Membendung Gelombang Pelecehan Seksual di Media Sosial
Update | 2024-06-12 19:07:52Di era digital yang serba terhubung saat ini, keberadaan media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Meski membawa banyak manfaat dalam hal diseminasi informasi dan komunikasi, namun media sosial juga menjadi ladang subur bagi penyebaran konten-konten negatif, termasuk yang mengandung unsur pelecehan seksual. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun kita hidup di zaman yang semakin maju secara teknologi, masalah lama seperti pelecehan seksual masih terus berlanjut dan bahkan menemukan saluran baru untuk berkembang.
Salah satu aspek mengkhawatirkan adalah bagaimana narasi-narasi yang menyalahkan korban dan membenarkan tindakan asusila kerap kali ditemukan di media sosial. Komentar-komentar seperti menyudutkan korban atas cara berpakaiannya, menganggap pelecehan sebagai hal biasa atau bahkan wajar bagi laki-laki, masih sering kita jumpai. Narasi-narasi semacam ini berpotensi menormalisasi tindakan pelecehan dan membuat pelakunya seolah tak bersalah. Jika dibiarkan, anggapan-anggapan seperti ini akan terus mengakar dalam pola pikir masyarakat, terutama generasi muda yang memang merupakan pengguna media sosial paling masif. Pada akhirnya, ini akan menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari pelecehan seksual.
Kita perlu memahami bahwa pelecehan seksual bukanlah persoalan remeh atau bisa dimaklumi. Dampaknya dapat membekas sangat dalam bagi para korban, baik secara fisik maupun psikologis. Trauma, rasa tidak aman, hingga gangguan mental seperti depresi dan kecemasan kerap dialami korban, terutama jika pelaku adalah orang yang dikenal atau dipercayai. Selain itu, pelecehan seksual merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang menodai martabat individu dan mencederai rasa kemanusiaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mengambil langkah tegas untuk mengubah pola pikir yang meremehkan pelecehan seksual, terutama lewat jalur digital seperti media sosial.
Upaya menyadarkan masyarakat mengenai bahayanya pelecehan seksual harus digalakkan. Penyebaran konten edukatif mengenai pengertian, jenis, dampak, serta cara melawan pelecehan seksual perlu diperbanyak, terutama untuk kalangan muda yang memang paling akrab dengan media sosial. Kampanye-kampanye anti pelecehan seksual baik online maupun offline juga patut mendapat dukungan penuh. Para korban harus diberi ruang yang aman dan nyaman untuk menyuarakan kisah dan pendapatnya tanpa rasa takut atau termarjinalkan.
Dari sisi regulasi, undang-undang yang lebih tegas juga perlu dibuat untuk menindak konten-konten berbau pelecehan atau asusila di dunia maya, termasuk komentar-komentar menyudutkan korban. Mekanisme pelaporan konten negatif perlu dipermudah agar masyarakat bisa berperan aktif dalam mengawal lingkungan media sosial yang sehat. Kerja sama dengan penyedia platform perlu dijalin untuk memastikan aturan anti pelecehan seksual dapat ditegakkan dengan baik. Hukuman yang lebih berat bagi pelaku pelecehan perlu dipertimbangkan sebagai efek jeranya.
Pada akhirnya, kita semua memiliki tanggung jawab untuk turut berperan aktif dalam memerangi budaya pelecehan seksual di ranah digital. Mengubah pola pikir yang patriarki dan cenderung menyalahkan korban bukanlah perkara mudah, namun kita tidak boleh berhenti berupaya. Meski kemajuan teknologi seringkali dielu-elukan, namun jika kita abai terhadap permasalahan sosial seperti ini, maka perkembangan tersebut hanya akan semu belaka. Kita harus menyadari bahwa menciptakan lingkungan virtual yang bebas dari pelecehan merupakan bagian penting dalam membentuk peradaban yang humanis dan bermartabat. Dengan bergandengan tangan dan menunjukkan sikap tegas menolak segala bentuk pelecehan, kita akan mampu mewujudkan kehidupan bermedia sosial yang lebih aman dan bermartabat bagi semua kalangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.