Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Admin Eviyanti

Mudahnya Mekanisme Pengangkatan Wali (Penguasa Wilayah) di dalam Sistem Islam

Politik | Tuesday, 17 Sep 2024, 17:28 WIB

Oleh Heni Ummufaiz

(Ibu Pemerhati Umat)

Bulan-bulan ini ramai terkait pilkada di berbagai daerah untuk memilih seorang pemimpin di wilayah masing-masing. Berbagai trik yang dilakukan para balon (bakal calon) untuk meraih simpati warga. Tak peduli halal dan haram, yang penting tujuan tercapai. Inilah bentuk kerusakan pada demokrasi.

Namun, ironisnya berbagai kerusakan terkait pemilihan pemimpin–baik pemilihan presiden hingga kepala daerah–sama-sama senantiasa diiringi kericuhan. Bahkan tidak cukup sampai di situ, akibat lebih parahnya banyak yang mengalami depresi hingga bunuh diri akibat mengalami kegagalan.

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan sistem pemilihan di sistem Khilafah. Di sistem ini tidak dipusingkan dengan birokrasi dan modal seperti di sistem demokrasi. Kita akan menemukan tentang mekanisme pengangkatan pemimpin daerah (wali) yang memimpin di beberapa wilayah.

Wali ini memiliki wewenang seperti halnya khalifah yakni wewenang pemerintahan. Bedanya, berada di bawah kepemimpinan khalifah dan bertanggung jawab kepada khalifah. Sebab, mereka diangkat oleh khalifah. Para wali merupakan penguasa maka mereka harus memenuhi persyaratan di antaranya: laki-laki, merdeka, muslim, balig, berakal, adil, dan memiliki kemampuan.

Rasulullah saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan dalam memegang urusan pemerintahan, memiliki ilmu dan ketakwaan. Beliau, jika mengangkat seorang amir pasukan atau detasemen, senantiasa berpesan khusus dan kepada kaum muslim yang ikut bersamanya agar berbuat baik. (HR Muslim)

Jika ada seorang wali yang melakukan pelanggaran hukum syarak maka akan diberhentikan secara tegas sekalipun baru saja menjabat. Bahkan jika pun tanpa ada alasan bisa saja diberhentikan oleh khalifah.

Hal ini sebagaimana Rasulullah saw. pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dadi jabatan wali Yaman tanpa sebab apa pun. Ini juga pernah terjadi Ziyad bin Abi Sufyan dan tidak menentukan sebabnya.

Umar bin Khattab sangat ketat mengontrol para wali agar mereka senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Swt. Beliau juga memberhentikan para wali dan amil karena adanya keraguan yang bahkan tidak sampai derajat syubhat. Landasan keimanan dan ketakwaan yang senantiasa ditanamkan kepada para penguasa setingkat wali (atau kepala daerah) ini.

Beda sekali dengan para calon kepala daerah di sistem demokrasi, mereka saling berebut kursi, dengan cara haram pun dilakukan. Ketika diketahui kepala daerah itu korupsi pun masih saja ikut kembali berkampanye, yang terpenting memiliki modal besar.

Politik bagi-bagi uang ataupun proyek kepentingan semakin membuka mata kita, ternyata pemilihan kepala daerah (pilkada) penuh intrik, sulit, perlu modal besar, belum lagi dukungan dari partai pendukung sangat diperlukan. Sebab, jika tidak ada partai pendukung maka akan sulit lolos ke Pilkada.

Dari sini kita akan melihat betapa sistem Islam sangat praktis dan mudah birokrasinya. Siapa pun berhak menjadi seorang pemimpin, tetapi harus memenuhi persyaratan tersebut. Mereka yang memenuhi syarat akan dipilih secara adil dengan tanpa ada unsur riswah ataupun kepentingan pribadi. Semuanya berdasarkan landasan ketakwaan kepada Allah Swt.

Dalam sistem Islam, menjadi pemimpin bukan suatu prestasi ataupun ajang menaikkan level diri agar lebih terhormat. Namun, menjadi pemimpin adalah sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang memahami bahwa seorang pemimpin harus mampu amanah saat me-ri'ayah rakyatnya.

Di dalam sebuah hadis riwayat Muslim dan Ahmad, Rasulullah saw. bersabda, "Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diutusnya."

Dengan demikian, memilih pemimpin dalam sistem khilafah begitu mudah dan tidak ada obral janji palsu dan syarat kepentingan. Mekanisme praktis dan tak harus keluar modal seperti dalam sistem demokrasi.

Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image