Darurat Kekerasan Seksual, Sudahkah Tersolusikan?
Agama | 2024-09-30 21:12:21Darurat Kekerasan Seksual, Sudahkah Tersolusikan?
Ramainya kasus kekerasan seksual di Indonesia dari tahun ke tahun selalu meningkat. Bahkan setiap bulan kasus ini selalu ada, dalam CATAHU Komnas Perempuan 2024 tercatat sebanyak 1.451 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik sepanjang 2023. Hal ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya. Bahkan berdasarkan data yang tersaji pada data SIMFONI-PPA telah terdaftar 17.599 kasus dengan 3.808 korban laki-laki dan 15.262 perempuan selama Agustus 2024. Walaupun tahun 2023, angka kekerasan seksual ini yang paling tinggi kalau kita melihat jenisnya mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Kalau di tahun kemarin, kekerasan fisik yang tinggi jadi ada pergeseran. Ini dinilai adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mempengaruhi tren aduan kasus kekerasan seksual. Sebab, undang-undang tersebut secara khusus mengatur tentang kekerasan seksual yang selama ini belum diakomodasi oleh aturan lainnya.
Kekerasan seksual ini sudah sering terjadi baik dikalangan remaja, dewasa bahkan lansia tanpa melihat status sudah menikah atau belum. Bahkan, kasus terbaru terjadi dikalangan remaja siswi SMP berusia 13 tahun di Palembang ditemukan tak bernyawa usai diperkosa empat orang remaja. Jenazahnya ditemukan di kuburan Cina, TPU Talang Kerikil, Palembang, Sumatera Selatan. Tak hanya itu, pelajar SMP berusia 15 tahun di Kabupaten Lampung Utara diperkosa 10 pria. Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubung di wilayah Lampung Utara pada Sabtu (17/2/2024). Inilah dampak dari pergaulan bebas yang merupakan perilaku sosial yang tidak dibatasi aturan mulai dari hubungan sosial tanpa batasan samapai gaya hidup bebas yang sekaligus menjadi bukti banyaknya kasus amoral yang terjadi hari ini. Setidaknya dalam sepuluh menit terjadi 1-2 kasus kekerasan seksual, miris sekali bukan?
Sayang, pemerintah seperti abai terhadap permasalahan ini, yang terlihat dari penerapan regulasi yang kontraproduktif untuk menurangi pergaulan bebas. Sebagai contoh, kebijakan pendidikan kespro di sekolah-sekolah dianggap slusi, padahal sejatinya memicu remaja terlibat pergaulan bebas itu sendiri. Juga dengan terbitnya kebijakan pemberian alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja, sebagaimana tertuang dalam PP 28/2024 terkait pelaksanaan UU kesehatan makin mempermudah anak-anak untuk melakukan pergaulan bebas hingga kekerasan sesksual.
Maraknya kekerasan seksual akibat pergaulan bebas tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat yang sekuler liberal. Sekulerisme menyebabkan remaja tidak mengenal agamanya dan tidak mengetahui standar halal haram menurut syariat. Agama tidak dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Hal ini melahirkan liberalisme, yaitu kebebasan bertingkah laku yang mengakibatkan para remaja merasa bebas dan cenderung hanya mencari kesenangan jasadiah tanpa mempedulikan dampak perbuatannya, baik bagi diri mereka maupun lingkungannya. Mereka bahkan tidak merasa berdosa saat melakukan kekerasan seksual. Liberalisasi ini tidak terjadi begitu saja. Barat telah memastikan pemahaman ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari generasi muda muslim. Miris, negeri-negeri muslim -tidak terkecuali Indonesia- telah mengimpor budaya Barat hingga pemerintahnya membuat berbagai kebijakan yang sejalan dengan penancapan nilai-nilai Barat. Buktinya, media sering kali menampilkan kehidupan Barat melalui film, fesyen, dan makanan. Tidak pelak, makanan yang dikonsumsi, pakaian yang dipakai, dan tayangan yang ditonton oleh masyarakat muslim, meniru budaya Barat maupun agennya di Timur, sebagaimana Korea Selatan. Sedangkan pemerintah bertugas untuk menjaga kebebasan tersebut. Kita juga patut memperhatikan UU TPKS yang kental dengan ide sekuler liberal. UU ini berimplikasi pada legalisasi perzinaan akibat adanya klausul persetujuan seksual. Begitu pula dengan UU legalisasi aborsi bagi kehamilan akibat pemerkosaan, yang meskipun dianggap sebagai langkah untuk melindungi korban, sejatinya berpotensi membuka jalan bagi meningkatnya praktik aborsi legal akibat kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual yang marak akibat pergaulan bebas juga disebabkan oleh kegagalan sistem pendidikan. Pendidikan sekuler telah gagal mencetak generasi yang berakhlak mulia karena tidak menjadikan akidah sebagai fondasi kurikulum. Kurikulum Merdeka, yang berupaya menyesuaikan anak didik dengan pola pikir global menurut standar PISA, tidak mengajarkan bahwa agama adalah pedoman hidup. Akibatnya, pergaulan bebas makin tidak terkendali di kalangan pelajar, bahkan di tingkat dasar. Sanksi dalam sistem hukum di Indonesia pun tidak menjerakan. Pelaku kekerasan seksual hanya dikenakan hukuman penjara, padahal mereka telah menghilangkan nyawa. Pelaku pergaulan bebas atau perzinaan tidak dihukum jika tidak ada unsur paksaan atau aduan perselingkuhan. Lebih dari itu, hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sehingga menimbulkan ketakadilan dan merugikan mereka yang tidak memiliki jabatan atau harta.
Akar permasalahan dari semua ini adalah akibat tidak diterapkannya syariat secara kafah di negeri ini. Jika syariat Islam yang menjadi landasan dalam menetapkan kebijakan, pergaulan bebas akan diharamkan karena memuat pintu gerbang maupun perbuatan zina itu sendiri. Praktik kekerasan seksual juga haram, meskipun dilakukan dalam kondisi “sama-sama mau” untuk korban pemerkosaan. Dalam Islam, tidak ada persetujuan seksual. Aktivitas seksual hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri yang sah. Selain itu, hukum sanksi zina menurut Islam juga tegas dan menjerakan, sesuai dengan firman Allah Swt.,
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.” (QS An-Nur [24]: 2).
Perihal pergaulan bebas ini, negara harus berupaya maksimal dalam menutup semua celah. Upaya kuratifnya berupa penerapan sanksi hukum yang adil terhadap siapa pun yang melakukan kejahatan, baik untuk kasus kekerasan seksual maupun perzinaan. Sedangkan upaya preventifnya adalah sebagai berikut.
Pertama, penerapan sistem pergaulan Islam yang berfungsi menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan syariat Islam. Negara juga akan memberikan edukasi sekaligus memastikan masyarakat paham untuk melaksanakan tata cara pergaulan antarlawan jenis.
Hal ini meliputi perintah atas kewajiban menundukan pandangan (ghadhul bashar), menutup aurat, juga berbagai larangan untuk aktivitas seperti berkhalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis), ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan), bepergian bagi muslimah kecuali dengan mahram, dan tabaruj.
Kedua, pendidikan berbasis akidah Islam. Dalam hal ini, anak-anak harus diajarkan sejak dini tentang tujuan hidup dan memosisikan Islam sebagai pedoman hidup. Pendidikan berbasis akidah Islam juga akan memberikan motivasi ruhiah dan menghindarkan mereka dari pergaulan bebas.
Ketiga, pengaturan media harus disusun dengan baik agar hanya menyiarkan kebaikan serta mendukung peningkatan keimanan dan ketakwaan masyarakat. Media sosial, khususnya, harus digunakan untuk menjaga akidah dan menyebarkan tsaqafah Islam.
Semua upaya kuratif dan preventif ini akan optimal dengan memfungsikan tiga pilar, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah. Ketiga pilar tersebut tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual akibat pergaulan bebas, tetapi jika dapat berjalan optimal akan membentuk masyarakat yang beriman dan bertakwa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.