Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

SK Terbit, Agunan Bank Bertandang

Gaya Hidup | Friday, 06 Sep 2024, 20:27 WIB

Ada semacam tradisi yang kemudian menjadi fenomena, dimana wakil rakyat yang sudah terpilih, setelah dilantik kemudian ramai-ramai mengajukan pinjaman ke Bank, dengan Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka sebagai agunan.

Angka pinjamannya fantastis, berkisar 500 juta hingga 1 miliar. Dengan gaji pokok mereka sekitar Rp 4,3 juta per bulan. Cukup berani bukan? Plt Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Abdul Karim, membenarkan fakta itu dan mengatakan ada 4 Anggotanya yang sudah mengajukan persetujuan dan tanda tangan kepada dirinya sebagai Ketua DPRD untuk persetujuan (kumparan.com,5-9-2024).

Karim memprediksi jumlahnya akan terus bertambah. Sebab masih ada sejumlah anggota dewan yang masih menunggu besaran gaji yang diterimanya. Dikatakan penulis di awal sebagai tradisi, karena pada tahun 2019 juga terjadi hal yang sama.

Di DPRD Banten, 20 anggota menggadaikan SK-nya. Sekretaris DPRD Banten Deni Hermawan mengatakan ini bebas wilayah pribadi, pihak perbankan juga merasa nyaman sebab pembayaran lancar ditunjang dengan penghasilan yang tetap dari para anggota. Bagi anggota dewan juga lebih menenangkan daripada pinjam rentenir. Dan biasanya untuk biaya sekolah atau kuliah anak, kebutuhan perbaikan rumah dan lainnya.

Di Ciamis, dari 50 anggota DPRD Kabupaten Ciamis yang dilantik, 40% nya sudah menggadaikan SK. Ketua sementara DPRD Ciamis Nanang Permana mengatakan secara hukum hal itu tidak terlarang, dan menjadi hal perdata sekaligus ranah pribadi anggota. Nanang menambahkan daripada mencuri uang negara lebih baik ngutang yang dibayar dengan gaji pribadi. Dan biasanya hanya dalam 48 bulan sudah lunas.

Ketua sementara DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono juga mengkonfirmasikan hal yang sama. Menurutnya setiap periode pasti ada. Karena setiap orang punya kebutuhan masing-masing. Awi mengatakan, di Surabaya, pengajuan cukup sampai izin dari Ketua Fraksi masing-masing anggota DPRD, tak perlu sampai ke Ketua sementara DPRD (Detikcom, 10-9-2019).

Dilantik Semestinya Siap Bekerja Bukan Siap Utang

Wakil Ketua Komisi II (bidang pemerintahan dalam negeri) DPR, Mardani Ali Sera, menilai gejala yang terdeteksi ini perlu dikaji apa sebabnya. Apa karena menutup utang kampanye atau karena menyesuaikan penampilan karena sudah terpilih. Mardani tak menganjurkan utang semacam itu, kecuali untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dia meminta masing-masing partai mengontrol para kadernya yang menggadaikan SK. Politikus PKS itu khawatir jika tidak dikontrol akan ada imbas buruk.

Fenomena ini menunjukkan adanya normalisasi perilaku utang, para anggota dewan yang notabene wakil rakyat tidak sejahtera, hingga menjadikan tujuan pertama usai pelantikannya adalah utang untuk " memperbaiki" hidup. Bayangkan bagaimana rakyat yang mereka wakili? Mereka beruntung memiliki SK, rakyat punya negara dan wakil rakyat saja tak ada pengaruhnya.

Tetap miskin dan tetap diperas keringat dan darahnya, menjadi gaji-gaji para anggota dewan terhormat. Bukankah semestinya usai dilantik mereka siap bekerja untuk rakyat? Untuk pemahaman ini saja sudah tidak bisa dipercaya karena ada pergeseran, amankan perut sendiri dan keluarganya, baru bicara soal rakyat.

Kinerja di parlemen pun diragukan, sebab mereka masuk gedung parlemen tidak semua sadar dan paham. Bahwa mereka penyambung lidah rakyat, bukan sapi perah partai apalagi penjilat penguasa. Namun inilah, wajah kapitalis yang berkelindan mesra dengan demokrasi, nyata-nyata mindsetnya adalah untung rugi dan kemanfaatan pribadi. Sejak dari kampanye sudah terlihat bahwa sistem politik demokrasi berbiaya mahal. Wajar jika kemudian muncul politik transaksional antara calon dan pemilik modal yang biasanya pengusaha atau oligarki korporasi.

Sebab maju menjadi calon pemimpin tidak cukup hanya bermodal satu hingga dua juta saja, melainkan milyaran hingga trilyunan. Hampir tak ada manusia di Indonesia memiliki harta begitu banyak kecuali dia seorang pengusaha dengan modal besar dan jaringan yang luas.

Dampak dari politik transaksional ini jelas akan menjadikan calon tersandera dengan berbagai prasyarat. Jika bukan segera kembalikan utang ya opsi kedua, kembalikan utang dengan termin melonggar tapi permudah perizinan jika sang pemodal punya proyek semisal eksplorasi tambang atau kekayaan alam di wilayah tersebut.

Belum lagi dengan biaya tambahan yang harus didapat calon untuk tim suksesnya, partai atau komunitasnya. Inilah politik balas budi yang sebenarnya adalah bagian dari money politik. Tak ada makan siang gratis, apapun itu jika bisa diuangkan mengapa tidak?

Belum lagi dengan wajah kapitalis lainnya yaitu individualis dan hedonis. Seolah jika punya jabatan harus mentereng, gaya hidup diubah seiring dengan penghasilan sudah mirip sultan. Banyak bermunculan gaya flexing anak-anak pejabat termasuk anggota parlemen yang semakin menunjukkan kekuasaan hanyalah jalan ninja seseorang yang ingin hidup enak dan makmur.

Islam: Jabatan Adalah Amanah

Disinilah kita harus sadari, kapitalisme demokrasi bukanlah sistem yang baik, bahkan zalim dan batil, jelas dalam pandangan sistem ini, jabatan bukan untuk amanah mengurusi rakyat, tapi memperkaya diri sendiri atau setidaknya uang modal maju pencalonan hasil utang kepada pengusaha sudah aman.

Sangat berbanding terbalik dengan Islam, kekuasaan hanyalah jalan untuk menerapkan Islam, sehingga ketika kekuasaan sudah diraih yang kemudian berjalan adalah penerapan amanah berupa hukum syara dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Tak ada jeda, begitu diresmikan maka sejak itulah seseorang yang terpilih memegang kekuasaan segera bekerja. Menunda sama dengan menzalimi rakyat yang telah memilihnya.

Dalam Islam, penguasa atau pejabat apapun bukan penentu hukum, sebab pembuat hukum hanya Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya," Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (TQS al-An'am : 57).

Apalagi sekelas MPR DPR yang dalam struktur Daulah khilafah disebut dengan majelis umat, peran strategisnya adalah muhasabah Lil Hukam, menasehati, mengoreksi dan memberi masukan kepada Khalifah atas kebijakan yang sudah dilaksanakan, adakah hak-hak rakyat yang belum tertunaikan bahkan terzalimi.

Semua anggota majelis umat dipilih oleh rakyat, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Mereka tidak dibebani oleh kewajiban mewujudkan kesejahteraan, sebab itu adalah jaminan negara dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Negaralah yang memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan dengan mengelola harta yang menjadi kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Mekanisme ini menghilangkan apa yang disebut politik transaksional, sebab, Islam mengharamkan privatisasi atau swastanisasi semua kekayaan alam kepada investor, baik lokal maupun luar negeri. Kalaulah negara terpaksa menggunakan mereka, bentuknya hanyalah ijarah ( Kontrak kerja). Allah Swt. berfirman yang artinya, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" ( TQS Al-Maidah:50). Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image