Gig Worker Jadi Pekerja yang Rentan, Mana Peran Kelembagaan Indonesia?
Edukasi | 2024-04-16 17:00:36Bagi sebagian orang, lebaran menjadi momen yang ditunggu-tunggu karena selain dapat bertemu dengan orang terkasih, mudik, halal bihalal, liburan, dan segala rupanya, ada juga Tunjangan Hari Raya atau (THR) yang dinantikan. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor M/2/HK.04/III/2024, para pekerja atau buruh perusahaan berhak mendapatkan THR keagamaan sebesar gajinya perbulan atau proporsional bagi mereka yang belum bekerja genap 12 bulan.
Sayangnya, tak semua pekerja mendapatkan tunjangan tersebut, terutama pekerja lepas yang tidak terikat dengan kontrak seperti pengemudi ojek dan taksi online serta kurir ekspedisi. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan bonus lebaran dari perusahaan. Namun, besaran bonus tersebut disebut tidak manusiawi jika dibandingkan dengan beban kerja yang dipikul mereka di hari raya. Tak heran mereka pun menagih THR yang sebenarnya memang menjadi hak mereka.
Ketimpangan Regulasi: Gig Worker Hadapi Beban yang Tak Manusiawi
Menanggapi protes dan tagihan itu, Menaker tak banyak memberikan solusi karena menurut Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, THR hanya wajib diberikan kepada pekerja dengan hubungan kerja PKWT saja. Sementara, pengemudi ojek online, taksi online, serta kurir ekspedisi diikat dengan hubungan kerja kemitraan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui bahwa pemerintah Indonesia belum mempunyai regulasi yang mengatur tentang hubungan kerja kemitraan tersebut.
Kontrak kerja semacam itu membuat para pekerja lepas atau gig worker seperti mereka menjadi kelompok yang rentan karena tidak mendapat hak dan perlindungan yang manusiawi. Tidak hanya THR, mereka juga tidak mendapatkan upah yang layak, perlindungan keselamatan kerja, serta jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Padahal, sama seperti pekerja atau buruh lainnya, para gig worker juga berhak mendapatkan perlindungan tersebut. Kenyataan ini memprihatinkan.
Pekerja lepas atau gig worker merupakan sebutan bagi mereka yang yang bekerja di dalam ekosistem gig economy, yakni dunia kerja sementara yang dimediasi oleh platform digital. Istilah gig sendiri diadopsi dari musisi amatir yang melakukan konser “gig” dari satu panggung ke panggung lainnya, mereka bekerja tanpa kantor dan kontrak yang permanen.
Secara tipologi, gig economy juga bisa dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, ekosistem berbasis mediasi platform online berjarak jauh yang diselesaikan tanpa tatap muka seperti platform freelance: Fiver, Upwork, Freelancer, Sribulancer dan lainnya. Sementara itu, gig economy yang kedua berbasis lokasi yang pekerjaannya diselesaikan secara tatap muka, seperti layanan transportasi dan ekspedisi online seperti Uber, Lalamove, Maxim, Gojek, Grab, dan sebagainya. Uniknya, beberapa perusahaan di Indonesia menerapkan beberapa layanan sekaligus dengan istilah bernama superapp seperti Grab, Gojek, dan Shopee.
Bagaimana Eksistensi Kelembagaan Indonesia pada Ekosistem Gig Economy?
Sejak kemunculan Gojek tahun 2015 yang berimbas pada semakin berkembangnya gig economy di Indonesia, setelah kurang lebih sembilan tahun, belum juga ada regulasi yang mengatur para pekerjanya atau gig worker. Seperti yang telah disebutkan oleh Menaker Ida Fauziyah, ketiadaan lembaga yang menaungi gig worker menjadi alasannya. Inilah pentingnya kelembagaan dalam aktivitas perekonomian, dalam hal ini berarti terkait pembentukan kontrak pekerja lepas sebagai upaya pemenuhan hak dan perlindungan.
Esensi kelembagaan dalam ekonomi bukanlah hal yang baru, konsep ini diperkenalkan oleh cabang ilmu ekonomi baru bernama ekonomi kelembagaan. Cabang ekonomi ini merupakan respons sekaligus kritik terhadap ekonomi klasik dan neoklasik yang terlalu banyak menekankan mekanisme pasar sehingga menyebabkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan, adanya eksploitasi pekerja, dan kerusakan lingkungan.
Pada ekonomi ortodoks, klasik, ataupun neoklasik, manusia dipandang rasional ketika melakukan kegiatan ekonomi. Sementara, Thorstein Bunde Veblen sebagai Bapak Ekonomi Kelembagaan berpendapat bahwa kegiatan ekonomi berevolusi layaknya manusia yang berevolusi. Menurutnya, manusia tidak bekerja secara rasional dalam keputusan ekonominya, melainkan dipengaruhi banyak faktor sosial, budaya, dan politik. Veblen memandang ekonomi tidak hanya mempelajari tingkat harga dan alokasi sumber, tetapi juga mempelajari faktor-faktor yang dianggap tetap (given).
Sederhananya, ekonomi kelembagaan memandang ekonomi sebagai kegiatan yang berhubungan dengan ilmu lainnya, seperti psikologi, sosiologi, politik, hukum, antropologi, dan sejarah. Para tokoh pemikirnya memang memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya menentang pasar bebas atau persaingan bebas. Dalam hal ini, kelembagaan berperan sentral dalam membangun perekonomian yang efisien, sebagai kerangka yang mengatur interaksi antarpelaku ekonomi.
Untuk mengurai permasalahan yang dihadapi oleh pekerja lepas, kita bisa mengkajinya dengan ekonomi kelembagaan, utamanya berkaitan dengan teori biaya transaksi, teori kontrak informasi asimetris, teori ekonomi politik, dan teori perubahan kelembagaan.
Mengapa Kelembagaan Dibutuhkan dalam Perlindungan Hak Gig Worker?
Ekonomi kelembagaan berupaya untuk mencapai efisiensi biaya secara menyeluruh, tidak hanya biaya produksi tetapi juga biaya transaksi. Jasa pengiriman yang dilakukan kurir merupakan biaya transaksi manajerial yang termasuk fixed transaction cost perusahaan yang sayangnya luput diperhatikan oleh banyak perusahaan.
Selama ini, biaya transaksi pengiriman e-commerce selalu dibebankan kepada pembeli. Sementara, pembeli selalu menginkan biaya ongkos kirim yang kecil, bahkan tak sedikit yang menginginkan ongkos kirim yang gratis. Keadaan ini membuat kurir online dieksploitasi oleh beban kerja yang berlebih di atas keuntungan pembeli dan perusahaan. Mereka tak mendapatkan upah yang layak karena tidak ada alokasi yang pasti bagi biaya transaksi tersebut.
Kegiatan ekonomi tersebut tentunya bukanlah suatu kegiatan ekonomi yang ideal karena keuntungan suatu pihak menyebabkan kerugian pada pihak lainnya. Karenanya, kita membutuhkan seperangkat aturan atau mekanisme untuk mewujudkan kesetaraan dalam kegiatan ekonomi, yang biasa disebut dengan “kontrak”. Dalam teori kontrak informasi asimetris, kontrak hendaknya disesuaikan dengan situasi ekosistem ekonomi tersebut dengan pertimbangan insentif yang disetujui oleh pemberi kerja dan pekerja. Kontrak ini juga yang nantinya akan mengatur regulasi lainnya terkait hak dan perlindungan pekerja.
Namun, alih-alih penyesuaian kontrak, gig worker bahkan ada yang tidak memiliki kontrak. Kontrak kemitraan memang kontrak yang resmi, namun tak terbaca regulasi. Pun, bagaimana dengan pekerja gig lainnya yang tak terikat dengan kontrak sama sekali? Bagaimana mereka bisa menuntut hak dan perlindungannya?
Inilah pentingnya memandang ekonomi dari berbagai sudut, termasuk ilmu politik. Segala regulasi dan birokrasi politik berinterelasi dengan seluruh kegiatan produksi - distribusi - konsumsi ekonomi, termasuk kontrak kerja. Memang, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, implementasi ekonomi kelembagaan di Indonesia telah sangat ditekankan dalam perekonomian Indonesia. Sayangnya, penerapannya belum sampai ke sektor gig economy. Hingga saat ini, belum ada lembaga yang secara khusus menaungi sektor ekonomi digital khususnya gig economy. Akibatnya, hak dan perlindungan bagi pekerja gig belum juga terwujud.
Apakah Regulasi bagi Kontrak Kemitraan saja Cukup?
Saat ini, Kemenaker bersama DPR Komisi IX tengah mengerjakan regulasi terkait perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja berbasis kemitraan. Namun, saya merasa bahwa regulasi bagi pekerja kemitraan belum dapat memayungi hak dan perlindungan para gig worker yang ada di Indonesia. Seharusnya, pemerintah juga harus mulai merencanakan dan membentuk kelembagaan yang secara khusus mengatur perekonomian digital termasuk gig economy mengingat ekosistem ekonomi ini akan terus berkembang pesat.
Maka yang perlu dibenahi utamanya adalah kontrak, regulasi, baru kelembagaan. Namun, agaknya masyarakat Indonesia tak semandiri dan sedermawan itu, perusahaan lebih senang menunggu instruksi dari pemerintah. Karenanya, kelembagaan menjadi urgensi yang harus segera dilaksanakan sebagai upaya perlindungan bagi gig worker. Juga sebagai upaya pembebasan ekonomi Indonesia dari belenggu ekonomi yang merugikan pekerja lepas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.