Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khaidir Hasram

Politik Memori dan Represi Minoritas Muslim di Xinjiang, Tiongkok

Politik | Saturday, 15 Jun 2024, 06:48 WIB
Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/m0zcbk/siapakah-bangsa-uighur

Setidaknya ada dua laporan lembaga Internasional yang menunjukkan indikasi terjadinya kekerasan HAM serius di Xinjiang, wilayah bagian barat laut Tiongkok: Laporan itu berasal dari: pertama, hasil assesment yang dilakukan oleh OHCHR, lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB); kedua, hasil studi ekstensif yang dilakukan peneliti dari ASPI, Nathan Ruser yang menunjukkan bahwa program ‘re-education’ yang dibuat oleh Pemerintah Tiongkok dijalankan tidak sesuai yang semestinya, bahkan menjadi pusat penahanan orang-orang Uighur dan minoritas Muslim di Xinjiang.

Xinjiang merupakan tanah air untuk kurang lebih dua belas juta Muslim. Mayoritas mereka dari etnis Uighur, dan minoritas dari etnis Kazakh, Kirgyz, dan Tajiks, serta Hui, yang sekaligus menjadi etnis Muslim terbesar di Tiongkok. Perlu dicatat, Muslim Hui dan Muslim yang berada di luar Xinjian, bisa dikatakan menikmati kebebasan beragama, dalam batas-batas tertentu. Ini menunjukkan bahwa tidak semua Muslim di Tiongkok mengalami represi. Tapi juga tidak bisa menutupi bahwa represi terjadi di sebagian wilayah, seperti di Xinjiang.

Mengapa di Xinjiang muslim direpresi dan wilayah lain tidak? Tulisan ini akan coba mendiskusikan dari kacamata Edward Said tentang Geografi Imajinatif “Imaginative Geography”, tentang bagaimana persepsi dan representasi terhadap suatu wilayah geografi itu dibentuk atau bahkan diciptakan (invented) untuk menguasai wilayah tertentu. Politik memori yang dimaksud dalam tulisan ini tentang bagaimana persepsi dan representasi itu dibentuk selalu oleh kekuasaan yang dominan.

Singkatnya, usaha untuk menguasai suatu wilayah dilakukan dengan politik memori, dalam konteks Xinjiang; pertama-tama, wilayah ini dipersepsikan sebagai bagian dalam negara besar Tiongkok. Menurut Said, pada titik inilah proses penciptaan sejarah bisa terjadi. Kedua, penduduk yang mendiami wilayah ini harus merepresentasikan kultur negara besar atau identitas nasional.

Pendapat umum tentang negara-bangsa adalah satu negara merepresentasikan satu bangsa. Satu alasan munculnya gejolak pasca pembentukan negara pasca-kolonial dipicu oleh isu nasionalisme yang menolak berbagi wilayah yang sama dengan bangsa lain. Kelompok mayoritas yang dominan menginginkan ekstensi batas negara, sementara kelompok minoritas merasa menderita diatur dalam satu kekuasaan yang hegemonik yang berbeda identitas.

Membentuk Persepsi

Persepsi tentang suatu wilayah dibangun oleh narasi historis. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sejarah sering kali ditulis oleh pemenang. Sejarah suatu wilayah bisa ditulis ulang untuk membangun persepsi baru untuk melegitimasi sebuah wilayah.

Apalagi, ini menjadi penting pasca kolonialisme dan negara-bangsa perlahan terbentuk dengan ‘sempurna’, ditandai dengan batas-batas negara yang fixed. Saya menyebut perlahan, karena di sebagian wilayah, tuntutan atas batas wilayah itu masih dipertarungkan. Tiongkok sendiri merilis peta terbarunya pada Agustus 2023, tahun lalu, yang menuai kritik dan kecaman keras dari sejumlah negara karena dianggap terjadi “perampasan lahan kartologis”.

Banyak kelompok nasionalis, apalagi di negara-negara post-colonial di Asia dan Afrika, yang menolak batas wilayah yang digariskan dengan sangat ‘sederhana’ oleh negara super Power. Contohnya, batas India dan Pakistan, yang digariskan oleh pengacara Inggris bernama Sir Cyril Radclife, yang bahkan tidak pernah mengunjungi India dan bekerja dalam tenggat waktu yang terbatas untuk menentukan batas India dan Pakistan yang memiliki watak demografi sosial dan keagamaan yang kompleks. Ini menjadi satu pemicu konflik yang masih bertahan sampai sekarang di wilayah Kahsmir, dimana Muslim juga dalam jumlah besar menjadi korban.

Membangun persepsi tidak sederhana. Butuh waktu yang panjang dan karena itu butuh kekuasaan yang besar. Said dalam tulisannya Invention, Memory and Place (2000), memberikan gambaran tentang Israel yang merekonstruksi sejarah nasionalnya dengan melibatkan negara super power barat dan banyak tokoh-tokoh Yahudi berpengaruh di dunia (h. 180).

Menciptakan Representasi

Dalam konteks Muslim di Xinjiang, wilayah ini dibentuk sebagai bagian dari negara-bangsa Tiongkok. Secara de-jure, melalui proses dinamika sejarah yang panjang, Xinjiang merupakan bagian dari Tiongkok. Xinjiang berarti “wilayah baru”. Namun demikian, secara representasi penduduknya terhadap identitas nasional belum sepenuhnya menyatu.

Di Xinjiang, bahasa nasional yang digunakan adalah bahasa Uighur yang merupakan etnis mayoritas. Karena itu, meskipun Xinjiang diberikan status ‘wilayah otonomi khusus’, terdapat serangkaian upaya untuk menanamkan identitas nasional Tiongkok terhadap masyarakat Uighur dan minoritas Muslim di Xinjiang. Misalnya, melalui agenda migrasi etnis Han, mayoritas di Tiongkok, ke wilayah Xinjiang. Pada 1953, populasi etnis Uighur adalah 75 persen. Pada 2021, demografi etnis hampir seimbang, Uighur tercatat 45 persen sementara Han meningkat menjadi 42 persen.

Populasi dan struktur demograsi etnis Uighur diprediksi akan semakin menurun karena serangkaian upaya integrasi ke dalam identitas nasional. Misalnya, program re-education, yang berupaya mendidik etnis Uighur dan minoritas di Xinjiang untuk berbahasa dan hidup sesuai identitas nasional. Momentum peristiwa 11 September dan serangkaian peristiwa teror yang terjadi di Xinjiang, menjadi satu ‘dalih’ pemerintah Tiongkok untuk menerapkan program anti-terorisme di Xinjiang.

Terlepas dari fakta bahwa memang terjadi serangkaian aksi teror dan munculnya gerakan separatismeyang mendorong ide pemisahan wilayah dari Tiongkok. Namun, ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk membenarkan dugaan pelanggaran HAM serius yang terjadi dalam implementasi program tersebut.

Sebagai penutup, Edward Said memang tidak memberikan solusi yang real dan malah cenderung naif menanggapi konflik perebutan wilayah melalui rekonstruksi persepsi dan representasi di sebuah wilayah. Menurut Said, satu-satunya solusi rekonsiliasi yang paling mungkin adalah kedua belah pihak saling mengakui keberadaan dan sejarah nasional masing-masing. Upaya memberikan status wilayah otonomi khusus seharusnya adalah usaha untuk mewujudkan itu. Namun, hanya bisa terwujud jika benar-benar dipatuhi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image