Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Penetapan HET Beras Bukan Solusi

Politik | 2024-07-19 17:30:17

Penetapan HET Beras Bukan Solusi

Oleh: Dhevy Hakim

Terbaru, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) beras secara permanen. Kebijakan ini tentu saja mengagetkan masyarakat. Harga beras yang digadang-gadang bisa murah kembali nyatanya justru pemerintah menetapkan kenaikan harga beras secara permanen.

Melansir dari www.cnbcindonesia.com (01/06/224), pemerintah telah menetapkan HET untuk beras premium dan beras medium. Adapun pada beras premium kenaikan harga (relaksasi harga) dari sebelumnya Rp13.900 per kg menjadi Rp14.900 per kg (untuk wilayaj Jawa, Lampung dan Sumsel). Sedangkan pada HET beras medium direlaksasi dari sebelumnya Rp10.900 per kg menjadi Rp12.500 per kg.

Kenaikan harga seribu hingga tiga ribuan bagi rakyat dengan tingkat ekonomi menengah dan ke bawah terasa berat. Sebab sebagai kebutuhan pokok yang dikonsumsi sehari-hari pengeluaran untuk membeli beras tentunya banyak. Terlebih situasi saat ini dalam kondisi perekonomian yang sulit, besarnya pendapatan terkadang tidak sebanding dengan meroketnya sejumlah harga sembako maupun adanya kenaikan berbagai tarif seperti tarif pajak, retribusi pasar, retribusi kesehatan dll.

Lantas bila demikian, mengapa harga beras justru ditetapkan naik?

Persoalan kenaikan harga beras sejatinya sudah terjadi setahun yang lalu. Berbagai alasan sudah sejak lama dikemukakan. Alasan stok beras yang kurang, alasan gagal panen, maupun alasan iklim dan cuaca seperti sedang musim kemarau atau adanya pengaruh El Nino saat itu.

Namun, saat ini alasan yang dilontarkan pemerintah saat menetapkan HET beras yaitu sebagai upaya penyelarasan harga di hulu dan hilir. Menurut pemerintah dengan ditetapkannya harga eceran tertinggi secara permanen menjadi salah satu upaya untuk menstabilkan pasokan dan harga beras.

Pertanyaannya adalah mampukah pematokan HET beras ini menyelesaikan persoalan stabilisasi harga dari hulu ke hilir?

Menelisik problem kenaikan harga beras sejatinya terdapat beberapa variabel yang mempengaruhinya. Berdasarkan hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) yang melakukan penelitian sejak tahun 1998-2017, menyebutkan adanya anomali selama kurun waktu 19 tahun. Anomali ini diilustrasikan adanya perbedaan yang jauh antara hasil produksi dengan harga. Semestinya saat produksi melimpah (hasil panen melimpah), harga beras sampai ke hilir (konsumen) akan lebih murah bukan malah naik.

Hal ini disebabkan adanya faktor produksi yang mahal semisal harga pupuk dan bibit semakin mahal, sewa tanah, ongkos tenaga dll. Di samping variabel faktor produksi, penyebab adanya anomali harga beras yaitu adanya distorsi tata niaga. Proses distribusi beras dari produsen sampai ke konsumen ada persoalan.

Menurut peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) menyebutkan bahwa 90% distribusi beras berada di tangan swasta sehingga sangat dimungkinkan pasar akan dikondisikan sedemikian rupa demi untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Problem ini semakin rumit dimana pihak pemerintah yang ditunjuk memposisikan diri sebagai operator yang mana rawan sekali untuk tidak melakukan komersialisasi.

Oleh karenanya penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras jelas sekali bukanlah solusi. Justru kenaikan harga beras semakin membebani rakyat. Alih-alih menjadi solusi malah menjadikan rakyat sebagai bumper bagi swasta untuk meraup keuntungan. Pemerintah seyogyanya memberikan jaminan kebutuhan pokok masyarakat dengan memastikan stok pangan yang mencukupi dan dengan harga yang terjangkau. Sebab kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan merupakan kewajiban asasi yang wajib dipenuhi oleh negara.

Sebagaimana Islam telah mengatur pemenuhan kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. Islam pun mengatur mengenai harga komoditas yang dijual, haram hukumnya bagi negara apabila mematok harga seperti menetapkan harga eceran tertinggi (HET).

Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok maka negara melakukan mekanisme penjaminan seperti melakukan perhitungan kebutuhan secara real per kepala individu, kemudian mensupport masyarakat untuk menguasai teknologi pangan dari mulai support menyekolahkan atau memberikan edukasi seperti penyuluhan, support alat-alat pertanian, support memalukan riset untuk teknologi pertanian hingga memberikan modal gratis untuk mencukupi biaya produksi.

Kemudian negara juga berkewajiban melakukan kontrol dari mulai proses produksi, proses distribusi hingga barang sampai di tangan konsumen. Sehingga tidak ada tindak kecurangan, penipuan ataupun memonopoli pasar. Kalaupun ada maka negara akan menindak tegas pelaku kecurangan seperti memonopoli pasar ataupun melakukan penimbunan terhadap komoditas tertentu seperti beras.

Inilah sedikit perbandingan jika konsep ekonomi Islam diterapkan. Negara berpihak pada rakyat dan kebutuhan umat mendapatkan jaminan dengan baik dan adil.

Wallahu a’lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image