Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Hak Asasi Manusia dan Pilkada 2024

Politik | 2024-08-14 13:05:48

Pemilihan kepada daerah dan wakil kepada daerah, kurang dari empat bulan lagi, suksesi kepemimpinan di tingkat lokal ini meliputi gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota, berdasarkan peraturan terbaru pemilihan kepala daerah pada tahun 2024 berbeda dari beberapa tahun sebelumnya, dilaksanakan secara serentak nasional diseluruh wilayah Indonesia, mulai dari ujung Aceh sampai ujung Papua.

Pesta demokrasi ditingkat lokal ini melibatkan 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, menjadi perhelatan pikada terbesar dalam sejarah politik Indonesia, untuk pertama kalinya pilkada dilaksanakan di waktu bersamaan, masyarakat memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada periode sebelumnya pilkada dilaksanakan tidak secara serentak, masing-masing daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki jadwal yang berbeda-beda tidak dalam waktu yang sama.

Pada artikel ini penulis akan melihat pemilihan kepada daerah di dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), yaitu hak-hak mendasar dimiliki setiap orang semata-mata karena dia itu manusia.

Di dalam kajian dan studi HAM, hak-hak mendasar ini mencakup ke berbagai aspek kehidupan manusia, diantaranya (1) Hak sipil dan politik, mencakup kebebasan dan keamanan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan hak turut berpartisipasi dalam pemerintahan. (2) Hak ekonomi, sosial, dan budaya, meliputi hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. (3) Hak kelompok spesifik, yaitu adanya perlindungan pada kelompok-kelompok khusus seperti anak-anak, wanita, kelompok minoritas, dan disabilitas (Budiardjo, 2009).

Pemilihan Kepada Daerah

Salah satu karakter negara demokrasi modern adalah terjadi suksesi (rotasi) kekuasaan berkala yang dilakukan secara damai dan konstitusional, melalui mekanisme pemiliham umum (pemilu), melibatkan partisipasi masyarakat langsung di dalam memilih para pemimpinya. Pada konteks pilkada suara masyarakat daerah betul-betul dihargai serta dihormati untuk memilih pemimpin di daerahnya, tentu pilihan itu dilandasi prinsip kesukarelaan, independensi, dan hati nurani.

Di dalam sejarah politik Indonesia pemilihan kepala daerah sebelumnya tidak dilaksanakan langsung atau melibatkan partisipasi luas masyarakat. Pada era pemerintahan Orde Baru pemilihan kepala daerah hanya melibatkan segelintir elit politik, melalui mekanisme pengajuan beberapa nama dari DPRD (Provinsi, Kabupaten/Kota) ke pemerintah pusat, kemudian Presiden RI memutuskan siapa Gubernur terpilih, kemudian Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI) menunjuk siapa yang menjadi Bupati.

Kemudian pada awal reformasi sistem itu dievaluasi, karena dinilai ketal dengan aroma intervensi dan campur tangan dari Jakarta, sistem pemilihan pilkada mengalami perubahan, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepenuhnya dilakukan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, tanpa ada campur tangan atau intervensi dari pemerintahan pusat. Tetapi, sistem pemilihan kepada daerah oleh anggota legislatif pada akhirnya bermasalah, karena mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat daerah dalam memilih pemimpinnya, demokrasi mengalami pembajakan oleh elit politik.

Perkembangannya kemudian sistem pemilihan kepada daerah oleh anggota DPRD pada awal reformasi ini, memunculkan permasalahan baru.

Pertama, kepala daerah terpilih bukan figur diinginkan masyarakat daerah untuk menjadi pemimpin, aspirasi serta kehendak publik dikalahkan oleh lobi-lobi dan politik uang ditingkat elit daerah dan elit pusat. Kedua, terjadi konflik antara legislatif dengan eksekutif, setiap laporan pertanggungjawaban kepala daerah dibacakan setiap tahun, kerap dibayang-bayangi wacana pemakzulan oleh legislatif, karena para anggota dewan perwakilan rakyat itu merasa lebih kuat dari kepala daerah, sebagai pihak mengangkat kepala daerah, merasa berhak juga memberhentikan kepala daerah, walaupun di tengah jalan di masa periode kekuasaannya.

Dari permasalahan itu diputuskan sejak tahun 2005, Indonesia mengadopsi sistem baru untuk memilih kelapa daerah dan wakil kepala daerah, yaitu dengan sistem pemilihan langsung melibatkan partisipasi masyarakat.

HAM dan Pilkada

Hak asasi manusia (HAM) di dalam pemilihan kepala daerah memiliki kaitan erat, bisa kita gambarkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang logam, yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Salah satu aspek HAM sangat relevan dalam konteks Pilkada diantaranya adalah hak dalam memilih pemimpin dibilik suara serta hak dipilih menjadi pemimpin di daerah. Artinya setiap warga negara sudah memenuhi syarat memiliki hak politik bisa ikut berpartisipasi di dalam pilkada, baik sebagai pemilih atau calon kepala daerah akan dipilih.

HAM di dalam konteks pilkada tentu tidak hanya sebatas hak pilih ketika memberikan suara untuk memilih pemimpin daerah atau hak dipilih menjadi pemimpin daerah, tetapi menyangkut isu-isu lain, seperti tidak ada diskriminasi politik kepada kelompok tertentu, tidak ada ujaran kebencian berbasis ras, etnik, dan agama, serta penghentian penyebaran hoaks yang meresahkan masyarakat.

Tidak ada diskriminasi politik kepada kelompok tertentu, artinya relasi sosial itu dibentuk berdasarkan prinsip kesetaraan dan keadilan, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik di daerah, seperti peraturan pilkada itu benar-benar ditegakkan secara adil kepada semua pihak tanpa kecuali, mereka yang melakukan pelanggaran aturan harus mendapatkan sanksi tegas, berikutnya para kandidat memiliki akses setara di dalam menyampaikan pesan kampanye ke media cetak, eletronik, dan digital. Juga adanya jaminan ketersediaan akses yang mudah bagi kelompok disabilitas, ketika memberikan hak suaranya di tempat pemungutan suara.

Tidak ada ujaran kebencian berbasis ras, etnik, dan agama di dalam pilkada, karena kalau dibiarkan akan berpotensi memicu konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi sistem demokrasi khususnya di dalam pilkada untuk mengatasi dan mencegah ujaran kebencian itu, salah satu diantaranya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya ujaran kebencian dan pentingnya menghormati perbedaan, spirit toleransi, keberagaman, dan hak asasi manusia harus betul-betul ditanamkan dihati kita.

Penghentian penyebaran hoaks, karena menjadi aspek penting di dalam menjaga integritas dan kesehatan berdemokrasi, setiap warga negara memiliki hak memperoleh informasi secara benar, berimbang, objektif, dan terbuka. Hoaks dapat menyesatkan opini publik, menciptakan ketidakpercayaan terhadap berbagai institusi demokrasi, maka menciptakan informasi akurat dan dapat dipercaya dapat membantu menjaga kepercayaan publik agar proses demokrasi ini berjalan dengan baik.

Di dalam konteks pilkada berita palsu yang menyudutkan para kandidat harus kita lawan dan hindari, agar masyarakat bisa menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan yang rasional berbasis kinerja, rekam jejak, dan program politik ditawarkan. Itulah beberapa aspek HAM dalam Pilkada 2024 yang harus kita penuhi.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Muhammadiyah Kabupaten Karawang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image