hal ini, berangkat dari qiyas terhadap kaidah berikut.

ولو أقرضه تسعين دينارا بمائة عددا والوزن واحد وكانت لا تنفق في مكان إلا بالوزن جاز وإن كانت تنفق برؤوسها فلا وذلك زيادة لأن التسعين من المائة تقوم مقام التسعين التي أقرضه إياها ويستفضل عشرة

“Seseorang memberi utang orang lain sebesar 90 dinar, namun dihitung 100, karena (harus melalui jasa) timbangan yang satu, sementara tidak ada jalan lain melainkan harus lewat penimbangan itu, maka hukum utangan (terima 90 dihitung 100) itu adalah boleh. Adapun bila 100 itu hanya sekedar digenapkan pada pokok utang (tanpa perantara jasa timbangan) maka tidak boleh sebab hal itu termasuk tambahan (yang haram). Karena bagaimanapun juga, nilai 90 ke 100 adalah menempati maqam 90, sementara 10 lainnya adalah tambahan yang dipinta.” Aplikasi kedudukannya diqiyaskan dengan timbangan yang mau tidak mau harus dilalui, dan keberadaannya dihitung sebagai jasa (ijarah). Sebagaimana yang berlaku pada timbangan di atas, kedudukannya adalah sebagai jasa (ijarah) yang disewa dengan besaran upah yang ma’lum (diketahui secara jelas).

Ketiga, mendudukkan akad di atas sebagai akad bai’ tawarruq. Yang sulit diterima pada paylater yang memberlakukan bunga itu dengan nilai persentase dalam rentang 2.14% - 4.78% per bulan. Pihak penyedia jasa paylater sebenarnya sudah menyatakan bahwa bunga itu berlangsung flat (rata). Artinya, setiap bulan, besar cicilan yang disampaikan adalah selalu sama hingga akhir masa cicilan. Maka transaksi yang terjadi antara konsumen, penjual dan penyedia jasa paylater adalah ba’I tawwaruq sehingga hukumnya boleh.

Keempat, ada solusi yang hampir mendekati pandangan di atas, yaitu menjadikannya akad ju’alah (sayembara). Jadi, seolah telah terjadi transaksi antara konsumen paylater dengan penyedia jasa paylater lewat jasa aplikasi pada saat pihak konsumen mulai mengaksesnya dan mengontak pihak pihak penyedia jasa paylater. Saya ingin membeli menyewa tempat ini dengan harga sekian, tolong diuruskan, nanti kamu saya kasih fee sebesar sekian persen untuk biayanya.

“Ulama kalangan Syafiiyah berkata: “Seandainya ada orang yang berkata kepada rekannya: Carikan aku utangan sebesar 100, dan kamu akan mendapatkan dariku 10%-nya.” Maka akad seperti ini masuk kelompok ju’alah (sayembara).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34).

Alhasil, dengan mencermati berbagai takyif (rincian akad) yang dilalui di atas, serta menimbang peran kebutuhan yang mendesak dalam penggunaan aplikasi Paylater, maka hukum penggunaannya bisa dibagi menjadi 4. Adapun, langkah bijak dalam menyikapi perbedaan hukum di atas, adalah dengan jalan mengambil kaidah keluar dari ikhtilaf adalah mustahab (yang dianjurkan). Maksudnya, bagi yang sangat berkepentingan dengan jasa paylater, maka solusi yang tepat baginya adalah mengikut jalur pendapat yang membolehkan. Adapun, bila kondisi itu tidak bersifat darurat, maka sebaiknya tidak menggunakan aplikasi tersebut mengingat adanya indikasi unsur riba yang diharamkan di dalamnya. Wallahu a’lam bi al-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image