Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Emrido Muhamad

Terang Bulan Terang di Kali Tak Tercerna Dipikir Berkesan di Hati

Sastra | Friday, 14 Jan 2022, 23:25 WIB
Foto: Dokumentasi Pribadi

Nama Sahmardan (1932-2006) mungkin jarang dikenal oleh jagad sastra Indonesia ataupun Betawi. Siapa sangka bahwa nama itu adalah kepanjangan dari nama seorang sastrawan kelahiran Medan, Sumatera Utara yang menumpang hidup di tanah Betawi. Adalah S.M. Ardan yang biasa ditulis namanya pada berbagai media termasuk buku cerpen yang ia karang ini berjudul Terang Bulan Terang di Kali dan diterbitkan pada tahun 2007 silam.

Bang Ardan yang penulis selanjutnya akan sebut demikian, mulai berkarir sebagai penulis puisi dan sajak semasa sekolah setingkat sekolah menengah pertama. Dari situlah kemudian ia bergumul dengan Kang Ajip Rosidi, H.B. Jassin, dan kawananannya para seniman di Taman Ismail Marzuki. Bang Ardan pun semakin menunjukan bakatnya dalam menulis bukan saja menulis puisi dan sajak bahkan ia menjajaki dunia penulisan naskah atau skenario film dan cerpen.

Berasal dari keluarga yang ekonominya pas-pasan, Bang Ardan menjalani kehidupannya semandiri mungkin ditambah ia sudah menjadi yatim sejak usia 6 tahun. Kemampuannya dalam menulis pun menjadi tambahan rezeki yang terus mengalir hingga dikenal sebagai “ensiklopedi berjalan film Indonesia”. Tulisan-tulisannya telah dimuat di berbagai media misalnya Koran Berita Minggu Kisah pimpinan H.B. Jassin, Majalah Horison, dan lain-lain. Mungkin saja, Kota Medan sebagai tempat kelahirannya menjadi api semangat juang hidupnya sebagai perantau meski sebetulnya ia tidak merantau ke Jakarta karena memang secara genetis dan kultural Bang Ardan adalah orang Betawi. Bang Ardan dan keluarganya pernah tinggal di Kwitang, Rawamangun, dan kalau tidak salah ia pun wafat di Rawa Belong, Jakarta Barat.

Saya bukan penyuka sastra apalagi sampai pecinta atau kritikus, sebab itu sangat tidak tepat. Tulisan ini hanya sebagai ulasan saja sebagai penikmat sastra. Harus diakui secara jujur bahwa tulisan Bang Ardan jarang sekali menjalin cerita utuh bahkan kadang saya dibuatnya bingung tidak masuk dipikir dan berakhir tanpa penyelesaian. Tetapi semua itu seringkali tertutupi dengan cerita yang dibalut dengan suasana dan nuansa Betawi (Jakarta) tempo dulu. Sebagai contoh pada bagian pertama dengan cerpen yang berjudul Pulang Pesta, Bang Ardan banyak menukil benda dan budaya baik tangible atau pun intangible yang khas dengan masyarakat Betawi Jakarta (terutama Betawi Tengah). Mulai dari lampu minyak tanah yang umumnya digunakan pada waktu itu era 1950-an, sepeda yang masih menjadi barang mahal sehingga tokoh Bang Sanip dalam ceritanya harus menguncinya betul-betul meski akhirnya dapat dibobol dan tidak hilang.

Belum lagi bentuk intangible yang beberapa di antaranya masih eksis sampai sekarang misalnya permainan galasin dan nenek gerondong. Ada juga tradisi ngederes (mengaji) yang biasa dilakukan masyarakat Betawi setelah waktu Maghrib. Selain itu penggambaran pedagang rebusan (singkong, ubi, kacang, dan lain-lain) juga sebagai simbol bahwa mayoritas mata pencaharian masyarakat Betawi pada masa itu serta beberapa nama tempat yang kini sudah tidak dikenal contohnya Metropole.

Hal inilah yang membuat cerpen Bang Ardan yang tadinya seolah kurang dapat ditangkap dengan baik oleh nalar membuat pemahaman cukup sinkron dengan sentuhan lokalitas Jakarta tempo dulu. Tentu saja kalau pembacanya pernah cukup lama tinggal di Jakarta pada waktu tertentu sampai sekarang yang mengalami perubahan drastis ke arah modern. Penggunaan bahasa Betawi yang mayoritas masih digunakan sampai sekarang juga membuat larut dalam suasana bagi pembaca yang mengerti tentunya.

Menariknya yang menjadi perhatian saya adalah benda bernama sepeda yang sepertinya hari ini masih menjadi barang mahal bagi yang memilikinya. Bedanya kalau orang-orang dahulu menganggap sepeda adalah transportasi mudah dan cepat yang dimiliki oleh orang yang berkecukupan sedangkan saat ini orang-orang yang memiliki sepeda sebagai bagian dari gaya hidup dan kelihatan mewah dengan beredarnya merek-merek sepeda berkelas meski ada sebagian kecil orang-orang biasa memiliki sepeda untuk transportasi atau kegiatan sehari-hari.

Bagaimanapun saya sangat mengapresiasi setinggi-tingginya Terang Bulan Terang di Kali Cerita Keliling Jakarta yang diterbitkan Masup Jakarta. Sebab berkat salah satu karya ini sastra Betawi memiliki martabatnya dan tempatnya di kalangan pembaca luas. Karya ini juga seperti menjadi dokumentasi masa lalu tentang kehidupan sosial masyarakat kecil Betawi Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image