Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aquila Adya

Kekerasan Seksual oleh Ayah Kandung: Dampak Psikologis yang Merusak Anak

Info Terkini | Saturday, 04 May 2024, 18:48 WIB

Kasus kekerasan seksual kepada anak bukanlah hal yang baru di kalangan masyarakat. Kasus kekerasan seksual ini dinilai sebagai kasus yang biasa, bahkan masih banyak yang beranggapan bahwa korbanlah yang melakukan kesalahan. Kekerasan seksual merupakan bentuk ekstrem dari kekerasan yang seringkali tidak diketahui atau diperlakukan dengan serius oleh masyarakat. Dalam konteks ini, kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandung memiliki dampak yang paling mendalam dan sangat fatal terhadap korban.

Karena dari apa yang sudah kita ketahui bahwa ayah adalah sosok yang seharusnya melindungi keluarganya dari ancaman dan bahaya lingkungan sekitar, tetapi dalam kasus ini sosok ayah tersebutlah yang menjadi pelaku perusak mental dan fisik buah hatinya. Oleh karena itu dampak dari pelecehan ini lebih besar dan mendalam bagi korban. Dari sudut psikologis dampak yang didapat korban akan berkembang dan berakibat sangat fatal. Dampak tersebut akan mengganggu kondisi psikologis dari korban sehingga korban tidak dapat menjalankan kesehariannya dengan normal.

Dampak psikologis pada korban kekerasan seksual tidak bisa dianggap sepele. Pasalnya, kekerasan seksual dapat menimbulkan efek jangka panjang bagi korban. Dari beberapa sumber yang sudah saya baca, saya mendapatkan beberapa riset dampak psikologis yang akan didapat korban. Contoh yang pertama adalah korban tindak kekerasan seksual akan mengalami penurunan kepercayaan diri dan merasa dirinya tidaklah berguna. Hal ini bisa menimbulkan kecemasan berkepanjangan, sedih terus-menerus, menghindari tempat atau orang tertentu, dan yang paling fatal ingin mengakhiri hidupnya. Contoh yang kedua adalah post-traumatic stress disorder (PTSD), terutama bila pelecehan itu mengarah pada penyerangan, pemerkosaan, intimidasi atau ancaman pemerkosaan, hingga penyiksaan seksual.

Selain itu dampak psikologi juga bisa memicu serangkaian komplikasi lainnya khususnya seputar kesehatan fisik, jadi anggapan kalau kekerasan seksual hanya menimbulkan luka batin, jelas itu adalah pernyataan yang keliru. Pelecehan seksual dicatat sebagai kasus yang menimbulkan trauma, dan hal tersebut sangatlah sulit untuk ditangani oleh korban tanpa adanya dukungan dari keluarga serta teman terdekat. Hal ini juga akan menjadi awal munculnya rasa ketidakpercayaan korban terhadap lingkungan sekitar terutama keluarga yang disebabkan oleh “pengkhianatan” dari peran ayah tersebut. Oleh karena itu, tubuh mulai kewalahan. Tekanan mental yang dialami korban akan memicu stres berat sehingga menimbulkan beragam gejala pada fisik.

Mulai dari nyeri otot, sakit kepala, bahkan masalah kesehatan fisik kronis, seperti tekanan darah tinggi dan masalah dengan gula darah. Dalam jangka panjang, tekanan psikis ini bisa menyebabkan masalah jantung. Hal ini terjadi karena bagian otak yang memproses emosi, termasuk stres, berada tepat di sebelah batang otak, yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reflek atau otomatis seperti detak jantung dan pernapasan. Apabila tekanan stres menuju bagian otak tersebut, maka ini bisa berdampak pada kondisi fisik seseorang. Contohnya, timbulnya masalah pada fungsi kardiovaskular, metabolisme, dan sebagainya. Sebab itu jangan heran apabila seseorang yang mengalami stres berat atau depresi juga akan mengalami sederet gejala fisik yang dapat dirasakan.

Setelah melihat beberapa dampak yang akan didapatkan oleh korban. Apakah pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal? Dalam banyak sistem hukum, kekerasan seksual dianggap sebagai tindakan yang serius dan merugikan, pelaku memang seharusnya mendapatkan hukuman yang sesuai dengan tingkat keparahan tindakannya. Sebelum itu, saya sudah melakukan beberapa riset data untuk dasar hukum mengenai kasus ini, berikut dasar-dasar hukum untuk kasus kekerasan seksual di Indonesia :

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak:

· Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengancam, menyerang, menyiksa, merendahkan, atau merugikan hak-hak anak, baik secara fisik, psikologis, atau sosial, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

· Pasal 16 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengancam, menyerang, menyiksa, merendahkan, atau merugikan hak-hak anak, baik secara fisik, psikologis, atau sosial, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun jika tindakan tersebut dilakukan dengan kekerasan yang menimbulkan cedera fisik atau cedera psikologis.

2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Anak yang Terancam, Terabaikan, dan Terkucil:

· Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengancam, menyerang, menyiksa, merendahkan, atau merugikan hak-hak anak, baik secara fisik, psikologis, atau sosial, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

· Pasal 16 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengancam, menyerang, menyiksa, merendahkan, atau merugikan hak-hak anak, baik secara fisik, psikologis, atau sosial, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun jika tindakan tersebut dilakukan dengan kekerasan yang menimbulkan cedera fisik atau cedera psikologis.

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Perlindungan Anak:

· Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengancam, menyerang, menyiksa, merendahkan, atau merugikan hak-hak anak, baik secara fisik, psikologis, atau sosial, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

· Pasal 16 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang yang mengancam, menyerang, menyiksa, merendahkan, atau merugikan hak-hak anak, baik secara fisik, psikologis, atau sosial, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun jika tindakan tersebut dilakukan dengan kekerasan yang menimbulkan cedera fisik atau cedera psikologis.

Dengan ketentuan hukuman yang sudah ada apakah sebanding dengan apa yang korban rasakan? Jawabannya adalah tidak. Hukuman yang diberikan untuk pelaku, baik oleh ayah kandung maupun oleh pelaku lainnya, tidak secara langsung sebanding dengan dampak psikologis atau fisik yang dialami oleh korban. Dampak yang dialami oleh korban kekerasan seksual sangat luas dan seringkali tidak dapat diukur secara langsung oleh sistem hukum. Sanksi hukum yang diberikan bertujuan untuk memberikan ganti rugi kepada korban, memastikan pelaku mengakui tindakannya, dan mencegah tindakan serupa terulang di masa depan.

Namun, penting untuk memahami bahwa sanksi hukum tidak dapat menggantikan atau memulihkan dampak psikologis atau fisik yang dialami oleh korban. Untuk mendukung korban kekerasan seksual, penting untuk menyediakan dukungan profesional dan layanan kesehatan mental yang memadai. Layanan ini mencakup terapi psikologis, konseling, dan pendidikan tentang kekerasan seksual serta cara mengatasinya. Selain itu, dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas juga sangat penting untuk membantu korban mengatasi dampak kekerasan seksual.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image