Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ikang Putra Anggara

ISIS Bertanggungjawab dalam Penembakan Massal di Moscow Rusia: Blessing In Disguise

Agama | Wednesday, 27 Mar 2024, 08:02 WIB

Oleh: Ikang Putra Anggara, SIP., M.Si.

(Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Univ. Baturaja / Mahasiwa Program Doktoral Ilmu Politik - Universitas Padjadjaran, Bandung)

Pada hari Jumat (22 Maret 2024), dunia digemparkan oleh sebuah tragedi penembakan massal dalam konser musik di Crocus dekat Moscow, Rusia. Jumlah korban jiwa dalam serangan teroris tersebut mencapai 133 orang dan banyak lagi yang mengalami luka-luka (Republika.co.id, 23/03/2024). Presiden Vladimir Putin bersumpah akan membalas dan menghukum semua pihak yang terlibat serta menjadi dalang dari kejahatan kemanusiaan tersebut. Intelejen dan keamanan Rusia mendeteksi pelaku penembakan telah mencoba untuk melarikan diri ke Ukraina. Sehingga dalam pidatonya Putin pun mempertanyakan, siapa yang menunggu teroris diperbatasan Rusia-Ukraina tersebut?

Informasi seputar penembakan massal ini masih terus dibincangkan, salah satu isu yang disoroti adalah tentang pelaku yang berasal dari kelompok Islam radikal. Isu terorisme dan radikalisme memang menyisakan pertanyaan dan keheranan yang luar biasa mendalam. Islam yang dianut oleh milyaran penduduk di muka bumi ini, tercoreng oleh kejahatan segelintir kecil manusia yang membajak atau mengatasnamakan agama. Satu hal yang cukup memperihatinkan adalah isu terorisme seringkali diidentikkan dengan hanya satu agama atau keyakinan, dalam konteks ini yaitu Islam. Seolah menjadi keharusan, jika muncul terorisme maka keterkaitan berikutnya dan menjadi tersangka harus berasal dari umat Islam. Secara teknis tentu saja aparat berwenang akan mengetahui identitas sang eksekutor jika sudah tertangkap, berasal dari negara mana (kebangsaan) dan apa agamanya. Namun, hukum tidak berhenti pada tataran permukaan seperti demikian, yang lebih penting tentu menemukan otak pelaku dan motif yang sesungguhnya dari sebuah kejahatan, sehingga penyelesaian masalah dapat lebih komprehensif.

Tentang narasi agama Islam identik dengan kekerasan sungguh adalah sebuah pengaburan fakta dan sejarah. Mungkin saja hal demikian karena yang diteropong adalah kondisi geopolitik di wilayah Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir yang mengalami gejolak dahsyat. Perang saudara, kudeta, dan kesewenang-wenangan aparat kepada masyarakat sipil menjadi tontonan sehari-hari. Jika kekerasan demikian yang dikapitalisasi oleh media mainstream tentu banyak orang akan tergiring opininya (terprovokasi). Padahal agama ini memiliki misi “rahmatan lil ‘alamiin”. Oleh karena itu, harus juga dilihat misalnya banyak kelompok minoritas yang tetap terlindungi di negara-negara mayoritas muslim. Atau dapat juga dibuat suatu perbandingan sejarah, ketika Islam sedang memimpin suatu peradaban dengan agama diluar Islam. Manakah yang lebih melindungi minoritas? Banyak pula orang-orang muslim yang tertindas dan terintimidasi oleh kelompok mayoritas di wilayah-wilayah tertentu. Sebagai contoh lihatlah apa yang terjadi dengan muslim di Rohingya, di Uygur-China, maupun di India. Tidakkah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok diluar Islam juga harusnya disebut sebagai radikalisme?

(Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Islam)

Konflik Wilayah

Beberapa tahun terakhir sangat terasa bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Tragedi yang lebih parah dan terus menelan korban jiwa adalah apa yang terjadi di Gaza, Palestina. Tak terhitung korban meninggal dunia bukan hanya orang dewasa, bahkan anak-anak kecil dan wanita juga tak mampu untuk diselamatkan. Kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan sudah sampai pada level tidak manusiawi. Banyak orang berkata, tidak harus menjadi muslim untuk berempati pada rakyat Gaza, cukup menjadi manusia. Berbagai kritik, kecaman, hingga tuntutan dari hampir seluruh negara di dunia agar pembantaian (genosida) terhadap rakyat Palestina dapat segera dihentikan. Namun apa daya, organisasi yang menghimpun seluruh negara di dunia yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tak mampu memberikan solusi konkret. Sangat kontroversial, ditengah propaganda dunia tentang hak asasi manusia (HAM), toleransi, dan kebebasan, yang tampil justru kebalikannya, sangat tidak adil.

Masyarakat akhirnya harus menyadari betapa hipokrit dan standar ganda perlakuan dunia atas apa yang terjadi dengan Ukraina beberapa waktu lalu dibandingkan dengan apa yang terjadi kepada Palestina hari ini. Kalaulah banyak kelompok protes atas invasi Rusia terhadap Ukraina, namun dunia harus jujur bahwa hal tersebut belumlah sebanding dengan apa yang diderita oleh rakyat sipil di Gaza. Konflik Rusia vs Ukraina masih dalam batasan perang yang wajar, karena sama-sama berhadapan antar “TENTARA” negara masing-masing. Lain hal dengan apa yang terjadi pada masyarakat Gaza, karena rakyat sipil dan anak-anak tak lagi dihiraukan, sangat tidak seimbang. Hukum internasional kalaupun ada, hingga saat ini masih diragukan efektifitasnya. Maka dunia hari ini dengan seluruh capaian ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, justru dalam konteks kemanusiaan sangat terpuruk. Keadilan hanyalah untuk negara yang kuat, negara besar. Akhirnya, yang berlaku adalah hukum rimba sebagaimana zaman lampau yang belum mengenal peradaban. Pihak yang kuat menindas yang lemah, yang besar memangsa yang kecil. Demikian kiranya potret kemajuan yang dipimpin oleh dunia Barat belakangan ini.

Konflik Rusia vs Ukraina diiringi selanjutnya dengan meningkatnya eskalasi ketegangan antara Rusia berhadapan dengan Amerika Serikat + NATO yang membela habis-habisan negara Ukraina. Terlepas dari pihak yang merasa benar atau dianggap salah, masing-masing negara tentu memiliki interest dalam hal keamanan, kedaulatan, ataupun kepentingan negaranya secara subjektif. Konfrontasi fisik antara Rusia dan Ukraina hingga saat ini belum dapat dinyatakan berakhir, terlebih mencapai sebuah kesepakatan damai. Oleh karena itu, berbagai manuver dan upaya saling mengintai merupakan bagian tak terpisah atau rangkaian konflik yang belum selesai (on going).

Blessing In Disguise

Ditengah perseteruan dua kekuatan besar dunia, muncul sebuah kelompok yang seolah ingin show of force yaitu, Islamic State of Iraq Suriah (ISIS). Kelompok ini memproklamirkan diri bahwa mereka bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Moscow tersebut. Sejalan dengan itu pula, narasi yang dikembangkan oleh AS bahwa dalang dari penembakan adalah ISIS. Begitu cepatnya AS mengambil kesimpulan? Adakah koordinasi terlebih dahulu antara ISIS dan AS? Atau dalam batasan tertentu, apakah wajar pengakuan dan informasi yang digulirkan pihak musuh bebuyutan Rusia tersebut? Secara logis justru sebaliknya, pelaku kejahatan seringkali bersembunyi dan ingin melarikan diri sehingga identitas dan jejaknya tidak dapat diketahui. Mengapa ISIS demikian narsis untuk mengakui kejahatan yang dilakukannya? Begitupun AS yang seolah-olah lebih tahu daripada pihak keamanan Rusia. Ada sesuatu yang terlampau vulgar dan seolah terlalu jauh mencampuri urusan domestik negara lain. Hal ini patut menimbulkan rasa curiga karena sangat tidak wajar dan penuh teka-teki.

Umat Islam sejak awal sangat menyadari bahwa ISIS tidak mencerminkan sedikitpun satu perbuatan yang senapas dengan nilai-nilai Islam. ISIS justru memusuhi dan banyak membunuh orang-orang muslim itu sendiri. Hal ini adalah satu variabel yang harus juga menjadi pertimbangan dalam memahami gerak langkah dan sepak terjang ISIS. Bagaimana mungkin ISIS dapat dipercaya sebagai sebuah gerakan yang lahir secara genuine mewakili aspirasi kelompok Islam. Sebagai ilustrasi perbandingan saja, misalnya dapat dimunculkan pertanyaan mengapa tak ada sedikitpun resistensi dan permusuhan ISIS ditujukan kepada negara-negara yang dinilai oleh sebagian besar umat Islam sebagai lawan? Justru ISIS tampil lebih nampak ingin menghancurkan negara-negara yang dihuni penduduk muslim itu sendiri? Maka pertanyaan besar tentang ISIS adalah sesungguhnya makhluk ini terbuat dari apa? Akankah pada akhirnya masyarakat dunia dapat mengetahui secara jelas dan terang benderang tentang jati diri ISIS yang sesungguhnya serta dapat memahami apakah ISIS hanyalah rekayasa dan alat propaganda dari suatu kekuatan besar dengan tujuan akhir menjadikan kelompok Islam sebagai kambing hitam.

ISIS yang menyatakan diri sebagai aktor pembunuhan massal di Moscow (terlepas apakah klaim tersebut adalah fakta atau hanyalah klaim palsu), namun tetaplah dapat membantu dan membuka sedikit demi sedikit tentang tabir/topeng yang dipakai ISIS selama ini. Karena setidaknya klaim dimaksud merupakan sebuah signal dan jejak langkah serta positioning ISIS dalam percaturan global. Ungkapan tersebut juga dapat memperkuat argumentasi bahwa kelompok teroris bernama ISIS ini tidaklah dapat dikaitkan sedikitpun dengan komunitas muslim diseluruh dunia. Mengapa demikian?

Alasannya karena seratus persen hampir dapat dipastikan, semua negara Islam maupun komunitas muslim di dunia dewasa ini tak memiliki masalah atau sengketa sedikitpun dengan Rusia. Karena itulah relevansi dan tujuan dari gerakan yang mencatut nama Islam tersebut dengan sendirinya kehilangan legitimasi. Sulit dicerna oleh akal sehat, dunia Islam yang sangat bersahabat dan memiliki kedekatan dengan Rusia akan menjadi bagian dari kelompok yang ingin mengangkat senjata dan memproklamirkan perang pada negara tersebut. Artinya adalah, jika ISIS menyatakan mereka bertanggungjawab atas apa yang terjadi dalam konser musik di Moscow tersebut, sejatinya ISIS hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah bagian dari komunitas muslim, justru sebaliknya adalah bagian dari musuh dan pihak yang berseberangan dengan Rusia.

Realitas faktual tentang kedekatan negara-negara mayoritas muslim dengan Rusia, misalnya dapat kita lihat dalam beberapa contoh antara lain, bergabungnya Arab Saudi dengan BRICS yakni sebuah aliansi ekonomi yang dimotori Brazil, Rusia, India dan China serta South Africa. Begitu juga negara Turki yang notabene adalah salah satu negara anggota NATO namun tidak ikut memberi sanksi dan tidak melakukan embargo kepada Rusia ketika terjadi konflik Rusia - Ukraina. Hal ini sangat jelas mengindikasikan bahwa Presiden Erdogan tidak ingin membuat perselisihan dengan Rusia. Negara seperti Indonesia, Iran dan Pakistan pun termasuk yang memiliki hubungan bilateral cukup baik serta tidak mengalami perselisihan dengan Rusia. Sekali lagi hal ini hanya untuk menunjukkan bahwa ISIS sama sekali tidak memiliki akar dalam komunitas muslim seluruh dunia.

Dunia saat ini pun menanti, untuk terjadinya sirkulasi dan perubahan peta kekuatan global yang puluhan tahun menjadi komoditas serta hegemoni dari satu kelompok saja. Hanya dengan itu, semua kebusukan dan kepalsuan negara yang mengendalikan arah dan isu global dapat diungkapkan ke permukaan bahkan dituntut pertanggungjawaban secara hukum. Semoga terwujud.

***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image