Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Baehaki

Kisah Al-Mu'taz : Khalifah yang Mati Kehausan Karena Ketamakan Ibunya

Dunia islam | 2024-09-12 12:19:24
Ilustrasi Permaisuri Khalifah (Sumber: Pinterest)
Ilustrasi Permaisuri Khalifah (Sumber: Pinterest)

Beberapa waktu yang lalu, netizen Indonesia ramai-ramai meroasting menantu presiden Joko Widodo yang dianggap mempertontonkan kehidupan mewah ditengah kerasnya kritik masyarakat terhadap pemerintahan yang dinahkodai sang mertua. Dalam momen tersebut, masyarakat sekali lagi diingatkan pada sosok Marie Antoniette, Permaisuri Raja Louis XVI dari Prancis, yang dijuluki sebagai Madame Deficit atau “Nyonya Defisit”. Ia dituduh ikut andil dalam kemerosotan ekonomi Prancis karena gaya hidupnya yang mewah dan tidak bersimpati pada perjuangan rakyat Prancis. Marie sendiri akhirnya dieksekusi menggunakan guillotine di Place de la Révolution pada 16 Oktober 1793.

Terlepas dari gejolak perpolitikan Indonesia, dalam sejarah pemerintahan Islam klasik sendiri juga terdapat sosok istri raja yang dikenal memiliki gaya hidup mewah dan bergelimang harta. Kecintaannya pada harta benda bahkan mengalahkan rasa cinta dan kasih sayangnya pada anak kandungnya sendiri. Qabihah, selir Khalifah Abbasiyah ke-10, Al-Mutawakkil Alallah Ja’far, dan ibu dari Khalifah Abbasiyah ke-13, Al-Mu’taz Billah Muhammad, memilih anaknya mati kehausan daripada harus kehilangan harta kekayaan yang ia miliki.

Qabihah bukanlah nama aslinya. Ia adalah seorang bekas budak Romawi yang kemudian dipersunting Al-Mutawakkil. Konon, ia adalah wanita tercantik pada masanya. Bahkan, karena tidak ada ungkapan yang cukup untuk menggambarkan kecantikan parasnya, Al-Mutawakkil akhirnya menamainya “Qabihah”. Kata Qabihah yang secara literal bermakna jelek atau buruk, sungguh berbanding terbalik dengan sosoknya yang begitu cantik jelita. Alasan lain, penamaan ini diberikan untuk melindunginya dari kedengkian orang lain akan kecantikannya. Dalam bahasa arab, penamaan semacam ini dikenal dengan istilah al-Ism al-Adh’dad (nama kontradiktif), seperti hamba sahaya berkulit hitam sering disebut “Fiddhah”, yang berarti perak.

Karena kecantikanya yang luar biasa, Al-Mutawakkil mencintai Qabihah melebihi istri-istrinya yang lain. Sebagai bentuk cintanya, Al-Mutawakkil memberinya harta yang sangat besar. Dari pernikahan ini, lahirlah Al-Mu’taz Billah Muhammad yang kelak menjadi khalifah ke-13 Abbasiyah. Setelah Al-Mutawakkil wafat terbunuh pada tahun 247 H, kekhalifahan diteruskan oleh Al-Mustanshir Billah, lalu Al-Mustain Billah.

Kecantikan paras Qabihah ternyata diwarisi oleh anaknya, Al-Mu’taz. Abu Hasan Al-Masudi menggambarkannya sebagai seorang lelaki tampan dengan kulit putih, rambut yang hitam, dan mata yang indah. Al-Mu’taz digadang-gadang sebagai khalifah tertampan Dinasti Abbasiyah. Ia naik tahta pada tahun 252 H, pada usia 19 tahun, setelah berhasil menurunkan paksa pamanny, Al-Mustain Billah dari kursi kekhilafahan dengan bantuan pasukan Turki. Pada periode ini, dinasti Abbasiyah memang tengah berada dalam kontrol penuh pasukan Turki, yang dapat mengangkat dan melengserkan khalifah sesuai keinginan mereka.

Pada awal masa kepemimpinannya, hubungan Al-Mu’taz dengan pasukan Turki berjalan baik. Namun, seperti beberapa khalifah Abbasiyah sebelumnya, Al-Mu’taz tetaplah seorang khalifah yang lemah, selalu berada di bawah bayang-bayang kekerasan pasukan Turki. Setelah empat tahun berkuasa, hubungan mereka mulai retak ketika sebagian besar pasukan Turki menawarkan kepada Al-Mu’taz kesempatan untuk menghabisi Shalih bin Washif, pemimpin Turki yang menjadi ancaman bagi kekuasaannya. Tawaran ini datang dengan syarat Al-Mu’taz harus mampu membayar mereka sebesar 50.000 dinar.

Tawaran tersebut adalah kesempatan emas bagi Al-Mu’taz untuk terbebas dari ancaman Shalih bin Washif. Namun, karena kas Baitul Mal kosong, Al-Mu’taz meminta bantuan kepada ibunya, Qabihah, yang dikenal sangat kaya. Ia memohon agar Qabihah memberinya dana sebesar 50.000 dinar untuk membayar pasukan Turki. Sayangnya, Qabihah adalah seorang wanita yang sangat pelit, bahkan terhadap anaknya sendiri. Alih-alih membantu, ia berdusta dengan mengatakan bahwa ia tidak memiliki uang sebesar itu. Ia juga mencari cara demi mengamankan harta bendanya dari rampasan khalifah. Qabihah memutuskan menggali sebuah terowongan bawah tanah lengkap denngan gudang di dalamnya untuk menyembunyikann seluruh harta yang dimilikinya.

Karena Al-Mu’taz tidak mampu memenuhi permintaan pasukan Turki, mereka akhirnya bersekongkol dengan pemimpin mereka, Shalih bin Washif dan Muhammad bin Bagha, untuk melengserkannya dari kursi kekhilafahan. Ketika mereka mendatangi Al-Mu’taz, yang saat itu mengaku sedang sakitm, mereka tidak menunjukkan belas kasihan. Pasukan Turki menyeret dengan menarik kedua kaki Al-Mu’taz dari kamarnya dengan kejam, sambil terus memukulinya dengan pentungan.

Mereka kemudian menjemur Al-Mu’taz yang tidak berdaya dibawah panasnya terik matahari. Sambil memukuli Al-Mu’taz, pasukan Turki memaksa ia untuk mengundurkan diri dari jabatan khalifah. Al-Mu’taz akhirnya menyerah. Dihadapan para qadhi, ia menyatakan mundur dari kekhilafahan. Mereka lalu mengangkat Muhammad bin al-Watsiq menjadi khalifah sebelumnya.

Turunnya Al-Mu’taz dari kursi khilafah tidak membuat kekejaman Turki berhenti begitu saja. Lima hari setelah lengser, mereka menyeret Al-Mu’taz ke dalam sebuah pemandian, memaksanya mandi hingga mengalami kehausan yang luar biasa selama beberapa hari. Ketika ia merengek meminta minum, mereka malah memaksanya untuk meminum air salju yang dingin, yang akhirnya menyebabkan kematian khalifah tampan tersebut. Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam Tarikh al-Khulafa mencatat bahwa peristiwa tragis ini terjadi pada bulan Rajab tahun 255 H.

Di lain sisi, setelah mendengar kematian anaknya yang tragis, Qabihah menjadi sangat khawatir akan keselamatan dirinya. Ketakutan bahwa pasukan Turki mungkin akan mencarinya, ia segera memutuskan untuk mencari perlindungan. Denngan penuh kepanikan, ia pergi menemui Shalih bin Washif di Bagdadh, membawa serta uang senilai 500.000 dinar, atau 10 kali lipat lebih banyak daripada yang diminta oleh anaknya semasa hidup.

Namun, usaha Qabihah tidak berakhir di situ. Ketika gudang persembunyian hartanya terbongkar, ditemukan harta kekayaan yang luar biasa: 1,3 juta dinar, sekantong besar zamrud yang tidak pernah dilihat orang (saking banyaknya), dua kantung kecil berisi mutiara serta batu delima merah yang sangat langka. Semua harta itu dihadapkan pada Shalih bin Washif. Dengan nada penuh kemarahan, Shalih menghardik Qabihah, “Semoga Allah menjelekkan si Qabihah (Si Jelek)!. Ia membiarkan anaknya mati kehausan demi 50.000 dinar, padahal ia memiliki harta sebanyak ini !”.

Tidak puas dengan itu, Shalih mengusir Qabihah ke Mekah, di mana ia akhirnya meninggal dalam kesendirian. Kisah ini memberikan pelajaran berharga bahwa bahwa keserahakan tidak pernah membawa kebaikan. Seperti yang dialami Qabihah, keinginan untuk mempertahankan kekayaan tanpa memperhatikan orang lain akhirnya membawa kehancuran, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi bagi orang-orang yang seharusnya ia lindungi.

Sumber Bacaan :

1. Al-Rhaudhah al-Fayha fi Ahlaam al-Nisaa karya Yaasin bin Khairullah bin Mahmud bin Musa al-Khatib (w. 1232 H)

2. Tarikh al-Khulafa karya Jalaluddin al-Suyuti

3. Al-Inbaa fi Tarikh al-Khulafa karya Muhammad bin Ali bin Muhammad (w. 580 H)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image