Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afif Sholahudin

Belanja Impulsif di Era Digital: Mengapa Kita Sulit Menahan Diri?

Gaya Hidup | 2024-10-07 15:04:37

Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan hidup yang semakin besar, banyak orang, terutama generasi muda, menghadapi tantangan baru dalam mengelola keuangan. Fenomena doom spending atau belanja impulsif yang dipicu oleh kecemasan ekonomi menjadi salah satu masalah yang kerap muncul. Alih-alih menabung untuk masa depan, mereka justru memilih untuk "menghabiskan" uang sebagai cara mengatasi stres dan kekhawatiran.

Mengenal Doom Spending

Doom spending adalah perilaku belanja impulsif yang dilakukan sebagai respons terhadap stres atau kecemasan akibat ketidakpastian ekonomi dan masa depan. Fenomena ini banyak terjadi di kalangan Generasi Z dan milenial, yang merasa pesimis tentang kemampuan mereka untuk mencapai tujuan finansial jangka panjang seperti memiliki rumah atau menabung. Berbeda dari retail therapy, doom spending lebih dipicu oleh faktor eksternal seperti ketidakstabilan ekonomi global, ketimpangan kekayaan, serta paparan berita negatif dari media sosial.

Perilaku ini dapat menyebabkan masalah keuangan serius, seperti utang akibat penggunaan layanan seperti pinjaman online dan Buy Now, Pay Later (BNPL). Banyak orang muda merasa kondisi keuangan mereka lebih buruk daripada generasi sebelumnya, dan belanja impulsif sering dilakukan untuk mengatasi stres ekonomi. Untuk mengatasi doom spending, penting untuk mengenali emosi yang memicunya, mencatat pengeluaran, membatasi penggunaan media sosial, dan melakukan aktivitas fisik sebagai pengalih dorongan untuk berbelanja.

Teknologi Memberi Pengaruh Signifikan

Menariknya, teknologi punya peran besar dalam memicu fenomena doom spending. Salah satu faktornya adalah media sosial, seperti TikTok dan Instagram, yang sering bikin kita tergoda buat beli barang-barang nggak perlu. Contohnya, tren #TikTokMadeMeBuyIt yang bikin banyak orang merasa “terpaksa” ikut-ikutan beli barang yang lagi viral. Tekanan sosial untuk selalu update sama tren memang sering bikin kantong jebol!

Selain itu, paparan terus-menerus terhadap berita ekonomi yang negatif juga nggak membantu. Dengan berita soal resesi atau inflasi yang beredar setiap hari, banyak orang akhirnya merasa stres dan menggunakan belanja sebagai pelarian. Apalagi, kemudahan belanja online bikin kita bisa checkout dalam hitungan detik! Cuma tinggal klik, produk sudah meluncur ke rumah tanpa kita merasa "sakit" karena kehilangan uang. Ditambah lagi, influencer sering mempromosikan barang-barang mewah yang bikin kita tergoda buat meniru gaya hidup mereka.

Intinya, teknologi semakin mempermudah dan memperkuat dorongan untuk berbelanja impulsif. Dengan akses yang begitu mudah dan tekanan sosial yang kuat, nggak heran kalau doom spending jadi makin marak.

Perbaiki Budaya Konsumtif Dalam Mengelola Keuangan

Edukasi dan sosialisasi terhadap literasi keuangan adalah hal yang penting. Jarang kita melihat dari sejak sekolah sudah diajarkan seputar literasi keuangan. Bagaimana ilmu tentang investasi, manajemen uang, penganggaran, dsb.

Pemerintah memiliki hak untuk memperketat regulasi layanan keuangan digital, khususnya Pay Later. Pinjol yang berlebihan dapat merusak generasi dengan perilaku konsumtif berbahaya. Masyarakat yang diciptakan adalah masyarakat yang sadar akan finansial dan stabil secara ekonomi.

Stabilitas ekonomi merupakan salah satu kondisi struktural yang menekan mereka melakukan doom spending. Peluang kerja yang sedikit, subsidi harga yang semakin berkurang, dan faktor lainnya yang mempengaruhi kebiasaan konsumtif. Gaya hidup sederhana minim diberikatan, justru media dan influencer mempromosikan gaya hidup mewah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image