Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shofi Hanifatunnisa

Maraknya Kekerasan Seksual Akibat Permendikbudristek No.30

Info Terkini | Tuesday, 18 Jan 2022, 18:00 WIB
Ilustrasi : Internet

Oleh :

Shofi Hanifatunnisa

(Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Kekerasan seksual di kampus menjadi isu hangat ditengah civitas akademika. Sebagai mahasiswa kami dikagetkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi negeri menuai kontroversi.

Menurut naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, “Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang”.

Isu kekerasan seksual nyatanya bukan hal baru, sederet pengalaman buruk yang dialami korban pelecehan seksual kerap terjadi di lingkungan kampus, yang notabene sebagai lingkungan pendidikan.Jumlah laporan kasus kekerasan seksual kian meningkat selama pandemi Covid-19. Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021.

Pada Agustus 2021, dengan menggunakan tagar #NamaBaikKampus, sebanyak 174 penyintas yang berasal dari 79 kampus di 29 kota di Indonesia mengungkapkan kekerasan seksual yang pernah dialami oleh mereka, menurut survey yang diadakan oleh beberapa lembaga berita. (Dikutip dari Tirto, VICE Indonesia dan the Jakarta Post)

Sejak adanya Permendikbud No.30 Tahun 2021, banyak korban terutama perempuan yang melapor bahwa telah menerima kekerasan seksual di kampusnya. Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Nizam, mengatakan banyak kasus kekerasan seksual yang mulai dilaporkan usai rilisnya Permendikbud No. 30 Tahun 2021. (Dikutip dari CNN Indonesia, 2021)

Banyak pakar yang mengungkapkan bahwa tidak semua korban memiliki keberanian untuk melaporkan ke pihak kampus, ke polisi dan lembaga mitra Komnas Perempuan atau lembaga pendampingan korban kekerasan seksual lainnya. Terlebih para korban merasa disalahkan saat melaporkan kasus pelecehan seksual yang mereka alami.

Kekerasan seksual merupakan bentuk tindakan kejahatan yang dapat dilaksanakan kapan saja serta diberbagai macam tempat, termasuk diruang lingkup pendidikan seperti di kampus. Pada faktanya, kenyataan ini tidak dapat dihindarkan, bahwa tindakan kekerasan terhadap kaum yang lemah secara fisik terutama perempuan dan anak-anak menjadi kesehariaan dan terjadi dimana-mana. Korban dianggap telah turun reputasinya dan nama baiknya. Korban kehilangan kepercayaan terhadap lingkungan yang serupa dengan lingkungan dimana pelecehan terjadi.

Korban mungkin kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang yang bertipe seperti orang yang pernah melecehkannya, atau orang-orang yang punya kedudukan seperti orang yang pernah melecehkannya. Selain akibat-akibat di atas, kadangkala terjadi korban mengalami stress berkaitan dengan orang yang mempunyai hubungan dekat dengannya, kadang-kadang menyebabkan putus, atau perceraian; masalah dengan hubungan yang terjalin dengan teman, atau dengan kolega.

Pada lingkungan yang kurang paham tentang psikologis korban pelecehan seksual dan lebih memihak pada pelaku pelecehan, maka terjadi pelemahan jaringan yang mendukung korban, karena ditinggalkan oleh orang-orang (teman dan keluarga) di sekelilingnya. Kadangkala korban harus pindah kota, pindah kerja, pindah sekolah, dsb. Ini berakibat pada hilangnya referensi atau rekomendasi

Elemen masyarakat mulai dari pendidik, tokoh agama, dan PT mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m. Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 karena membahayakan dunia pendidikan di Indonesia. Sebelum ada upaya hukum dari para pihak melakukan uji materi muatan di atas pada Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, untuk dicabut dan dibatalkan, lebih baik Kemdendikbudristek mengkaji ulang dan revisi. Beberapa bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 5 Ayat (2) memuat frasa “tanpa persetujuan korban”.

Misalnya, kalimat memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Lalu, ada kalimat mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto, dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Berikutnya, mengunggah foto tubuh dan atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui korban.

Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Muatan materi di atas, memicu kritik dan penolakan karena dianggap kental bernuansa paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent).

Adanya frasa “tanpa persetujuan korban”, seakan menghalalkan atau melegalisasi seks bebas dengan dalih mau sama mau atau suka sama suka dengan persetujuan dari masing-masing pihak. Ini sangat berbahaya karena standar perilaku demikian bukan berdasarkan nilai luhur bangsa kita. Maka, materi muatan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 oleh berbagai kalangan dinilai lebih bernuansa pemikiran liberal dan hedonis. Tentu, ini bertentangan dengan nilai Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.

Terlepas dari berbagai desakan dan penolakan, Nadiem bertahan pada posisinya bahwa Permendikbudristek No.30/2021 akan tetap berlaku sehingga perguruan tinggi yang tidak tunduk terancam kena ssanksi, antara lain turun akreditasi kampus.

Demikian sebaiknya, sebelum menetapkan Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 mengundang para tokoh agama, ahli pendidikan, ahli hukum, dan ahli lainnya yang berkompeten. Juga mengundang elemen masyarakat serta civitas akademika agar dapat memberikan pendapat terkait penyusunan rancangan undang-undang, karena hal ini akan berdampak pada mayoritas perempuan dan meminimalisir kontroversi dikalangan civitas akademika.

Alangkah baiknya, adakan diskusi terbuka secara intens dengan berbagai kalangan untuk menampung aspirasi dalam pembentukan peraturan. Sebelum banyaknya kasus yang akan terjadi, maka dari itu peraturan ini harus segera dicabut dan direvisi kembali. Karena pelaku pelecehan seksual akan membenarkan tindakannya berdasarkan rancangan Permendikbudristek No.30 harapannya pemerintah dan menteri pendidikan mau mendengarkan aspirasi dari kami

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image