Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fawaz Abdullah

Masalah Hukum di Era 2022

Politik | Wednesday, 19 Jan 2022, 16:31 WIB

MASALAH HUKUM DI ERA 2022

Sejalan perkembangan ilmu dan teknologi, pembentukan hukum seharusnya mengikutinya sehingga pembentukan hukum mampu melindungi kepentingan masyarakat dari dampak teknologi di bidang sosial budaya dan ekonomi.

Jika berbicara masalah hukum maka harus diperhatikan bagaimana pembentuk UU mempersiapkan pembentukannya. Hal itu karena perkembangan hukum selalu dipengaruhi (bukan memengaruhi) perkembangan pemikiran masyarakat dari masa ke masa. Begitu pula perkembangan hukum 2022; dipengaruhi selain pengalaman yang baik di 2021, juga pengalaman buruk yang telah terjadi.

Pergulatan secara teoretik mengenai moral dan norma UU yang telah terjadi dan berkembang sejak Aquinas dan kerajaan monarki sampai saat ini masih tetap terjadi meski tak terlalu tajam seperti dahulu. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pembentukan hukum seharusnya mengikutinya sehingga pembentukan hukum yang bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari dampak teknologi di bidang sosial budaya dan ekonomi harus mulai dikaji lima tahun yang lampau.

Contoh, dampak teknologi di bidang sosial khususnya moral masyarakat yang telah mengubah perilaku individu seperti hoaks dan pornografi dan bahkan efek samping negatif pada keamanan dan pertahanan negara. Di sisi lain pembentukan hukum (baca: UU), khususnya terkait efek samping negatif baru dikeluarkan pada 2008 (UU No 11/2008). Contoh nyata lain adalah kebocoran data perbankan di beberapa bank akibat pengamanan dari serangan siber masih sangat sangat lemah.

Jika berbicara masalah hukum maka harus diperhatikan bagaimana pembentuk UU mempersiapkan pembentukannya

Proporsionalistas dan subsidiaritas

Selain antisipasi perkembangan teknologi yang lemah, para pemikir hukum juga tak lepas dari kelemahan analisis hukum yang hanya melihat peristiwa yang telah terjadi di masa lalu (ex-ante) dan tak pernah mempertimbangkan lagi dampak penerapan hukum di masa yang akan datang (post-factum). Pendekatan baru analisis hukum yang dikembangkan sejak 1970-an di AS dan beberapa negara Uni Eropa telah meninggalkan pendekatan analisis hukum yang bersumber pada ajaran mechanistic jurisprudence. Bahkan telah digunakan pendekatan analisis ekonomi (economic analysis of law) sebagai pengganti yang layak dan relevan dengan perkembangan globalisasi ekonomi dunia.

Pendekatan relatif baru ini telah mempertimbangkan bukan hanya output tetapi juga outcome yang efisien, maksimal, dan dapat memelihara keseimbangan antara tujuan kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Ramifikasi dan kompleksitas yang timbul dari dampak perkembangan globalisasi ekonomi dunia sejak Revolusi Industri 4.00 dan berdampak luas ke perkembangan ekonomi dunia, khususnya terkait kesejahteraan masyarakat, terbukti cocok dengan menggunakan pendekatan ini

Dalam bahasa sederhana, pola pendekatan hukum dengan analisis ekonomi tersebut telah berhasil melaksanakan tugasnya, menegakkan hukum tanpa harus menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Pola pendekatan ini sejalan dengan pendapat ahli hukum masa lampau yang dikemukakan kembali oleh J Remmelink (2003) bahwa norma hukum dasar dalam negara hukum dan pedoman bagi hakim, adalah prinsip proporsionalitas dan subsidiaritas. Prinsip pertama menuntut agar hakim dalam memeriksa perkara, termasuk penuntut umum/jaksa, mengutamakan keseimbangan antara tujuan dan cara mencapai tujuan. Dalam bahasa sederhana, tidak perlu menghancurkan lumbung padi untuk membunuh seekor tikus. Sedangkan prinsip kedua, menuntut agar dalam penerapan hukum untuk kasus yang rumit, dan memilih solusi yang tepat, harus dipilih solusi yang paling kecil risikonya dari risiko alternatif yang tersedia.

Fundamental normen des Reschtstaat itu sampai saat ini masih diterapkan, termasuk di negara penganut sistem Common Law, namun langka terjadi di dalam sistem hukum Civil Law, khususnya di Indonesia.

Beberapa peristiwa hukum yang terjadi selama 76 tahun Indonesia merdeka, masih menggunakan pendekatan positivisme hukum atau ex ante yang terobsesi pada penjeraan, tak pernah memperbaiki keadaan sebagaimana sebelumnya (terjadi), seperti pada kasus BLBI, Bank Century, Hambalang, korupsi pelayanan jasa pasar modal, dan lain-lain. Obsesi pemenjaraan yang didukung masyarakat saat itu adalah memenjarakan pelaku kejahatan; tak lagi dipertimbangkan, terutama oleh hakim; bagaimana keseimbangan antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan bisa terjaga dan tujuan pemenjaraan tetap tercapai. Merujuk data pemasyarakatan di lapas selama 2021 dan sebelumnya, per 23 Desember 2021 terdapat 273.992 narapidana dan 226.093 tahanan (sumber: Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Negara telah dibebani anggaran yang sangat signifikan setiap tahun karena beban biaya makan napi/tahanan, belum termasuk biaya pemeliharaan kesehatan dan lain-lainnya.

Perubahan cara pandang

Penegakan hukum era sebelum 2022 bagikan “ban berjalan” dari hulu ke hilir tanpa henti dan senyatanya tak akan berhenti jika selama perjalanan itu tak ada upaya pencegahan (preventif) dan kuratif atau rehabilitatif atau restoratif untuk menangkal agar “air yang kotor” di hulu tak berlanjut ke hilir (penegakan hukum). Sejalan dengan kebijakan pemerintah Jokowi yakni agar pencegahan lebih diperhatikan ketimbang penindakan represif, pemerintah dan DPR seyogianya menyiapkan suatu produk per-UU-an yang dapat mengatasi masalah hukum dan penegakan hukum sejak awal proses pembentukan peraturan per-UU-an, yaitu melakukan revisi atas UU No 12 /2011 yang diubah dengan UU No 15 /2019.

Perubahan dimaksud bukan perubahan normatif semata melainkan termasuk perubahan cara pandang, bahwa pola pembentukan peraturan per-UU-an yang bersifat linear atau monoliti, diubah menjadi siap menghadapi masalah nasional yang multi-dimensional dan kompleks menyangkut multiaspek hukum yang terhubung satu sama lain.

Pola perubahan pembentukan peraturan per-UU-an yang diharapkan bisa menghilangkan obesitas regulasi dan menguatkan tercapainya harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan per-UU-an, jauh sebelum diimplementasikan dalam praktik.Perubahan regulasi ini juga mempertimbangkan setiap faktor non-hukum yang memengaruhi efektivitas dan efisiensi penerapan peraturan itu.

Faktor non-hukum yang berhubungan dengan hukum adalah, regulasi mengenai anti monopoli dan persaingan usaha sehat, kepailitan, korporasi, dan tindak pidana khusus tertentu seperti tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. Dalam praktik belum terdapat suatu solusi tepat untuk menyelesaikan persengketaan atau tindak pidana itu dengan tepat tanpa dampak meluas dan merugikan banyak kepentingan masyarakat luas.

Indonesia disepakati para founding father sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya. Konsep trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat indonesia tanpa pandang kasta. Konsekuensi logisnya yudikatif mesti berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijak sana. Faktanya kepastian hukum kian hari kian tidak menentu, keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Terkadang yang berjuang tidak mendapatkan apapun sedangkan yang biasa saja mendapatkan banyak.Hidup kadang selucu itu. Kekuatan yang dimiliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti, tuhan tahu bahwa sudah berbagai usaha yang telah dilakukan untuk melawannya. Hukum di negeri ini tampak nya tumpul keatas dan tajam menghujam kebawah. Hukum di negeri ini rasanya terus berjalan layak nya permainan dan sandiwara, yang salah bisa jadi benar, atau pun sebaliknya. Sekalipun rakyat menagih kebenaran.

Kegalauan akan keadilan di negeri ini memuncak atas fenomena runtuhnya langit keadilan yang disangga aparat penegak hukum dan lemabaga yudikatif. Ingatkah kita dengan kasus Novel Baswedanpada 2017 lalu? Kasus Novel Baswedan menjadi bukti kesekian dan menambah daftar sengkarut keadilan dalam penegakan hukum. Hal ini menjadikan publik kian skeptis dan galau terhadap masa depan keadilan hukum Dengan kasus penyiraman air keras yang mengenai bagian wajah hingga terkena bola matanya. Kasus beliau menjadi sangat rumit karena beliau mengalami penganiayaan tersebut saat berstatus menjadi petugas negara yang sedang menjalankan tugasnya dalam rangka pemberantasan korupsi yang menjadi penyakit akut di negeri ini.

Beberapa penyebab munculnya permasalahan diindonesia :

· Lemahnya itegritas penegakan hukum

Nurdjana, SH, MH menjelaskan jika salah satu masalah yang sering terjadi di hukum Indonesia adalah karena lemahnya integritas penegakan hukum di Indonesia yang sangat mempengaruhi sistem hukum Pidana yang seharusnya menjadi hukum formal serta hukum materiil. Solusi hal ini pula lah yang menyebabkan banyaknya permunculan kasus misalnya saja korupsi di Indonesia

· Tidak ada pengawasan efektif

Hal lainnya yang menyebabkan hukum di Indonesia sangat lemah adalah karena tidak ada pengawasan yang efektif terkait dengan hukum yang berjalan baik oleh pengadilan, pengawasan internal pemerintah, parlemen, dan komisi Negara Independen.

· Masih melihat hukum dari kontenya

Sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut pada hukum yang berlaku saat masa pemerintahan Belanda. Dimana tujuan dari faktor perubahan sosial adanya hukum hanya untuk melindungi penguasa-penguasa (Belanda) yang berada di Indonesia saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum tersebut hadir hanya untuk melindungi kalangan atas saja. Sistem ini lah yang terkadang masih dianut Indonesia sampai saat ini. Bukannya untuk melindungi keadilan rakyat kecil, namun digunakan untuk melindungi penguasa

· Mentalitas praktisi hukum yang lemah

Masalah lainnya adalah lemahnya praktisi hukum yang menjalankannya, seperti jaksa, hakim, pengacara, bahkan polisi. Jika praktisi hukum yang ada masih macam- macam bencana alam di Indonesia memiliki mentalitas yang lemah maka tentu saja akan menyulitkan proses hukum yang sedang berlangsung. Sehingga harapan untuk hukum yang adil bagi rakyat hanyalah sebatas impian semata.

· Struktur hukum yang overlapping kewenangan

Hal lainnya yang dapat menyebabkan permasalahan hukum adalah struktur hukum di Indonesia yang terkadang Overlapping terhadap kewenangan yang ada. Hal ini tentu saja akan membuat asa diferensial fungsional terabaikan yang akhirnya akan memicu konflik.

· Sarana dan prasarana hukum kurang memadai

Di Indonesia sendiri, sarana dan prasarana Hukum sangat kurang. Mulai dari batas wilayah laut Indonesia dari bangunan hingga pelaku-pelaku hukum memiliki sumber daya yang terbatas. Sehingga hal ini lah yang membuat jalannya hukum di Indonesia masih begitu mengalami banyak masalah.

· Peraturan hukum yang kurang jelas

Di Indonesia sendiri, sarana dan prasarana Hukum sangat kurang. Mulai dari batas wilayah laut Indonesia dari bangunan hingga pelaku-pelaku hukum memiliki sumber daya yang terbatas. Sehingga hal ini lah yang membuat jalannya hukum di Indonesia masih begitu mengalami banyak masalah.

· Independensi hakim yang bermasalah

Proses hukum akan berjalan baik jika hakim memiliki kekuasaan yang merdekat tanpa harus dipengaruhi dari tekanan berbagai pihak. Namun masih banyak ditemukan kasus di Indonesia jika independesin hakim masih sangat bermasalah. Masih banyak hakim-hakim Indonesia yang rentan terhadap suap dari beberapa pihak.

· Proses peradilan yang bermasalah

Masih banyak ditemukan proses peradilan di Indonesia yang selalu bermasalah, hal ini bisa saja disebabkan karena tak adanya jaminan ataupun pengaturan yang melarang kegiatan suap menyuap. Masih banyak pula diskriminasi hukum yang beradasarkan status ekonomi dan sosial seseorang

· Kesadaran hukum masyarakat yang berkurang

Jika kondisi masyarakat Indonesia sudah banyak perkembangan wilayah Indonesia yang “melek” terhadap hukum, maka tentu saja potensi atas penyelewengan hukum bisa diminimalisir. Namun sayangnya masih banyak masyarakat indonesia yang belum terlalu sadar akan hukum, sehingga memicu perkembangan kecurangan serta penyelewengan yang semakin meningkat di dalam proses hukum.

· Lemahnya political will dan political action

Lemahnya kedua faktor ini bagi para penguasa Negara tentu saja akan membuatkekuatan hukum semakin melemah di dalam penyelenggaraan pemerintah. Dapatdikatakan jika supremasi hukum hanya sebatas retorika semata saja yang hanyadiperdengarkan saat kampanye namun tak dilaksanakan saat pemerintahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image