Relasi Politisi, Oligarki dan Media Massa di Era Post-Truth
Politik | 2022-01-27 01:10:07Relasi Politisi Oligarki Dan Media Massa Di Era Post Truth
Post Truth. Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth”. Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an
Kemudian di tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali. Puncaknya adalah di tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan presiden di Amerika, dimana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar. Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang menggemparkan. Sampai-sampai, kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the year, dan mendefiniskan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Sederhananya, post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan . Apakah Indonesia pernah mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya. Masih ingat saat pilihan presiden tahun 2019? Tidak dipungkiri bahwa pemilu tersebut adalah salah satu contoh momen masifnya perkembangbiakan post truth di indonesia.
Lalu apa hubungannya antara post truth dengan media massa?
Tidak bisa dipungkiri bahwa media massa membuat informasi menjadi jauh lebih riuh ,bising dan masif. Putaran gelombang dan ombak inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan yang menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah kebenaran. Seperti ucapan Joseph Goebbels, salah satu loyalis Hitler, yang manyatakan bahwa “kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran”.
Dalam teori komunikasi politik klasik oleh harol de lasswell media massa menjadi mitra penting bagi para politisi yang ingin mengirimkan pesan pesan politiknya secara efektif dalam upaya mencapai tujuan politik nya ,menurut laswel pula dalam bukunya politik: what,who,and when get to the power telah menjadi kajian yang ramai digunakan pada era politik saat ini termasuk indonesia dimana para pemain politik apakah itu organisasi politik maupun perorangan politik menjadikan media massa sebagai corong dari kepentingan politik nya dalam rangka mencapai target politik yaitu meraih kekuasaan.
Karena media massa adalah alat yang paling cepat sampai kepada masyarakat yang menjadi objek politik dalam memperoleh dukungan praktek politik dengan menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan-pesan politik nya sudah dimulai dsejak perang dunia -1 dan mengalami puncaknya ketika joseph gobel menjadi menteri propaganda nazi jerman yang berkata” kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran” berangkat dari teori ini lah lahirnya istilah yang lalu di kembangkan dengan nama post truth.
Sejak itu lah teori josep gobel ini digunakan oleh negara negara besar dan para politisi melakukan komunikasi politik dalam bentuk propaganda dengan menggunakan media massa secara masif dan mengabaikan etika politik yaitu kejujurun,keterbukaan,mendidik,dll
Tetapi sebaliknya banyak melakukan praktek manipulatif,indoktrinatif,bahkan menebarkan kebohongan atau dengan kata lain hoax yang menjadikan praktek politik menjadi tidak sehat.
Perkembangan selanjutnya hingga saat ini hubungan politisi dengan media massa dimanfaatkan oleh kekuatan lain yang memiliki kepentingan kepada kekuasaan yaitu golongan oligarki(cukong politik).dengan kekuatan modal yang dimilikinya mereka mampu mengkondisikan politik piramida (elit politik,media massa dan oligarki ) dalam mewujudkan teori lasswell yang berkesinambungan yaitu siapa mendapatkan apa,bagaimana cara mendapatkannya,dan kapan mendapatkannya.
Saat politik dikuasai oleh politik piramida ini maka yang dihasilkan dari kegiatan politik seperti itu adalah politik transaksional,politik transaksional adalah , ada tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik .Untuk meraih keuntungan keuntungan politik dari ketiga pihak tersebut dan mengabaikan kepentingan politik itu sendiri yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat,kemajuan negara ,dan menciptakan demokrasi yang berkualitas,terciptanya tertib hukum.
Distorsi dari pada politik piramida ini elit politik,media massa dan oligarki kini dirasakan pada masyarakat indonesia yang dapat kita temui dari perbincangan di dunia publik baik dari media mainstream maupun media sosial dengan lahirnya praktek -praktek politik berupa para politisi mencari dukungan cukong politik atau oligarki untuk belanja-belanja politik nya dengan menggunakan media massa untuk melakukan propaganda politik atau pencitraan politik sehingga terciptanya opini publik yang akan melahirkan kepada dukungan politik dalam tujuannya meraih kekuasaan politik.
Setelah kekuasaan politik itu diraih oleh para para elit politik yang didukung oleh oligarki dan media massa maka kekuasaan yang dia pegang akan melahirkan,peraturan - peraturan undang – undang, kebijakan - kebijakan yang memprioritaskan para pemilik modal politik tersebut akibat nya kini banyak masyarakat merasakan undang undang dan kebijakan politik banyak merugikan masyarakat bahkan tidak berpihak kepada rakyat sama sekali malah sebaliknya berpihak kepada para oligarkis, kondisi seperti ini akan menciptakan distrust politik bila distrust politik ini berkelanjutan akan bermuara kepada kegaduhan politik.
Dampak dari pada post truth adalah kerusakan dibidang politik karena maraknya korupsi dan merusak semua nya dalam teori korupsi dia merusak tatanan hukum,merusak perekonomian nasional,menciptakan kesenjangan dunia yang besar,menciptakan praktek birokrasi yang rumit,menciptakan moral politik yang buruk .ada istilah yang menghubungkan kekuasaan dengan korupsi yaitu ditemukan istilah baru dengan akronim P-R-I-O-N (Power,return to investment,interest,opportunity,next of power) yang memiliki pengertian.
Power:kekuasaan politik yang didapati oleh para politisi atau organisasi politik pada organisasi negara
Return to investment:yaitu pengembalian modal oleh para politisi yang berkuasa atau organisasi politik atas pembiayaan politik yang dia dapati dari pada pemilik modal(oligarki atau korporatokrasi).
Interest:yaitu kepentingan politisi,organisasi politik media massa,dan oligarki untuk memanfaatkan kekuasaan yang ada demi meraih keuntungan pribadi kelompok dan golongannya.
Opportunity:yaitu kesempatan yang dimiliki oleh para penguasa dalam membuat peraturan,kebijakan,dan penempatan jabatan elit politik demi keuntungan pribadi,kelompok dan golongannya
Next of power:adalah upaya merencanakan untuk mempertahankan kekuasaan yang ada untuk kekuasaan yang ada untuk kekuasaan berikutnya maka munculnya istilah 3 periode itu bagian dari next to the power itu terwujud karena aktor politik yang didukung oleh para oligarkis untuk mempertahankan status quo agar tetap mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan media massa ,lembaga survei,dan konsuktan politik,
Untuk itu perlu dipikirkan mekanisme berpolitik di era demokrasi saat ini bagaimana upaya mencegah para cukong politik atau kaum oligarkis tidak memiliki akses kepada politisi atau organisasi politik dengan menerapkan hukum yang tegas dan tajam ke segala arah,dan juga bagaiman cara melahirkan para politisi dengan kapasitas dan kompetensi berpolitik tanpa menggunakan kaum-kaum oligarkis dan inipun harus menggunakan instrumen hukum yang keras bila mana didapati politisi maupun organisasi politik mendapatkan pembiyaaan oleh para oligarkis,dan yang terakhir adalah pembenahan media massa yang harus profesional dengan mengemban kepentingan masyarakat banyak ketimbang kepentingan para elit politik maupun oligarkis bila penataan ketiga elemen ini bisa dilakukan maka diharapkan kedepan politik indonesia bisa lebih sehat.
Oleh:Muturizal Sah Fenta Hashfi
Mahasiswa Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.