Second Account, Berbagi Privasi atau Pengancam Karir
Update | 2024-10-07 03:58:37Penguasaan media sosial yang kini diambil alih oleh generasi milenial dan generasi Z merubah kaca dunia maya menjadi alur interaksi yang tidak terbatas. Terbukanya interaksi membuat beberapa pengguna merasa "batas privasi" mereka tidak dapat dijamin oleh teknologi secara pasti. Berjelajah tanpa orang lain tau tentang kita dapat menjadi opsi yang dicari pengguna diberbagai media sosial dengan hadirnya fenomena "Second Account".
Fenomena second account atau akun kedua hadir di tiga platform aktif yang selalu digunakan pengguna dalam mencari informasi berita maupun isu topik terbaru, yaitu Instagram, Twitter maupun TikTok. Selain menjadi tempat menghabiskan waktu disaat luang, pengguna media sosial sendiri tidak menyadari terbukanya interaksi dan jangkauan media membuat beberapa pengguna merasa membutuhkan "privasi" dalam berekspresi sehingga memunculkan opsi second account yang diharapkan dapat menjadi tempat berekspresi secara bebas dengan orang terdekat dan aman dari jangkauan orang tidak dikenal. Namun faktanya, kehadiran second account sendiri memunculkan berbagai kontroversi dikalangan pengguna sebagai sarana pengungkapan jati diri dan privasi seseorang.
BAHAYA
Hadirnya public figure dan influencer dikalangan masyarakat terutama diplatform media sosial menuntut mereka menciptakan personal branding dan image yang mampu menarik pengguna media sosial sebagai bentuk kepuasan diri maupun target public figure itu sendiri. Bahkan seorang politikus banyak yang menggunakan media sosial sebagai sarana memasarkan kualitas diri mereka sebagai pemimpin yang ingin menggait para generasi muda. Namun terkadang, sifat bawaan masyarakat indonesia yang mengalir gen “kepo” membuat mereka lupa akan batas privasi dengan public figure mereka. Terkait halnya dengan second account, public figure sendiri sering lalai dan marak kasus public figure mendapati dampak dari penyebarluasaan privasi yang dilakukan akun anonym yang tidak dapat dipercaya. Pentingnya data diri dan berbagai cerita yang sebaiknya tidak diungkapkan walaupun sebatas di second account mereka. Terkait pula dengan penggunaan teknologi yang semakin canggih memungkinkan berbagai privasi yang tidak terlihat dapat bocor.
Ketika tokoh berpengaruh menggunakan second account untuk berbagi pendapat atau konten yang kontroversial, hal ini dapat menyebabkan backlash yang membahayakan. Misalnya, komentar yang dianggap ofensif atau tidak pantas dapat menyebar dengan cepat, menyebabkan dampak negatif yang luas pada reputasi mereka. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat berujung pada hilangnya dukungan publik atau bahkan sponsor.
Lebih jauh lagi, ada potensi penyalahgunaan akun kedua. Dalam beberapa situasi, tokoh berpengaruh mungkin menggunakan akun ini untuk berinteraksi dengan pengikut secara anonym yang bisa menyebabkan masalah etika. Misalnya, mereka dapat berkomentar positif tentang diri mereka sendiri atau menyerang orang lain tanpa takut akan konsekuensi. Ini menciptakan lingkungan di mana kebohongan dan manipulasi bisa terjadi, merusak integritas platform media sosial secara keseluruhan.
Dalam permasalahan lain, pencitraan second account dan cara pengguna lain menilai second account seseorang dapat membuat pengguna lain menebak siapa pengguna second account tersebut jika keberadaanya mengganggu pengguna lain tetapi pengguna lain tidak tahu siapa sebenarnya pemilik akun tersebut. Terlebih lagi hal ini berkaitan dengan public figure yang memiliki ciri khas dan logat mereka dapat menjadi penyamaran yang membawa martabat nama baik seseorang. Jika memang benar itu second account para public figure dan tokoh terkait, jika tidak?
Kasus serupa yang terjadi diakhir-akhir ini membahas tentang akun fufufafa yang mana pengguna media sosial menyangka dan menebak pemilik akun tersebut adalah wakil presiden Indonesia saat ini, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Gibran sendiri hingga saat ini masih belum mengkonfirmasi dan mengklarifikasi bahwa akun tersebut adalah second account miliknya, Dalam media sosial Twitter terkait, akun fufafafa menyebarkan berbagai komentar dan pesan yang menggambarkan seolah dia berbicara seperti lagat Gibran. Hal ini dikaitkan oleh pengguna media sosial bahwa pemilik akun fufufafa adalah Gibran dari track record hal-hal yang dibagikan oleh akun tersebut yang berkaitan dengan dunia politik dan tokoh terkenal yang dekat dengan Gibran.
Berkaitan dengan penyebaran isu yang belum tahu kebenarannya, kasus akun fufufafa tersebut dapat menjadi acaman karir Gibran sebagai wakil presiden. Sebagai warga negara dan public figure, Gibran akan dihadapkan pada dua pilihan, melaporkan pencemaran nama baik atau mungkin benar itu adalah second account Gibran sendiri. Pencemaran nama baik dapat diangkat ke ranah hukum yang telah dicantumkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang mengatur tentang larangan mendistribusikan, mentrasmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang berisi penghinaan atau pencemaran nama baik. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.750 juta.
Hal pengusutan siapa pemilik asli second account yang meresahkan para publik fugure tudak dapat dijamin dari pemilik platform media sosial itu sendiri. Terlebih lagi, bagaimana masyarakat suka melebih lebihkan dan mengkaitkan hal-hal yang dapat dilogis namun sebenarnya bisa jadi salah
Sebagai pengguna second account, saya sendiri masih dibayang-bayangi dilema yang sama jika hal-hal yang dialami oleh public figure terjadi kepada diri saya. Apalagi diakun pertama telah menciptakan branding seseorang yang bermatabat, berkarakter kebangsaan dan berjiwa sosial. Bagaimana pengaruh kepercayaan dan ketelitian seseorang dalam memilah dan memilih konten atau berbagi hal melalui second account harus dipertimbangkan kembali. Kejamnya dunia maya dan kegagalan teknologi tidak dapat diprediksi kedepannya. Perlu adanya peningkatan kewaspadaan dan saling peduli terhadap sesama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.