Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edu Sufistik

Terminologi Iman, Takwa, dan Akhlak dalam Pendidikan

Agama | 2024-06-21 00:09:18

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Terminologi iman, takwa, dan akhlak mulia yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai tujuan pendidikan nasional merupakan kecerdasan para ulama kita. Dalam tulisan ini, saya ingin fokus membahas terminologi akhlak.

Para ulama tentu sangat faham makna akhlak secara mendalam. Akhlak adalah terminologi yang khusus dalam ajaran Islam. Akhlak tidak bisa diwakili apalagi digantikan dengan terminologi budi pekerti, etika, atau terminologi lainnya.

Akhlak memiliki akar kata yang sama dengan “khalaqa” (fi’il madhi) yang bermakna menciptakan. Bentuk isim masdar (kata benda)-nya adalah “khalqan” artinya penciptaan. Sejatinya, akhlak itu sesuatu yang built-in dalam penciptaan manusia.

Itulah kenapa Imam al-Ghazali, dalam magnum opus-nya Ihya Ulumiddin, mendefinisikan akhlak sebagai keadaan jiwa manusia yang mendorong lahirnya perbuatan tanpa pemikiran dan pertimbangan.

Secara fitrah penciptaannya, manusia cenderung memodel kepada Tuhannya (QS. 30: 30). Pada puncak pemodelannya, dalam ilmu Tasawuf, disebut dengan tajalli. Yakni, ketika manusia menjadi refleksi dari (keagungan) Tuhan. Ia telah dicelup dengan celupan Tuhan (QS. 2: 138).

Inilah yang digambarkan dalam hadis Qudsi, sebagaimana direkam oleh Imam al-Nawawi dalam Arba’in Nawawiyahnya nomor 38, “ Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya dia berbuat, Aku menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan ”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Para ulama Tasawuf sering mengutip sebuah hadis, “Takhalluqu bi akhlaqillah,” berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah. Meski menurut ulama hadis, keshahihannya diperdebatkan. Namun demikian, kita bisa memahami maknanya. Bahwa manusia pada fitrahnya cenderung mendekat kepada Tuhannya (uns) dan memodel kepada-Nya. (Silakan baca tulisan saya sebelumnya, “Dari al-Insan Menuju Insan Kamil”).

“ Jadilah kalian rabbaniyyin , demikian pesan utama surat Ali ‘Imran ayat 79. Dalam Al-Qur’an terjemah Kementerian Agama, kata rabbaniyyin diterjemahkan sebagai “para pengabdi Allah”. Hal ini bisa dipahami agar orang awam tidak salah paham terhadap kata rabbaniyyin. Namun demikian, terjemah makna yang lebih pas dan mendalam dari rabbaniyyin adalah manusia-manusia yang merefleksikan (keagungan) Tuhan dalam dirinya.

Para ulama menafsirkan makna “fi ahsani taqwim” dalam surat At-Tin ayat 4 sebagai bentuk terbaik dalam struktur ruhaninya, bukan semata struktur jasmaninya. Itulah kenapa lanjutan ayatnya menerangkan kemudian manusia dikembalikan pada “asfala safilin”. Apa yang menyebabkan manusia kembali kepada derajat yang paling rendah? Tentu saja bukan karena perubahan struktur jasmaninya, melainkan karena perubahan struktur ruhaninya yang menjadi kering dan merana. Ruhaninya terasing dari Tuhannya dan tersesat tak tentu arah.

Jadi, itulah kenapa para ulama kita tetap kukuh menggunakan terminologi akhlak dalam tujuan pendidikan nasional. Karena, diharapkan luaran (output) pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah serta berakhlak mulia (merefleksikan keagungan Allah dalam dirinya, perilakunya, dan kehidupannya). Wallaahu a’lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image