Politik dan Olahraga
Sejarah | 2024-05-27 16:52:31Salah seorang filsuf Yunani Kuno, Aristoteles (384-322 SM), menulis bahwa politik merupakan aktifitas sosial sangat dekat dengan kehidupan manusia, bahkan menurutnya manusia itu adalah makhluk politik, tidak bisa menghindari atau menjauhi dari dimensi kekuasaan. Artinya setiap langkah, perilaku, dan cara berpikir manusia sentatiasa dipengaruhi oleh struktur-struktur politik, terlebih manusia memiliki satu hal sangat penting tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain, yaitu berpikir.
Berpikir merupakan proses mental melibatkan analisis kognitif dalam memahami berbagai kebijakan pemerintah yang berdampak langsung pada dirinya, sehingga seorang individu bisa memberikan respon atas kebijakan itu, bentuk respon bermacam-macam, dari memberikan dukungan, mengkritik secara lisan atau tulisan, membuat petisi, dan melakukan aksi demonstrasi. Intinya melalui aktifitas berpikir setiap individu dapat memahami setiap keputusan politik yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Pertanyaannya kemudian, ketika politik tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, bagaimana kaitannya dengan bidang olah raga, sebuah aktivitas fisik yang dilakukan manusia dengan tujuan meningkatkan kebugaran jasmani dan menjaga kesehatan. Mengingat beberapa waktu lalu isu terkait relasi antara politik dengan olah raga sempat mengemuka, ketika Gubernur Jawa Tengah, periode 2009-2023, Ganjar Pranowo menyampaikan penolakan kehadiran Tim Nasional Israel bermain di Indonesia, di ajang Piala Dunia U-20, alasannya Israel masih melakukan penjajahan pada bangsa Palestina, hal itu bertentangan dengan konstitusi Indonesia, tercantum di pembukan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), bahwa bangsa Indonesia menolak bentuk-bentuk penjajahan (imperialisme dan kolonialisme) di muka bumi.
Sejarah Olah Raga
Olahraga secara historis dipraktekkan manusia sejak lama, bukti empirisnya dari gambar-gambar yang terpahat di dinding gua-gua peninggalan manusia pra sejarah di Prancis, tepatnya di Lascaux, terdapat gambar-gambar menunjukan aktifitas fisik seperti berlari dan berburu, kedua aktifitas itu dipandang oleh para ahli arkeologi sebagai kegiatan olahraga.
Pada peradaban Mesir Kuno kegiatan olahraga berupa berenang dan memanah terpahat di dinding makan para raja-raja bentuk hieroglif, sedangkan di Yunani kuno pada 766 SM, masyarakatnya sudah mengenal beberapa cabang olahraga seperti lari, lempar cakram, dan gulat. Bahkan cabang-cabang olahraga itu dikompetisikan dalam bentuk Olimpiade pertama.
Berikutnya peradaban Romawi Kuno kegiatan balap kereta dan olahraga berdarah seperti Gladiator, kerap dipertunjukan secara terbuka di Colosseum dan Circus Maximus. Selanjutnya pada abab pertengahan dan renaisans di Eropa, turnamen yang melibatkan jousting dan berbagai permainan perang menjadi populer di kalangan bangsawan.
Sedangkan pada awal peradaban Islam sampai masa kejayaannya, pertunjukan olahraga sudah lama dikenal luas seperti panahan, berenang, gulat, dan berkuda.
Relasi Olahraga dan Politik
Di dalam sejarah politik Indonesia polemik relasi antara olahraga dengan politik sudah lama terjadi, menurut Maladi (Mentri Olahraga RI 1962-1966) terdapat dua arus besar pandangan mengenai relasi antara olahraga dengan politik.
Pandangan pertama memiliki prinsip, bahwa olahraga itu tidak dapat dipisahkan dari politik, keduanya integral, bahkan ketika masa Pemerintahan Presiden Soekarno terus terang dan terbuka menyatakan posisi Indonesia kepada dunia, menganut paham bahwa olahraga adalah politik yang tidak dapat dipisahkan. Kemudian prinsip kedua, memiliki pandangan olahraga harus dipisahkan dengan politik, artinya tidak boleh ada intervensi politik pada kompetisi olahraga, serta harus steril dari kepentingan politik praktis (Dahlan, 2016).
Menurut Presiden Soekarno, bagi bangsa Indonesia olahraga dan politik itu merupakan persenyawaan tidak dapat terpisahkan, entitas bersifat tunggal yang menyatu padu, bagi Soekarno olahraga tidak sekedar kesehatan badan, ketangkasan, kekuatan, dan kesigapan fisik saja. Tetapi menjadi salah satu bagian mutlak dalam pembangunan suatu bangsa (nation building). Olahraga juga dipandang sebagai alat perjuangan politik serta sarana pemersatu bangsa, atau menarasikan kekuatan bangsa dipentas dunia (Dahlan, 2016).
Sedangkan alasan mereka yang menolak integrasi olahraga dengan politik, bahwa kompetisi di dalam olahraga bukan hanya partisipasi satu bangsa atau negara saja, tetapi melibatkan beragam bangsa dan negara meliputi beragam agama, etnik, dan ras. Maka menjadi keniscayaan olahraga harus netral dari politik, fokusnya sebatas kebugaran, keterampilan, dan persaingan sehat. Sehingga bisa menjadi sarana mempererat hubungan antarnegara, para atlet dapat saling berinteraksi, menciptakan hubungan positif antara negara-negara yang terlibat.
Event Olahraga dan Perhatian Politik
Meskipun terdapat pendapat memandang pentingnya netralitas politik di dalam kegiatan olahraga, bentang sejarah memperlihatkan kepada publik, berbagai peristiwa di dalam event olahraga yang dimanfaatkan untuk menarik perhatian secara politik.
Pertama, pada Olimpiade 1968 dua pelari cepat asal Amerika Serikat, yaitu Tommie Smith dan John Carlos, ketika mendapat medali dan naik ke podium, mereka berdua mengangkat satu tangan dengan sarung warna hitam, tindakan mereka bentuk protes perlakuan diskriminatif terhadap warga kulit hitam saat itu masih menjadi masalah di negara paman sam (Budiasa, 2023).
Kedua, ketika terjadi perang saudara di balkan, pemerintah serbia menggunakan suporter bola sebagai mesin pembuhuh, ketika itu Red Star Belgrade (Beograd Bintang Merah) kesebelasan tersukses di Serbia, sepanjang sejarahnya Red Star Belgrade sudah mengoleksi 51 trofi, juga mencatatkan sebagai kesebelasan meraih gelar Liga Champions, di tahun 1991. Suporter sepak bola ini sangat fanatik dengan sentimen serbia raya, kemudian Serbia membentuk pasukan paramiliter dari suporter Red Star Belgrade, melakukan penyerangan dan pembunuhan (Foer, 2016).
Ketiga, Olimpiade 1972 di Muenchen, Jerman. Terjadi penyanderaan terhadap atlet Israel oleh gerakan perlawanan Palestina, para penyandera menggunakan tutup kepala, motif penyanderaan itu menuntut Israel membebaskan 200 tahanan Palestina (Budiasa, 2023).
Keempat, Presiden Soekarno menolak Israel sebagai salah satu peserta Asian Games IV, yang dilaksanakan tanggal 24 Agustus-4 September 1962, ketika itu Indonesia menjadi negara tuan rumah penyelenggara, bentuk penolakan Soekarno dengan tidak mengundang Israel untuk berlaga di Asian Games IV. Menolak Israel sebagai peserta Asian Games IV, merupakan bentuk pembelaan dan dukungan Indonesia kepada Palestina (Dahlan, 2016).
Indonesia akhirnya mendapat hukuman mengalami skorsing dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional (IOC), hukuman itu akan dicabut, syaratnya Indonesia harus meminta maaf atas penolakan pada Israel sebagai negara peserta Asian Games IV. Presiden Soekarno menempuh langkah politik perlawanan (resistensi), bukan meminta maaf seperti kehendak IOC, pemerintah Indonesia menginisiasi Ganefo (Games of the New Emerging Forces), perhelatan olahraga sejagat melibatkan 58 negara peserta, dari bangsa-bangsa berpikiran progresif, anti imperialisme dan kolonialisme (Dahlan, 2016).
Penutup
Pandangan olahraga harus steril dari politik kerap muncul dari keinginan untuk menjaga integritas dan fair play di dalam kompetisi olahraga. Tetapi, dalam kenyataannya, olahraga dan politik sering kali berinteraksi satu sama lain.
Gili Argenti, Dosen Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Sumber Referensi
1. Budiasa, Meistra. 2023. Politik dan Politisasi Ajang Olahraga (Harian Kompas, 30 Maret 2023).
2. Dahlan, Muhidin M. 2016. Ganefo Olimpiade Kiri Di Indonesia. (Warung Arsip, Yogyakarta).
3. Foer, Franklin. 2016, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola : Kajian Sosial-Politik Globalisasi (Tangerang, Marjin Kiri)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.