Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wakaf Insani Institute

Wakaf dan Kemandirian Pesantren

Filantropi | 2024-07-21 22:34:02

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Wakaf Insani Institute)

Pesantren berkualitas mesti tidak murah. Karena, guru mesti digaji dengan layak sebagai penghormatan atas keikhlasan mereka mendidik dan mengajar santri. Kapasitas diri santri perlu dibentuk melalui model-model pembelajaran berkualitas. Perpustakaan dengan literatur super lengkap sangat dibutuhkan sebagai pusat sumber belajar santri.

Karena itulah, pesantren berkualitas mesti ditopang pembiayaan memadai. Hanya pertanyaannya kepada siapakah biaya pendidikan itu dibebankan? Apakah kepada santri ataukah kepada umat Islam yang turut berpartisipasi mewujudkan pesantren berkualitas?

Jika biaya pendidikan berkualitas itu dibebankan kepada santri, tentulah memberatkan bagi santri dari keluarga tidak mampu. Apalagi jika pesantren tersebut memang dikhususkan untuk santri dari keluarga tidak mampu. Lantas, jika tidak dibebankan kepada santri, kepada siapakah dibebankan?

Di sinilah peran strategis wakaf dalam mewujudkan pesantren berkualitas. Umat Islam mesti turut berpartisipasi agar pesantren berkualitas tidak hanya dinikmati bagi anak-anak dari keluarga mampu, namun juga dari keluarga tidak mampu.

Pada tataran praktisnya, pesantren bisa memetakan komponen biaya pendidikan menjadi dua bagian pokok. Keduanya bisa dipenuhi melalui model wakaf yang berbeda. Ditambah amal usaha berbasis wakaf yang bisa dikembangkan pesantren.

Pertama, biaya aset dan sarana prasarana pesantren. Penyelenggaraan pendidikan pesantren membutuhkan aset dan sarana prasarana, seperti masjid, gedung kelas, asrama santri, perpustakaan, dan wisma guru. Kebutuhan aset dan sarana prasarana pesantren bisa dipenuhi dengan model wakaf melalui uang.

Wakaf melalui uang adalah umat Islam berwakaf melalui uang untuk kemudian dijadikan aset wakaf. Dalam hal ini, sarana dan prasarana pesantren. Karena itu, umat Islam bisa turut berpartisipasi mewujudkan pesantren berkualitas dengan berwakaf melalui uang.

Jika kebutuhan sarana dan prasarana pesantren menunggu orang super kaya berwakaf gedung dan sarana lainnya, maka tidak bisa dipastikan waktunya. Namun, jika umat Islam bergotong-royong berwakaf melalui uang, insya Allah ini lebih mungkin dicapai sesuai estimasi waktu. Poin pentingnya edukasi dan optimasi wakaf melalui uang.

Dengan demikian, biaya gedung pesantren tidak perlu dibebankan kepada santri. Biasanya dalam penerimaan santri baru, komponen biaya ini diberi nama infak gedung. Berdasarkan pantauan di lapangan, besarannya bervariasi mulai 15 juta sampai 125 juta rupiah. Bagi santri dari keluarga tidak mampu tentu sangat memberatkan.

Kedua, biaya SDM, santri, dan operasional pesantren. Kebutuhan ini meliputi gaji guru, logistik santri, pelaksanaan pembelajaran, operasional, dan pemeliharaan aset. Kebutuhan ini bisa dipenuhi dengan model wakaf uang atau produktif.

Wakaf uang adalah umat Islam berwakaf berupa uang untuk kemudian diproduktifkan melalui berbagai amal usaha, sehingga menghasilkan surplus wakaf. Surplus wakaf inilah yang kemudian dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan SDM, santri, pembelajaran, operasional, dan pemeliharaan aset pesantren.

Dalam hal ini, pesantren mesti memiliki kompetensi dan keterampilan untuk menginisiasi amal-amal usaha pesantren berbasis wakaf. Misalnya, koperasi pesantren. Kebutuhan logistik internal pesantren tentulah sangat besar. Apalagi jika santrinya ratusan, bahkan sampai ribuan.

Karena itu, upayakan semua kebutuhan internal pesantren dipenuhi dan dikelola oleh pesantren melalui koperasi dan amal usaha lainnya. Upayakan tidak ada uang yang keluar dari pesantren. Dengan demikian, perputaran uang pesantren dirasakan manfaatnya untuk pengembangan pesantren itu sendiri.

Kalaupun ada uang yang keluar dari pesantren, itu dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren. Misalnya, memberikan kesempatan kepada para pedagang sayur, untuk menyetok sayur yang dibutuhkan pesantren. Ini salah satu poin penting untuk menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat dan keberadaan pesantren dirasakan manfaatnya.

Selain wakaf uang, bisa juga melalui wakaf produktif. Maksudnya, umat Islam yang memiliki aset produktif didorong untuk mewakafkan kepada pesantren. Jika belum bisa semua, bisa mulai dengan sebagiannya.

Misalnya, seorang pengusaha muslim memiliki tiga pom bensin. Maka, ia bisa berwakaf satu pom bensin untuk pesantren. Jika belum siap, bisa juga berwakaf satu atau dua selang yang ada di salah satu pom bensinnya.

Ketika ikrar wakaf sudah dilegalisasi, maka selang pom bensin tersebut menjadi aset wakaf. Hasil dari keuntungan penjualan bensin dari selang tersebut, menjadi surplus wakaf yang bisa digunakan untuk kebutuhan pembiayaan pesantren.

Contoh lainnya adalah wakaf saham. Para pengusaha muslim bisa mewakafkan sebagian sahamnya untuk pesantren. Misalnya, mewakafkan satu juta lembar saham miliknya yang ada di perusahaan A. Maka, satu juta lembar saham itu menjadi aset wakaf, dan dividennya menjadi surplus wakaf. Surplus wakaf ini dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pesantren.

Oleh karena itu, untuk mencapai kemandirian berbasis wakaf, pesantren mesti mendirikan lembaga wakaf. Kemudian, mendaftarkannya kepada Badan Wakaf Indonesia untuk memperoleh izin sebagai nazir wakaf. Nazir wakaf pesantren inilah yang memiliki peran strategis untuk mewujudkan kemandirian pesantren berbasis wakaf.

Di sini pula diuji kepemimpinan kiai pengasuh pesantren. Kiai tidak hanya dituntut ahli dalam keilmuan, luhur dalam adab, namun juga kompeten dalam kepemimpinan untuk mengembangkan, memajukan, dan memandirikan pesantren. Karena, kiai merupakan akronim dari kamilul ilmi, wal adabi, wal imamah (kesempurnaan ilmu, adab, dan kepemimpinan).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image