Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Refleksi Aksi Bela Palestina di Ranah Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah

Kolom | Friday, 10 May 2024, 19:07 WIB
Dok: inews.id

Dalam Surat Pemberitahuan Aksi yang dikeluarkan oleh Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah kepada seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA) se-Indonesia menginstruksikan untuk menyelenggarakan Aksi Bela Palestina dan Kutuk Israel pada hari Selasa, 7 Mei 2024 lalu. Forum Rektor PTMA yang membawahi 172 PTMA di seluruh Indonesia itu menyerukan agar seluruh PTMA menyelanggarakkan aksi serentak di lingkungan masing-masing kampus.

Sebagaimana kita ketahui, konflik kemanusiaan di tanah Palestina memang terasa tak kunjung usai. Hari demi hari korban berjatuhan. Dan hari demi hari pula seakan tak ada tindakan tegas dari negara-negara lain khususnya negara Timur Tengah dan juga PBB. Hal ini tentunya menjadi duka pilu bagi siapapun yang melihat kondisi di tanah Palestina sana sebagai sebuah isu kemanusiaan.

Begitupun dengan Muhammadiyah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Forum Rektor PTMA, Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, kepada Mediamu, bahwa aksi ini selaras dengan dukungan yang telah diberikan Persyarikatan Muhammadiyah terhadap Palestina. Ditegaskannya lagi, bahwa Muhammadiyah akan selalu mendukung kemerdekaan Palestina tanpa batas waktu.

Menunjukkan Keberpihakan Tak Melulu Soal Aksi

Kurang lebih dalam kurun waktu setahun belakangan ini isu Palestina menjadi trending di beberapa belahan dunia, baik di negara bermayoritas muslim ataupun tidak. Termasuk dengan Indonesia yang hampir 70 persen masyarakatnya menganut agama Islam. Tuntutan berupa bentuk keprihatinan dan juga kutukan keras terhadap Israel yang secara brutal melakukan tindak kekerasan yang berkepanjangan menjadi seruan yang biasanya digaungkan dalam beberapa aksi yang terjadi. Begitupun dengan seruan aksi yang diinisiasi oleh Forum Rektor PTMA se-Indonesia Selasa, 7 Mei 2024.

Dalam kacamata penulis, apa yang dilakukan oleh institusi Perguruan Tinggi milik Muhammadiyah terkesan mainstream – untuk tidak menyebutnya ikut-ikutan. Padahal sependek pengetahuan penulis, Muhammadiyah selalu hadir sebagai gerakan pembaharu serta fresh dalam gerakannya. Masih mengutip dari laman website Mediamu, tertulis bahwa salah satu yang menjadi latar belakang aksi ini dilakukan ialah karena melihat sebagian besar akademisi dan masyarakat berpendidikan terutama di Eropa dan Amerika Serikat yang sudah mulai terbuka pikiran dan wacananya terhadap konflik ini.

Dengan melihat kondisi tersebut serta peran Perguruan Tinggi di dalam negeri yang juga nampaknya belum bersuara akan hal tersebut, Forum Rektor PTMA se-Indonesia mengambil inisiatif untuk melakukan aksi bela Palestina.

Akan tetapi dari reaksi atau respon yang dilakukan oleh PTMA tersebut justru menimbulkan beberapa pertanyaan; mengapa baru kali ini civitas akademika Muhammadiyah melakukan aksi bela Palestina dengan bersuara di ruang publik? Sedangkan apa yang terjadi di tanah Palestina sana sudah terjadi jauh-jauh hari. Kemudian juga dalam rangka bentuk keberpihakan terhadap Palestina, apakah hanya bisa dilakukan dengan melakukan aksi? Yang notabenenya dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan kekerasan yang terjadi terhadap warga Palestina.

Sebagai salah satu mahasiswa di PTMA, penulis cukup terheran-heran dengan seruan aksi dari pihak rekotrat kampus ini yang terkesan tiba-tiba. Bagi saya, dalam ranah pendidikan khususnya ruang lingkup Perguruan Tinggi, bentuk keberpihakan segenap civitas akademika kampus terhadap Palestina ataupun isu lainnya seyogyanya ditunjukkan juga di lingkungan kampus. Baik berupa simbol-simbol seperti flayer, kemudian dengan diskusi yang dilakukan oleh dosen di dalam ruang kelas, atau bahkan dengan pihak stakeholder kampus yang mengeluarkan pernyataan sikap serta dengan membuat artikel ilmiah terkait dengan isu kemanusiaan yang terjadi di Palestina sana.

Karena yang penulis rasa sejauh ini dari pihak pengajar ataupun petinggi kampus pun terkesan acuh tak acuh terhadap isu Palestina ini. Walaupun memang untuk upaya seperti penggalangan dana telah dilakukan di beberapa PTMA. Bahkan sejauh ini mungkin hanya unit mahasiswa di dalamnya saja yang melakukan kajian-kajian isu ataupun diskusi kecil-kecilan membahas perihal isu tersebut. Selain itu para dosen ataupun stakeholder kampus nampaknya hanya duduk manis di dalam ruangan ber-AC sembari mengurusi administrasi pendidikan yang nampaknya rumit tersebut.

Bukan bermaksud tidak menaruh perhatian atau tidak memposisikan diri berpihak terhadap Palestina. Dalam ranah akademik khususnya PTMA yang tentunya menggelorakan semangat mencerahkan dan berkemajuan, melakukan aksi sebagai bentuk keberpihakan nampaknya kurang relevan dan efektif. Terlebih Muhammadiyah dalam beberapa literaturpun terkenal dengan gerakan yang senantiasa responsif terhadap isu-isu kemanusiaan dan juga selalu berpikir maju dalam usaha memecahkannya.

Sebagaimana yang telah sedikit disinggung di atas, dalam ranah akademik seharusnya aksi untuk menunjukkan keberpihakan selayaknya dijadikan opsi terakhir. Dengan budaya penelitian yang selalu ditekankan di seluruh Perguruan Tinggi, agaknya perlu dalam melihat seberapa peka dan melek mahasiswa serta masyarakat akan isu kemanusiaan di Palestina dilakukan penelitian untuk hal tersebut. Jika memang terbukti masih banyak lapisan mahasiswa dan masyarakat yang belum melek bahkan acuh terhadap isu tersebut, baru diformulasikan upaya yang pas dan cocok untuk membangun kesadaran mahasiswa khususnya dalam ruang lingkup kampus.

Setelah kesadaran itu bisa terbangun di kalangan mahasiswa dan masyarakat, barulah berbicara soal upaya yang memang sekiranya mempunyai dampak cukup berarti bagi Palestina atau seminimal-minimalnya agar segenap civitas akademika tidak cepat amnesia akan isu tersebut.

Miris rasanya jika dalam aksipun banyak – bahkan hampir mayoritas – mahasiswa yang turut ikut hadir dengan bergegasnya mencari tempat yang teduh agar tidak terkena teriknya matahari sembari duduk manis dan mendokumentasikan kondisi lapangan saja. Miris rasanya jika dalam gaya hiduppun mahasiswa masih terkesan boros bahkan berpola hidup hedon. Miris rasanya jika di kalangan mahasiswapun masih banyak kita jumpai fenomena mereka yang meratapi hidupnya hanya karena kehilangan orang yang dicintainya.

Sedangkan di Palestina sana tak ada kata berteduh dan tak ada kata menyerah untuk terus mempertahankan tanah airnya. Bukan lagi soal “akan makan apa hari ini?” tetapi “apakah kita akan makan hari ini?” yang mereka pertanyakan. Dan bukan juga soal kehilangan orang yang belum kita miliki yang menjadi tetesan air mata mereka, akan tetapi kehilangan keluarga, sanak saudara, rumah, sekolah, dan masjidlah yang mereka tangisi kehilangannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image