Intelektual Muda dan Kepekaan Sosial di Era Digitalisasi
Eduaksi | 2022-01-14 13:30:50Tulisan ini saya buat berangkat dari keresahan, sebab saya lebih suka menulis sesuatu berdasarkan apa yang telah saya amati, apa yang saya sudah lihat dan lewati, apa yang saya dengar dan juga ketahui sebelumnya. Sehingga harapan saya, pembaca tidak hanya disodorkan narasi atau opini yang kosong melainkan berangkat dari realitas sosial sehingga tulisan ini pada akhirnya bisa diterima, mudah dipahami dan semoga bermanfaat.
Disrupsi menjadi momok menakutkan bukan hanya pada dunia bisnis, tapi juga dunia digital, bahkan ihwal disrupsi ini sudah mulai merambah pada tatanan politik, sosial dan juga masyarakat. Siapa yang tidak tahu internet? Mulai dari penjual sayur, tukang ketoprak, siswa SD semua generasi sudah tahu internet, dan kebanyakan mereka juga mempunyai sosial media dan sebagiannya pengguna smartphone.
Tapi apakah saat mereka tahu internet, mereka betul-betul paham bagaimana penggunaan internet itu sendiri? Bagaimana menggunakannya dengan bijak? Bagaimana internet itu ternyata bisa menjadi bagian dari gaya hidup yang tidak terpisahkan?
Perlu adanya pemahaman dan pengawasan internet bagi mereka yang baru saja terjun, tidak hanya bagi anak-anak, orang dewasa yang newbie, orang tua kita mungkin yang baru saja melek teknologi, kita harus berikan arahan dan juga pembelajaran singkat tentang apa itu internet dan bagaimana mekanismenya. Dan juga pemaknaan mendalam tentang internet dan sosial media di dalamnya, bahwa bukan hanya untuk hiburan dan senang-senang.
Supaya apa? Supaya ketika mereka berselancar di internet, mempunyai akun sosial media, atau katakanlah mereka bertransaksi lewat internet mereka tidak mudah tertipu, mereka bisa bijak dalam berinteraksi di sosial media, dan tidak menimbulkan kegaduhan yang mungkin berangkat dari ketidak tahuan dan ketidak sengajaan. Maka itulah tugas kita.
Yang harus kita pahami adalah, bahwa dunia ini berkembang, manusia berubah, tapi ada satu yang harus selalu dijaga, yaitu nilai. Peradaban atau lebih singkatnya suatu tatanan sosial, yang berangkat dari perkumpulan, komunitas menurut teori sosial, itu semua dibangun oleh budaya yang lahir dari norma-norma. Kita telah banyak meyaksikan bagaimana imbas dari modernisasi, imbas dari globalisasi, dan imbas daripada disrupsi itu bisa menggoyahkan bahkan menimbulkan degradasi moral pada manusia itu sendiri.
Bagaimana sekarang media sosial kebanyakan dipenuhi oleh narasi kosong yang tidak mendidik, hal-hal yang seharusnya berada dalam ranah privat menjadi konsumsi banyak pihak, belum lagi skandal dan berita sensasional yang membuat bising media sosial yang bisa memecah belah bangsa, kini kita telah sampai pada apa yang disebut ghazwul fikr atau perang pemikiran.
Internet adalah instrument, untuk seseorang menyalurkan opininya, ide gagasannya, berinteraksi dengan orang-orang lintas negara, mengembangkan minat dan bakat, apapun bisa didapat melalui internet ini, yang jika dalam penggunaan yang tepat dan juga ditangan orang yang bijak maka yang timbul adalah kebaikan, tapi ketika instrument tersebut berada pada tangan yang salah, maka yang timbul hanyalah distopia dan kezaliman. Dewasa ini, bahkan untuk sekedar mengetahui tingkat kekayaan seseorang semua bisa dilihat dari gaya mereka berinteraksi di sosial media, apa yang mereka posting dan bahkan bisa memetakan mana orang kaya, orang menengah dan kategori miskin melalui jenis handphone yang digunakan.
Meski data ini belum akurat dan dinilai kurang pas, tapi kenyataannya seperti itu, bagaimana orang berlomba-lomba untuk bisa mempunyai iPhone, kontruksi sosial di dimasyarakat yang terbentuk adalah seseorang akan dikatakan orang kaya, kalau jenis handphonenya iPhone, ada yang memang untuk sekedar mengikuti trend, ada yang ingin eksis memakai iPhone karena tau itu dari brand besar dan ternama sehingga mereka butuh itu untuk pengakuan sosial di masyarakat dan sirkelnya, ada yang memang menggunakan iPhone karena berdasarkan kebutuhan.
Tapi ternyata, menjadi user smartphone tidak lantas juga membuat kita menjadi smartpeople. Banyak yang justru termakan oleh iklan dan sekedar mengikuti gaya hidup, sehingga penggunaan smartphone, katakanlah iPhone ini hanya sebatas untuk menunjukan eksistensi di sosial media, untuk mengunggah foto-foto aestethic di laman media sosialnya dan kurang memberikan maslahat bagi orang banyak.
Tidak jarang isinya hanya sekedar daily activity dan pamer kekayaan. Tak jarang orang-orang intelektual, mahasiswa sebagai elite masyarakat, atau para pejabat justru dirasa kurang memberikan warna-warna baik dan positif di sosial media, malahan belakangan ini narasi yang konstruktif justru dibungkam oleh para buzzer yang dipelihara oleh elite pemerintahan. Inilah bahaya era digital ketika pemerintah sudah berselingkuh dengan pengusaha teknologi, maka yang hadir adalah sikap kapitalistik.
Tentunya ini menjadikan catatan penting bagi penulis, kita semua khususnya mahasiswa/i pemegang tonggak peradaban, katalisator perubahan, intelektual muda yang “katanya” sebagai perwakilan masyarakat, untuk mengisi dan berpartisipasi aktif dalam mengisi kekosongan itu, memberi corak baru pada media sosial, laman internet dengan narasi-narasi membangun, ide gagasan kreatif, bukan hanya memamerkan gaya hidup, pencapaian yang fafifuwasweswos, padahal tidak ada aksi konkrit pada masyarakat, apatis terhadap issue-issue sosial. Ironinya negeri ini, ketika berbicara standar intelektual mereka semua sudah pada tingkatan yang paling atas, tapi semua berhenti hanya pada tataran teori.
Ketika bicara bagaimana aksi nyatanya? Ketika bicara ayo terjun kelapangan, mereka malah mengatakan, kamu saja duluan. Ah itu bukan dikotomi aku, atau ah ribet amat, nanti juga pasti ada yang mau bantuin lah. Padahal, yang harus kita sama-sama pahami adalah, dunia tidak hanya dihancurkan oleh orang jahat, tapi juga sumbangsih mereka yang menontonnya tanpa melakukan apa-apa. Itulah yang terjadi sekarang, orang-orang pintar sudah sibuk oleh smartphonenya, ternina bobokan oleh media sosial, sehingga menggerogoti kepekaan sosial. Dewasa ini, orang baik, orang pintar berkumpul saling menilai satu sama lain, menilai siapa yang terbaik, sibuk terlihat pandai, terlihat kaya dan terlihat hebat. Tiada energi untuk Bersatu.
Sementara kaum marjinal, orang pinggiran, orang jahat tidak sibuk meributkan nilai, mereka lebih padu. Sementara sisanya adalah manusia-manusia penonton yang kebingungan mengambil sikap, takut bertindak dan menikmati pertunjukan sirkus dunia ini. Sementara dunia terus berputar ke arah memburuk, banyak manusia non privilege membutuhkan bantuan ( sikap-pikiran dan tindakan ) manusia modern dengan segala ketakutan dan kebingungan arah mereka.
Mereka menjadi penakut karena terlalu banyak berpikir, terlalu banyak membaca juga merepost kata-kata bijak dari tokoh public. Mereka-mereka ini, mahasiswa sekarang dan intelektual muda lainnya secara pikiran sudah benar. Namun, sikap dan tindakannya belum. Karena kebijakan dan pengetahuan mereka terhenti hanya di pemikiran saja.
Kita bisa lihat saat ini, bagaimana ego validasi sosial manusia dan ego intelektual manusia berceceran, takut sekali tangannya kotor dan berkeringat, mereka hanya sibuk menambah koleksi kata-kata bijak dan buku-buku baru, tapi sebenarnya yang dunia butuhkan adalah kaum pemikir dan kaum privilege untuk tidak takut terlibat melakukan perubahan dunia lebih baik di era modernisasi ini. Terakhir dari penulis, sebuah legacy dari pengetahuan dan kebijakan adalah sikap juga tindakan nyata atas pengetahuan tersebut. Dunia tidak butuh orang pemikir yang “ nyaman “ di balik layar handphonenya, dunia dan masyarakat butuh orang yang berani melakukan perubahan untuk tatanan sosial yang adil Makmur dan lebih baik.
Ukhtukum Fillah
Milenia Ferlihanisa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.