Himpitan Ekonomi Mematikan Naluri Keibuan
Gaya Hidup | 2024-08-27 10:14:25oleh : Umi Nurmawati
Dalam sebuah pernikahan kehadiran seorang anak adalah hal yang paling ditunggu, karena salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan.
Namun berbeda dengan seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) yang ditangkap karena menjual bayinya seharga 20 juta melalui perantara. Kejadian ini terjadi di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area Kota Medan Sumatera Utara. Wakil kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota Besar Medan AKP Madya Yustadi mengatakan, kejadian itu berlangsung pada selasa ( 6/8/2024). Mulanya petugas mendapat informasi dari warga. Bahkan akan ada transaksi jual beli bayi di rumah sakit daerah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.Kompas.com.
Kondisi masyarakat yang tidak sejahtera mendorong terjadinya tindakan-tindakan nekat seperti menjual bayi semata demi mendapatkan uang yang sebenarnya jumlahnya tidak seberapa. Ini logis, karena manusia ketika kelaparan, pikirannya akan terfokus hanya pada upaya menghilangkan kelaparan itu, meski harus melakukan hal-hal “gila” seperti itu.
Kasus serupa terjadi pada Februari lalu, yakni ketika seorang ibu di Tambora, Jakarta Barat juga menjual bayinya. T (35) menjual bayinya seharga Rp4 juta kepada AN (33) dan istrinya EM (30). Alasan R menjual bayinya adalah karena kesulitan ekonomi. Juga pada Agustus 2023, seorang ibu tega menjual bayinya yang masih berumur lima bulan. Bayi perempuan tersebut dijual sang ibu dengan harga Rp11 juta melalui media sosial.
Impitan ekonomi telah membuat sebagian ibu kehilangan akal sehat dan naluri keibuannya. Mereka rela menjual bayi yang dikandungnya demi mendapatkan sejumlah uang, padahal bayi itu merupakan buah hati yang telah bersemayam di rahimnya selama sembilan bulan. Setelah lahir, bukannya dirawat dengan penuh kasih sayang, mereka justru menjual bayinya. Tidak ada rasa kasihan maupun kekhawatiran atas nasib bayi tak berdosa tersebut.
Kondisi ekonomi yang sulit menjadi alasan para ibu itu tega menjual bayinya. Umumnya mereka kesulitan ekonomi dan harus menghadapinya sendirian karena tidak ada sistem pendukung (supporting system) berupa keberadaan suami, keluarga, dan kerabat. Selain itu, tidak ada pula yang membantu perekonomian mereka sekaligus mencegahnya untuk berbuat nekat.
Miris, kasus ibu menjual bayi nyatanya tidak satu atau dua kali terjadi. Dari banyaknya kasus ibu menjual bayi, tampak bahwa penyebabnya bukan semata faktor individu, melainkan kondisi lingkungan masyarakat kita memang memperburuk kondisi para ibu sehingga mereka kehilangan naluri keibuannya.
Akibat penerapan kapitalisme menjadikan negara lepas tangan dari peran mengurusi warganya. Sebaliknya, para penguasa malah sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroninya. Mereka juga begitu ambisius melakukan manuver politik demi syahwat kekuasaan. Akibatnya mereka abai terhadap kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan terus naik hingga rakyat kesulitan membelinya. Begitu juga dengan kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, BBM, listrik, dan gas. Semuanya sulit dijangkau karena dipatok dengan harga mahal oleh pemerintah.
Sementara itu, pungutan terhadap rakyat makin banyak. Aneka macam pajak menggerogoti penghasilan rakyat yang tidak seberapa.
Tidak heran, kondisi masyarakat yang tidak sejahtera ini pun mendorong terjadinya tindakan-tindakan nekat seperti menjual bayi semata demi mendapatkan uang yang sebenarnya jumlahnya tidak seberapa. Ini logis, karena manusia ketika kelaparan, pikirannya akan terfokus hanya pada upaya menghilangkan kelaparan itu. Apa pun caranya akan ia tempuh agar bisa makan. Meski harus melakukan hal-hal “gila” seperti menjual bayi.
Biaya melahirkan bayi, merawat, dan membesarkannya juga tidak murah. Pada beberapa kasus, ibu yang menjual bayi itu menggunakan uang yang ia terima untuk membayar biaya persalinan
Biaya persalinan memang tidak sedikit, apalagi jika tidak bisa lahir secara normal dan harus melakukan prosedur operasi, tentu butuh biaya berjuta-juta rupiah.
Meskipun ada BPJS Kesehatan, tetapi iurannya tidak gratis sehingga harus dibayar tiap bulan sejumlah anggota keluarga. Ini tentu berat bagi masyarakat kalangan ekonomi lemah, sedangkan penerima bantuan iuran (PBI) jumlahnya sangat terbatas. Sedangkan jika menunggak, peserta harus melunasi dahulu tunggakannya agar bisa memperoleh layanan BPJS. Ini tentu butuh pengeluaran biaya lagi.
Biaya merawat bayi juga tidak sedikit, mulai dari popok, susu, pakaian, selimut, sabun, sampo, bedak, asupan makanan bergizi untuk MPASI, hingga biaya berobat. Semua itu akan terasa menambah beban berat yang sudah ada. Belum lagi biaya pendidikannya saat memasuki usia sekolah. Memikirkan semua kebutuhan ini di tengah impitan ekonomi jelas bisa membuat para ibu stres dan berpikir pendek dengan menjual saja bayinya agar tidak menjadi beban.
Banyaknya kasus ibu yang menjual bayinya menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita gagal menghasilkan orang-orang yang bertakwa. Hal ini tidak lepas dari asas pendidikan yang sekuler dan tujuan pendidikan yang materialistis. Islam dijauhkan dari sistem pendidikan sehingga menghasilkan orang-orang yang berbuat semaunya dan tidak takut dosa.
Output pendidikan adalah orang-orang yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan amal perbuatan. Apa pun akan dilakukan asalkan memberi keuntungan secara materi, tanpa peduli halal-haram. Mereka juga abai akan kesadaran terkait Hari Penghisaban, yaitu saat manusia mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya di hadapan Sang Khalik, Allah Taala, serta azab yang pedih jika bermaksiat. Jelas, output pendidikan sekuler hanya membuat orang berpikir dangkal tentang hidupnya di dunia, tanpa memikirkan konsekuensi di akhirat kelak.
Lalu bagaimana solusi yang diberikan oleh Islam?
Banyaknya kasus ibu menjual bayinya tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Hal ini karena Islam menetapkan peran negara sebagai ra’in, yaitu pengurus urusan rakyat dan bertanggung jawab atas urusan tersebut. Rasulullah saw. bersabda,
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Dengan posisi negara sebagai ra’in ini, penguasa akan menjamin kesejahteraan tiap-tiap rakyat. Negara (Khilafah) akan menerapkan politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Negara juga mewujudkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
Khilafah memiliki mekanisme untuk mewujudkan jaminan kesejahteraan tersebut, yaitu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan melakukan industrialisasi sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Negara juga memberikan bantuan modal dan keterampilan bagi rakyat yang ingin membuka usaha. Pada kondisi yang lain, negara akan memberikan tanah yang menganggur pada rakyat untuk dikelola sehingga produktif dan menjadi sumber mata pencarian.
Khilafah mewujudkan iklim usaha yang kondusif yang salah satu wujudnya adalah tidak adanya pungutan bagi pemilik usaha. Dengan demikian biaya produksi menjadi efisien dan harga barang terjangkau oleh masyarakat.
Khilafah memastikan tiap-tiap laki-laki dewasa yang sehat bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya. Dengan nafkah yang cukup dan jaminan negara, perempuan tidak wajib bekerja dan tidak dalam kondisi terpaksa bekerja. Perempuan bisa fokus menjadi istri dan ibu yang mengurusi anak-anaknya tanpa pusing memikirkan nafkah, biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Khilafah bahkan mendorong para ibu untuk memiliki anak. Khilafah akan menyubsidi bahkan menggratiskan layanan kesehatan, termasuk untuk ibu hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan demikian, orang tua tidak stres memikirkan biaya periksa kehamilan, persalinan, dan pengobatan anak.
Bahkan Khilafah bisa memberikan santunan bagi ibu yang melahirkan. Hal ini sebagaimana yang diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Beliau memberikan santunan bagi para ibu yang diberikan segera setelah mereka melahirkan sehingga makin membahagiakan para ibu.
Dengan dukungan sistem yaitu suami, wali, kerabat, masyarakat, dan negara Khilafah, para ibu akan berada dalam kondisi lingkungan yang kondusif untuk menjaga, mengurus, dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang. Selain itu, Khilafah juga menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam.
Ada 3 pilar yang harus diterapkan ditengah umat yaitu ketakwaan individu, peran masyarakat untuk mengontrol lingkungan dan negara yang menerapkan sistem Islam.
Jika di dalam masyarakat terbentuk dari individu-individu yang bertakwa maka setiap amal perbuatan anggota masyarakat akan ditimbang berdasarkan syariat Islam. Ketika hendak berperilaku, akan selalu dipikirkan balasan dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Halal-haram menjadi tolok ukur perbuatan, bukan menurut asas kebebasan dan prinsip materialistis.
Di tengah masyarakat ada pengaturan media massa sesuai prinsip syariat. Tidak ada kebebasan berpendapat, berperilaku, atau pun berekspresi. Setiap ucapan, tulisan, dan tayangan harus sesuai dengan ajaran Islam. Konten-konten yang bertentangan dengan Islam akan dilarang tayang di media massa ataupun media sosial. Dengan demikian, opini umum di masyarakat akan tersuasanakan menjadi islami.
Di bawah penerapan sistem Islam kafah, tidak menutup kemungkinan ada segelintir orang yang berniat jahat. Untuk itu, negara akan melakukan pengawasan dan menjamin keamanan warganya, termasuk bayi dan anak-anak agar tidak menjadi korban kejahatan.
Demikianlah, penerapan Islam kafah oleh Khilafah akan membuat fungsi keluarga menjadi optimal. Ayah berperan menjadi pemimpin keluarga. Perempuan menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Keduanya mendidik anak-anak dengan baik berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian, anak terjaga keamanannya, tidak ditelantarkan atau diperjualbelikan. Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.