Gig Economy, Gig Worker: Dilema Kontrak dan Kebutuhan Perlindungan
Bisnis | 2024-04-09 11:04:11Gig economy telah menjadi topik hangat selama beberapa tahun terakhir yang muncul sebagai bentuk adanya fleksibilitas tren dan ragam pekerjaan. Ekonomi gig dianggap sebagai alternatif pekerjaan bagi individu yang tidak menggemari rutinitas kerja kantor tradisional dengan jam kerja yang kaku. Woodcock dan Graham (2019), mengatakan bahawa ekonomi gig muncul akibat pola kontrak dan organisasi kerja baru yang ditopang oleh perubahan teknologi, globalisasi, dan melemahnya serikat pekerja. Dari sudut pandang ini, ekonomi gig terhubung erat dengan kondisi pekerja prekariat yang menerima bayaran rendah, berdasarkan kontrak yang tidak pasti, dan tingkat keamanan pekerjaan yang minim.
Istilah "ekonomi gig" pertama kali dikenal luas di Amerika Serikat setelah terjadinya resesi besar pada tahun 2008 (Brown, 2009). Pada masa krisis tersebut, pekerjaan yang tersedia didominasi oleh proyek-proyek jangka pendek, dan pekerjanya direkrut secara non-tradisional dengan kontrak alternatif, seperti menjadi konsultan atau pekerja kontrak independen yang dibayar berdasarkan hasil. Istilah "gig" diambil dari konsep musisi amatir yang tampil dalam konser-konser "gig" di berbagai kafe. Dengan demikian, Friedman (2014), mengemukakan bahwa para gig workers diasosiasikan dengan mereka yang bekerja tanpa memiliki kantor atau pemberi kerja yang tetap. Pekerja gig memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja formal, seperti fleksibilitas waktu dan keterlibatan kerja yang memungkinkan berbagai lapisan masyarakat dengan beragam keterampilan dan latar belakang pendidikan untuk mendapatkan penghasilan utama atau tambahan (Daniels & Grinstein-Weiss, 2018).
Fenomena Ekonomi Gig di Indonesia
Bentuk nyata gig economy di Indonesia telah menyeruak dan mengalami perkembangan pesat selama beberapa tahun terakhir. Perkembangan gig economy ini selalu diiringi oleh pertumbuhan peran ekonomi industri penyedia jasa berbasis aplikasi dan cakupan digitalisasi masyarakat Indonesia. Kemunculan ojek online di awal tahun 2015 yang menawarkan skema kemitraan kepada para pekerjanya menginisiasi merebaknya fenomena gig economy. Di samping model bisnis ojek yang mengantarkan penumpang, konsep aplikasi perantara ini kemudian diterapkan pada layanan taksi mobil, pengiriman makanan, dan jasa kurir. Hingga saat ini, terdapat gelombang besar masyarakat yang mengajukan diri sebagai mitra perusahaan ojek online atau kurir karena keterbatasan alternatif pekerjaan yang memadai.
Selain pekerja ojek online, tren pekerjaan jarak jauh (remote work) juga mulai muncul, dimana aplikasi digital menjadi perantara utama. Dengan model kerja ini, pekerjaan tidak lagi terbatas oleh lokasi geografis. Sebagai contoh, seorang insinyur perangkat lunak dapat bekerja dari Kota Malang untuk melayani klien di New York melalui kontrak proyek berbasis hasil melalui platform freelance online seperti Upwork. Meskipun secara visual berbeda, ada kesamaan antara pekerja jarak jauh dan pekerja ojek online karena keduanya menjadi bagian dari ekosistem ekonomi gig dengan karakteristik sebagai pekerja mandiri yang pekerjaannya disalurkan melalui platform digital.
Dilema Kontrak yang Dihadapi
Berdasarkan studi yang dilakukan di Inggris, mayoritas pekerja gig mengalami gangguan stres berlebih karena memiliki jam kerja lebih panjang dari yang seharusnya. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya kontrak kerja yang pasti, dan tuntutan untuk bekerja secara fleksibel yang membuat mereka harus menyelesaikan aktivitas pekerjaannya di luar jam kerja.
Dengan adanya kebijakan pemerintah yang saat ini sangat mendukung pekerjaan dilakukan dengan jarak jauh, isu yang dialami pekerja gig ini sangat berpotensi terjadi di Indonesia. Alat ukur yang dapat menjadi penanda terkait permasalahan tersebut adalah jam kerja dan pendapatan yang diperoleh para pekerja. ILO menyatakan, banyaknya penerapan kebijakan flexible working space akan memunculkan permasalahan baru terkait dengan isu kesehatan, sosial, maupun ekonomi yang disebabkan karena kurang optimalnya manajemen waktu dan aktivitas para pekerja gig. Kendati menawarkan fleksibilitas dan kemandirian, pekerja gig kerap kali rawan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan. Hal ini disebabkan oleh minimnya perlindungan hukum dan kontrak kerja yang tidak transparan.
Adanya konsep flexible working ini menjadikan seorang gig worker tidak mendapatkan rasa aman serta stabilitas penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan, sehingga cenderung tidak mempunyai jaminan penghasilan tetap atau bahkan tidak memiliki jaminan aturan ketenagakerjaan lain seperti kesempatan cuti hingga asuransi kesehatan. Sejalan dengan kurangnya kontrak tetap, Kalleberg & Dunn (2016) mencatat bahwa gig worker sering kali dianggap sebagai kontraktor atau konsultan yang tidak selalu memperoleh perlindungan hukum seperti upah lembur dan upah minimum seperti halnya pekerja formal lainnya. Hal ini menegaskan kerentanan gig worker terhadap perlindungan kerja, sementara di sisi lain perusahaan diuntungkan dengan tidak memberikan perlindungan dan jaminan sosial kepada gig worker.
Ketentuan mengenai hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta Peraturan Menteri yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Harian Lepas yang termuat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-06/MEN/1985. Dalam Perjanjian Kerja, penting untuk mencantumkan bahwa pekerja memiliki hak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Kontrak perjanjian kerja juga harus memuat informasi penting seperti uraian pekerjaan yang terperinci, sistem pembayaran yang transparan, jam kerja yang fleksibel, hak atas cuti dan sakit, serta jaminan keselamatan kerja.
Secara prinsip, perjanjian kerja dapat dibuat baik secara tertulis maupun lisan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan keleluasaan kepada kedua belah pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, dengan syarat harus memenuhi syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mencakup "kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Namun, seringkali pemberi kerja (pengusaha) tidak memfasilitasi perjanjian kerja secara tertulis dengan alasan kondisi pekerja, yang mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan sumber daya manusia atau didasarkan pada kepercayaan untuk membuat perjanjian kerja secara lisan.
Pelaksanaan Perjanjian Kerja, baik secara lisan maupun tertulis, saat ini dianggap belum memberikan perlindungan yang memadai bagi para Pekerja Harian Lepas atau pekerja gig, sehingga mereka belum dapat menikmati hak-hak perlindungan sosial, pengupahan, dan hak-hak lainnya. Meskipun begitu, perjanjian kerja memiliki peranan yang sangat penting sebagai pedoman kerja antara dua pihak. Bagi pengusaha atau majikan, perjanjian kerja dianggap sebagai komponen yang menambah beban biaya terhadap layanan yang dihasilkan. Oleh karena itu, majikan cenderung membatasi tingkat perjanjian kerja. Di sisi lain, bagi tenaga kerja, perjanjian kerja merupakan elemen kunci dalam memperoleh penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, serta untuk meningkatkan status dan martabatnya sebagai warga masyarakat.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam melindungi pekerja gig. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah membuat regulasi yang mengatur tentang gig economy, memfasilitasi dialog antara pekerja gig dan platform digital, dan memberikan edukasi dan pelatihan kepada pekerja gig tentang hak-hak mereka. Meninjau dari beberapa aturan yang menjadi dasar bagi Pekerja Harian Lepas memiliki karakteristik yang berdiri sendiri-sendiri, menyebabkan ketidakseimbangan antara peraturan-peraturan tersebut dalam isi pasalnya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya komunikasi menyeluruh antara pemerintah yang mengatur Pekerja Harian Lepas. Oleh karena itu, sampai saat ini, dapat disimpulkan bahwa pemerintah, sebagai pemegang kebijakan, juga dapat menjadi alasan mengapa belum terciptanya produk hukum yang relevan bagi pekerja gig.
Artikel ditulis oleh Nur Qomariyah, Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEB UB.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.