Mungkinkah Merajut Perdamaian di Antara Keberagaman?
Edukasi | 2024-04-09 17:39:00Sebagai negara kepulauan—dengan beragam etnis, agama, tradisi, dan budaya—perdamaian merupakan salah satu aspek penting bagi Indonesia, demi terselenggaranya kehidupan masyarakat yang aman dan tertib. Sejak pencanangan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia telah berupaya keras untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Syarat-syarat perdamaian
Immanuel Kant dalam buku karyanya yang berjudul Menuju Perdamaian Abadi mengatakan, bahwa perdamaian antarmanusia yang hidup itu bukanlah merupakan suatu hal yang alamiah. Sejatinya, keadaan alamiahnya adalah perang. Keadaan perang itu berarti selalu terdapat ancaman permusuhan meskipun belum diumumkan (genderang perang belum ditabuh). Karenanya, perdamaian merupakan sesuatu yang harus ditegakkan dengan upaya keras. Penghentian permusuhan bukan menjadi jaminan tercapainya perdamaian.Dengan demikian, untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, diperlukan sejumlah persyaratan yang tak bisa ditawar lagi.
Menurut hemat penulis, diperlukan syarat pertama, berupa kesadaran akan pluralisme. Indonesia ditakdirkan oleh Sang Pencipta sebagai negara yang berbineka dalam berbagai hal. Ini merupakan anugerah yang luar biasa yang sekaligus juga menjadi kekuatan dan keunikan bangsa Indonesia. Kesadaran akan keberagaman harus tertanam dalam jiwa setiap warga, mulai dari lapisan paling bawah sampai lapisan paling atas. Semangat keberagaman atau pluralisme harus dipahami sebagai anugerah, bukan sebagai ancaman.
Syarat kedua, berupa pendidikan tentang nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keberagaman kepada masyarakat luas. Hal ini dapat dimulai dengan pendidikan di jenjang SD. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap ketiga nilai tersebut di atas, membuat kita dapat mencegah terjadinya konflik dan memicu adanya kolaborasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat dan/atau antarmasyarakat itu sendiri.
Sebagai seorang pendidik, penulis sangat menggaribawahi pentingnya persyaratan ini . Sejatinya, peran lembaga pendidikan sebagai agent of change sangatlah tepat. Akan tetapi, sejauh yang penulis dapat amati, perannya baru sebatas pengertian kognitif saja. Sayangnya, pengertian kognitif ini tidak diikuti dengan kecerdasan emosi dan kecerdasan religi. Konflik dengan cara mengobral ayat-ayat suci pada pemilihan gubernur Jakarta beberapa tahun lalu, jelas memperlihatkan bahwa kaum akar rumput mudah sekali disulut sumbunya. Kebencian terhadap penganut agama/kepercayaan lain menjadi api permusuhan yang sulit dipadamkan.
Akhir-akhir ini keadaan diperparah dengan maraknya tindak kekerasan, tawuran, dan bullying di antara para pelajar, sampai ada siswa yang meninggal. Melihat kenyataan ini, tak mengherankan jika pendidikan dianggap gagal dalam membina para pelajar menjadi insan yang cerdas di ranah intelektual, emosi, dan religi. Sementara, kurikulum berganti-ganti seiring dengan pergantian menteri, tanpa memberikan solusi yang jelas berkenaan dengan masalah ini.
Indonesia yang berpenduduk sangat beragam dalam segi etnis, budaya, adat-istiadat, dan agama, memang sangat rentan untuk mengalami konflik. Jika kita mau jujur, isi kurikulum—yang notabene sudah beberapa kali berganti—tidak pernah memperhatikan aspek keberagaman tersebut. Kita perlu menyadari, bahwa masalah kerukunan, moral, perdamaian, dan konflik itu saling berkaitan erat. Seyogianya, kurikulum kita itu mewadahi aspek-aspek tersebut secara praktik nyata.
Pendidikan yang dianggap sebagai suatu proses mulia untuk memanusiakan manusia, dalam kenyataannya dilakukan hanya sebatas wacana, belum dalam bentuk aksi nyata. Kita bisa melihat bahwa ketika digunakan sebagai alat politik oleh oknum penguasa, misalnya, pendidikan hanya digunakan untuk mengejar tataran sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Fenomena ini membuat kita kembali kepada pertanyaan mendasar: Sudahkah pendidikan kita berdiri di atas pijakan yang kuat dan benar? Sudahkah lembaga pendidikan menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya? Secara pribadi, penulis cenderung menjawab kedua pertanyaan tersebut di atas dengan satu kata jawaban: ”Belum”.
Dalam setiap kampanye pemilihan kepala daerah atau presiden, penulis tidak pernah mendengar isu pendidikan didengungkan sebagai hal yang sangat penting yang memberikan dampak besar bagi perdamaian bangsa. Pendidikan dianggap menjadi isu nomor sekian, ditenggelamkan oleh isu politik yang berusaha mengumpulkan kekuasaan (dan uang).
Selanjutnya kita bahas syarat ketiga, berupa pembangunan ekonomi yang adil. Pembangunan tidak boleh hanya dipusatkan di Pulau Jawa. Ketidaksetaraan di bidang ekonomi acap kali memicu terjadinya kecemburuan dan ketegangan sosial, yang bisa berujung pada tindak kerusuhan. Pembangunan ekonomi yang adil akan memberikan kesempatan bagi setiap warga untuk mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang dijalankan. Bagi penulis, pemindahan ibu kota Jakarta ke IKN di Kalimantan Timur, merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang adil, di samping tentu saja, mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta.
Ketidaksetaraan di bidang ekonomi dapat memicu terjadinya kecemburuan sosial yang pada gilirannya dapat menciptakan konflik, bahkan kerusuhan. Dengan demikian, pemerintah perlu meningkatkan tersedianya program-program kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan berusaha untuk mengurangi angka kemiskinan. Menciptakan lapangan kerja yang terbuka luas, merupakan salah satu solusinya. Sementara, Bantuan Langsung Tunai (BLT) hanya perlu dilakukan ketika terjadi keadaan darurat. Yang penting dan terutama, masyarakat luas dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak.
Penulis sangat prihatin mendengar berita sejumlah penduduk di Papua yang tewas akibat bencana kelaparan. Sementara, terdapat pihak tertentu yang menyatakan bahwa perisitiwa ini terjadi karena perubahan iklim yang ekstrem. Seyogianya, kalau memang benar terjadi bencana kelaparan, hal ini tidak perlu diingkari. Ini merupakan peringatan bagi kita semua untuk memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi di setiap daerah, terutama daerah yang sulit dijangkau oleh jaringan transportasi dan komunikasi.
Syarat keempat, berupa pemberlakuan sistem hukum yang adil. Jangan sampai maling ayam mendapat hukuman jauh lebih berat ketimbang koruptor yang menggasak duit rakyat dalam jumlah miliaran/triliunan. Pedang Dewi Keadilan harus tajam ke segala arah, bukan hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Penerapan hukum yang adil merupakan landasan penting untuk menciptakan perdamaian. Kita perlu melakukan penegakan hukum secara adil dan transparan. Hal ini juga harus dibarengi dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Selanjutnya, kita tiba pada syarat kelima. Syarat ini berupa partisipasi politik yang bersifat inklusif. Syarat ini merupakan kunci untuk bisa menciptakan lingkungan positif yang stabil, tidak mudah digejolakkan oleh isu perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan. Partisipasi inklusif ini antara lain meliputi pemilihan umum yang adil, kebebasan berekspresi (tetapi perlu diingat: jangan sampai melampaui batas-batas etika), dan akses yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat dalam proses politik.
Kini kita tiba pada syarat keenam. Syarat ini berupa dialog antarkelompok. Dialog antarkelompok etnis, agama, dan budaya perlu dilakukan secara intensif dan berkesinambungan, tanpa perlu menunggu terjadinya konflik. Dialog yang dilakukan secara jujur dan terbuka, akan membantu dalam mencapai kesepakatan bersama dan membangun rasa saling pengertian.
Mari kita menuju ke syarat berikutnya, syarat ketujuh, yakni kepemimpinan yang bijaksana. Dibutuhkan pemimpin yang bijaksana dalam berkomitmen untuk mewujudkan perdamaian. Pemimpin harus memiliki kompetensi untuk mempersatukan berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Di samping itu, pemimpin juga harus mampu menghindari penggunaan retorika-retorika yang dapat memicu terjadinya konflik.
Syarat kedelapan, merupakan syarat pemungkas, yakni peran media yang bertanggung jawab. Seperti kita ketahui, media cetak maupun elektronik memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat. Media harus mampu mempromosikan perdamaian dan kerukunan, bukan memperruncing perbedaan pendapat sehingga dapat memicu permusuhan. Apalagi jika ditambah dengan ulah para buzzer bayaran yang bertujuan menyebarkan berita hoaks atau fitnah untuk mendukung kepentingan pihak tertentu. Sayang sekali, jika demi iming-iming tumpukan harta, perdamaian dan keutuhan anak bangsa di seluruh tanah air tercinta ini dipertaruhkan.
Sejumlah tantangan
Memang tidak mudah menggalang perdamaian di antara kemajemukan bangsa. Selain diperlukan sejumlah persyaratan seperti yang telah dipaparkan di atas, kita juga masih harus menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan dengan cara-cara yang bijaksana.
Tantangan pertama yang harus kita selesaikan adalah masalah konflik separatis. Beberapa daerah di Indonesia seperti Papua, misalnya, masih mengalami konflik separatis yang menjadi ancaman serius bagi perdamaian. Upaya dialog antara pemerintah dan pihak separatis perlu dilakukan secara persuasif, sehingga bisa dicapai rekonsiliasi di antara kedua belah pihak.
Tantangan kedua berupa ketidaksetaraan di bidang ekonomi dan sosial. Kesenjangan yang terlalu lebar dapat memicu terjadinya gejolak sosial. Upaya penanganannya dilakukan dengan cara mengusahakan pembukaan lapangan kerja seluas mungkin, tidak hanya terpusat di Pulau Jawa. Pembangunan sentra-sentra UMKM di sejumlah daerah yang potensial di setiap pulau, diharapkan dapat ikut mengurangi/meniadakan kesenjangan di bidang ekonomi dan sosial.
Tantangan ketiga berupa ekstremisme agama. Tantangan ini dapat memicu terjadinya konflik antarumat beragama, terutama di tengah masyarakat yang berpendidikan relatif rendah. Agama dijadikan alat untuk pembenaran diri dan menyalahkan pihak lain, padahal sejatinya agama itu mengajarkan rasa saling mengasihi dan menghormati meski dalam perbedaan.
Tantangan keempat berupa konflik lahan dan sumber daya alam. Konflik jenis ini acap kali terjadi di daerah pedesaan. Konflik di daerah Wadas dan Rempang, misalnya, merupakan konflik yang tampaknya belum terselesaikan secara tuntas. Perlindungan atas hak-hak rakyat dan penyelesaian konflik secara win-win solution, merupakan hal yang sangat penting untuk dituntaskan atas dasar mufakat bersama.
Sedangkan tantangan kelima, berupa maraknya tindakan korupsi. Tindakan korupsi sangat merusak tatanan keadilan sosial dan kepercayaan publik, terutama bila kejahatan ini dilakukan oleh para penegak hukum dan keadilan. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat luas justru menjadi ’pagar makan tanaman’. Itu sebabnya, pembuktian harta kekayaan secara terbalik dan diberlakukannya undang-undang perampasan harta koruptor, merupakan cara yang sangat urgen dan efektif untuk membasmi tindakan korupsi. Prinsipnya, koruptor harus dimiskinkan tanpa pandang bulu.
Kesimpulan
Bila kita cermati, perjalanan panjang Indonesia menuju perdamaian memang sangat kompleks. Proses yang rumit ini memerlukan sejumlah persyaratan dan tindakan seperti yang telah diuraikan di atas.
Lewat pengalaman dalam menyelesaikan berbagai konflik di sejumlah daerah, Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan konflik tersebut, sehingga diharapkan dapat mencapai hari depan yang penuh perdamaian. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan sejumlah faktor kunci, seperti kesediaan dan kemampuan untuk bernegosiasi, partisipasi segenap lapisan masyarakat, penyelesaian berbagai jenis konflik, rekonsiliasi nasional serta penegakan hukum yang berkeadilan.
Sudah barang tentu, aspek pendidikan juga memegang peran kunci. Kiranya anggaran pendidikan yang mencapai Rp660,8 triliun di tahun 2024, atau 20% dari RAPBN, tidak digelontorkan secara sia-sia. Kita sangat memerlukan program kurikulum yang memperhatikan masalah keberagaman di seluruh tanah air tercinta.
Lewat kesungguhan dari semua pihak yang terkait, penulis percaya bahwa merajut perdamaian di antara keberagaman, sangatlah mungkin dilaksanakan. Dengan demikian, perdamaian dan kerukunan yang kita dambakan, bisa dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.