Menggali Jejak Kolonialisme dalam Novel Ditepi Kali Bekasi: Kajian Postkolonial
Sastra | 2024-07-19 17:01:01“Ditepi Kali Bekasi” merupakan novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1947. Dalam novel ini Pram menampilkan perspektif sosial dan politik yang kuat. Dalam analisis pendekatan postkolonial ini akan melihat bagaimana Pramoedya menggambarkan dampak kolonialisme, identitas dan kebudayaan, perjuangan dan resistensi, serta penggunaan narasi dan perspekrif pribumi.
Menurut Ratna (2008: 205), istilah postkolonial secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu 'post' yang berarti setelah, dan 'kolonial'. Kata kolonial sendiri berakar dari bahasa Romawi, "colonia", yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Secara etimologis, kolonial tidak mengandung makna penjajahan, penguasaan, pendudukan, atau eksploitasi. Konotasi negatif dari kolonial muncul setelah terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dan penduduk pendatang sebagai penguasa.
Lantas, bagaimana penggambaran dampak dari postkolonial pada novel Ditepi Kali Bekasi? Mari kita simak sebagai berikut!
· Dampak Kolonialisme
Eksploitasi Ekonomi
Dalam novel Ditepi Kali Bekasi Pramoedya mengilustrasikan eksploitasi masyarakat pribumi oleh penjajah melalui penguasaan tanah dan sumber daya mereka. Koloniaslime merampas sumber kehdiupan masyarakat dan memaksa mereka bekerja sebagai buruh di tanah mereka sendiri dengan upah yang sangat rendah. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan di bawah ini yang memperlihatkan bagaimana kolonialisme merampas hak milik masyarakat pribumi atas tanah mereka, yang mengakibatkan penderitaan dan kelaparan.
“Tanah itu bukan milik kita lagi. Mereka dating dan mengambil semuanya, meninggalkan kita dengan tangan kosong dan perut lapar”.
Penindasan Sosial
Penjajah juga menerapkan kebijakan yang menindas dan diskriminatif, memperlakukan penduduk pribumi seperti budak di tanah mereka sendiri. Penggambaran penindasan sosial yang dialami pribumi, menunjukkan bagaimana mereka dipaksa tunduk pada kehendak penjajah tanpa kebebasan
“Setiap hari kami harus tunduk pada perintah mereka, seperti budak di tanah kelahiran sendiri”.
· Identitas dan Kebudayaan
Krisis Identitas
Kolonialisme memaksa masyarakat pribumi untuk menyesuaikan diri dengan budaya penjajah, yang menyebabkan krisis identitas. Mereka dipaksa meninggalkan budaya asli mereka dan mengadopsi budaya asing. Tekanan yang dialami oleh masyarakat pribumi untuk menyesuaikan diri dengan budaya kolonial, sementara mereka tetap merindukan budaya asli mereka.
“Kami dipaksa memakai pakaian mereka, berbicara dalam bahasa mereka, tapi hati kami tetap disini, di tanah ini, dengan budaya kami”
Resistensi Budaya
Di tengah tekanan untuk mengadopsi budaya kolonial, terdapat upaya untuk mempertahankan identitas budaya asli sebagai bentuk resistensi. Upaya masyarakat pribumi mempertahankan budaya mereka, meskipun ada tekanan dari penjajah untuk menghilangkan identitas budaya tersebut.
“Kami masih menyanyikan lagu-lagu kami sendiri, menari dengan tarian kami, meskipun mereka mencoba memadamkannya”.
· Perjuangan dan Resistensi
Perlawanan Fisik
Tokoh-tokoh dalam novel ini terlibat dalam perjuangan melawan penjajah, menunjukkan semangat perlawanan yang kuat meskipun dengan keterbatasan sumber daya. Keberanian dan tekad masyarakat pribumi melawan penjajah, meskipun hanya bersenjata bambu runcing, melambangkan semangat juang yang tinggi.
“Kami mungkin hanya punya bambu runcing, tapi semangat kami tak akan pernah padam. Kami akan melawan sampai titik darah penghabisan".
Resistensi Kultural
Selain perlawanan fisik, resistensi kultural juga menjadi sorotan dalam novel ini, di mana masyarakat berusaha mempertahankan dan melestarikan warisan budaya mereka. Masyarakat pribumi menggunakan seni kerajinan sebagai bentuk perlawanan kultural, mempertahankan identitas mereka dan melawan upaya penjajah menghapus budaya mereka.
“Dengan setiap ukuran, setiap anyaman, kami mempertahankan warisan kami dan menolak untuk dilupakan”.
· Narasi dan Perspektif
Narasi Pribumi
Pramoedya memberikan suara kepada tokoh-tokoh pribumi, menceritakan penderitaann dan perjuangan mereka dari sudut pandang mereka sendiri, menggambarkan realitas yang sering kali diabaikan oleh narasi kolonial. Pramoedya ingin mengangkat narasi pribumi yang sering disingkirkan oleh narasi Sejarah kolonial, memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan.
“Ini adalah cerita kami, bukan cerita yang mereka tulis di buku sejarah mereka. Ini adalah kenyataan kami”.
Dekonstruksi Narasi Kolonial
Pramoedya menantang narasi kolonial yang menggambarkan penjajah sebagai pembawa kemajuan, menyoroti ketidakadilan dan penindasan yang sebenarnya terjadi di balik klaim tersebut.
“Mereka mengatakan dating untuk membawa peradaban, tetapi yang kami lihat hanyalah perbudakan dan penderitaan”. Kutipan ini mengkritik klaim kolonial yang menyatakan bahwa mereka membawa peradabaan, padahal kenyaataannya yang dibawa adalah penindasan dan penderitaan bagi masyarakat pribumi.
· Relevansi Historis dan Kontemporer
Pengaruh Berkelanjutan
Novel ini menunjukkan bahwa dampak kolonialisme masih terasa hingga saat ini, mempengaruhi struktur sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Meskipun penjajahan telah berakhir, dampak buruknya masih terasa dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, menunjukkan pentingnya memahami dan mengatasi warisan kolonialisme. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan dibawah ini:
“Penjajah mungkin telah pergi, tetapi luka yang mereka tinggalkan masih terasa. Kesenjangan dan ketidakadilan tetap ada”.
Kesimpulan
Dengan menggunakan pendekatan postkolonial, “Di Tepi Kali Bekasi” karya Pramoedya Ananta Toer dapat dilihat sebagai kritik tajam terhadap masyarakat Indonesia. Melalui narasi yang kuat dan perspektif pribumi, Pramoedya menggambarkan penderitaan dan ketidakadilan sekaligus semangat perlwanan dan upaya mempertahankan identitas budaya. Kutipan-kutipan dari novel memperkuat analisis ini, menunjukkan kedalaman pesan yang ingin disampaikan oleh Pramoedya.
Daftar Pustaka
Ratna, N. K. (2008). Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Toer, P. A. (1957). Ditepi Kali Bekasi. Jakarta: Balai Pustaka- Djakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.