Asal Usul Iklan : Dari Teriakan di Ujung Kota Hingga Konten Influencer
Sejarah | 2024-07-07 20:07:28Secara etimologi iklan berasal dari bahasa latin, yakni “ad-vere” yang berarti memindahkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Dalam kamus besar Indonesia advertensi bermakna iklan dalam media massa cetak atau elektronik untuk menawarkan barang. Secara sederhana, Rhenald Kasali mendefinisikan iklan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media (Kasali, 1992:9). Iklan dipahami sebagai aktivitas penyampaian pesan yang mengandung kalimat persuasi.
Sejarah Iklan di dunia
Iklan pertama kali digunakan terjadi pada 3000 tahun sebelum Masehi pada zaman mesopotamia. Pada saat itu, banyak orang yang ingin menjualkan barang-barangnya. Mereka memasarkan barangnya dengan cara menggunakan orang yang tugasnya berteriak pada gerbang kota menawarkan kepada orang-orang yang masuk ke kota tersebut. Dengan cara menawarkan dari rumah ke rumah (door to door) atau menggunakan pesan berantai, beriklan tersebut dikenal dengan nama word of mouth .
Di kota Athena misalnya, para penjual tersebut menawarkan produk kosmetik merek Aesclyptos yang saat itu sangat terkenal. Dalam menawarkan kosmetiknya, para penjual memasarkannya lewat nyanyian semacam puisi. Bentuk nyanyian itu mereka gunakan untuk lebih menarik para konsumen. Salah satu contoh dari syair puisi yang disampaikan tersebut sebagaimana dituliskan oleh Dunn (Dunn & Barban, 1978);
“For eyes that are shining, for cheeks like the dawn, for beauty that lasts after girl hood is gone for prices in reason, the woman who knows, will buy her cosmetics of Aesclyptos.”
Bila syair tersebut diterjemahkan, secara bebas berarti: “Demi mata bersinar, demi pipi bagaikan fajar, demi kecantikan yang hanya akan sirna sesudah masa remaja itu purna, demi harga sebagai alasannya, kaum wanita yang mengerti, akan membeli kosmetik Aesclyptos.”
Di Amerika terdapat 2 orang yang meletakkan dasar-dasar periklanan, George. P. Rowel dan Francis w Ayer. Mereka yang memelopori ide revolusi industri menyebabkan tumbuhnya konsumsi masal melalui komunikasi massa. George P Rowel mempublikasikan media directory pertama pada tahun 1869. Sementara itu Francis W Ayer mendirikan lembaga periklanan di philadelphia pada tahun 1842, bernama Volney B Palmeer. Biro iklan tersebut menerbitkan iklan pertamanya tahun 1849 di sebuah media directory, yakni McElroy ’ s Philadelphia Directory. Saat itulah istilah ‘ advertising agency ’ atau biro iklan pertama kali dicetuskan. Perusahaan ini berhasil mendirikan kantor cabang pertamanya di Boston pada tahun 1845, lalu melebarkan sayapnya mendirikan pula di New York 1849.
Benjamin Franklin yang dianggap sebagai founding father Amerika Serikat, juga dianggap sebagai bapak periklanan. Ini karena pada tahun 1729 ia mendirikan surat kabar iklan pertama. Benjamin saat itu bertindak sebagai penerbit dan redaktur surat kabar, serta copywriter yang handal.
Sejarah iklan di Indonesia
Iklan di Indonesia pertama kali di perkenalkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda periode 1619-1929 bernama Jan Pieterzoon coen J.P. Iklan pertama berupa pengumuman – pengumuman pemerintah Hindia Belanda. Dalam iklan tersebut berisi perpindahan pejabat teras di beberapa wilayah. Coen juga adalah penerbit Bataviasche Nouvelle, surat kabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744. Lalu menerbitkan Memorie de Nouvelles, pamflet informasi semacam surat kabar yang memuat berbagai berita dari Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1930, mulai banyak poster dan papan reklame yang dipasang pada panel samping gerobak sapi pengangkut barang. Sebelumnya masyarakat Indonesia mengenalnya dengan istilah advertiente yang merupakan bahasa belanda, atau advertising dalam bahasa inggris. Untuk menggantikan istilah-istilah tersebut Sudardjo Tjokrosisworo, seorang tokoh Pers Nasional Indonesia pada tahun 1951, menggantinya dengan istilah iklan. Iklan mulai banyak di pasang di surat kabar pada tahun 1869.
Setelah lahirnya stasiun televisi di Indonesia TVRI pada 24 Agustus 1962, muncullah sebuah perusahaan periklanan InterVista pada 1963 yang di dirikan oleh Nuradi, yang sampai saat ini disebut bapak periklanan modern di Indonesia. Tiga iklan pertama yang diproduksi oleh InterVista adalah iklan Hotel Tjipajung, PT masayu, dan Arschoob Ramasita.
Puncak periklanan di Indonesia terjadi pada tahun 1970-an banyak di dirikannya berbagai agensi, termasuk Matari, Fortune, Metro (Publicis), Adforce (JWT), Inter Ad Mark (Dentsu), Citra Lintas (LOWE), dan Grafik (Mc Can Erickson). Dan terus mengalami perkembangan hingga 1990 dengan masuknya agensi iklan asing ke pasar Indonesia.
Iklan revolusi kreatif 1960-1970
Pada akhir tahun 1960, terjadi transisi yang mulai mengombinasikan antara copy writing dan visual. Membuat iklan terlihat lebih menarik dan kreatif. Tokoh yang terkenal pada revolusi kreatif adalah Bill Bernbach, pendiri agensi iklan Doyle Dan Bernbach. Pada fase ini, iklan mulai menggunakan storytelling dan humor untuk membangun koneksi emosi dengan konsumen. Iklan dapat tersampaikan dengan lebih efektif dengan perubahan signifikan yang terjadi pada industri periklanan. Membuat standar baru untuk kreatifitas dan inovasi dalam iklan.
Revolusi Digital
Revolusi digital adalah revolusi yang terakhir dan masih berkembang pada saat ini. Pada fase ini iklan tidak hanya ada pada media cetak, radio, dan televisi. Melainkan, iklan mulai beralih pada media sosial dan platform layanan streaming lainnya, seperti youtube dan tiktok. Iklan juga mulai memanfaatkan kredibilitas dan pengaruh seorang influencer. Perusahaan bekerja sama dengan para influencer untuk membuat konten produk mereka dan menguploadnya pada media sosial. Ada juga live streaming yang dilakukan perusahaan pada e-commers. Dengan begini, iklan lebih menjangkau aundiens yang lebih spesifik dan komunikasi terjadi secara 2 arah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.