Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Agama | 2022-01-14 11:05:37Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah
Pengangkatan Ali sebagai khalifah tidak seperti pengangkatan khalifah yang lain. Jika Abu Bakar diangkat dengan peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah, Umar diangkat dengan wasiat Abu Bakar, dan Utsman diangkat dengan hasil syura seperti yang diperintahkan oleh Umar, maka pengangkatan Ali sebagai khalifah ini berbeda.
Setelah peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan, kota Madinah dilanda ketegangan dan kericuhan. Walikota Madinah, al-Ghafiqi ibn Harb, mencari-cari orang yang pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Ali ditetapkan sebagai tokoh yang paling dipercayai umat setelah Utsman bin Affan.
Atas dasar itu, dipandang wajar apabila memilih Ali sebagai pemimpin dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali. Para sahabat mendesaknya agar dapat menyelesaikan kemelut yang menimpa mereka. Kondisi ini telah mengalami kekacauan dan para pemberontak telah menguasai wilayah tersebut.
Akhirnya, ia menerima peran kepemimpinan dan pembaiatan, meskipun ia tidak pernah memiliki keinginan untuk mengambil posisi itu. Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Utsman mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya.
Kebijakan-Kebijakan pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Pada masa kepemimpinan, Ali melakukan gebrakan dan kebijakan politik sebagai berikut, pertama menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis. Kedua, memecat Gubernur yang diangkat Utsman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru. Ketiga, mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Utsman bin Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul mal.
Selama kekhalifahan Ali, tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya, Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontokan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia serta mempercayainya daripada memikirkan administrasi negara yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam urusan korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, serta urusan administrasi peradilan. Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang. Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah menarik tanah-tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para pendukungnya dan hasil tanah itu diserahkan kepada kas negara. Kebijakan ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur, berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati, sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah. Ketika Ali menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam memimpin dunia Islam.
Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di tangan para sahabat Utsman dan keluarganya, maka wajar ia mengembalikannya ke kas negara. Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga menghalangi orang Syam enggan untuk membaiatnya sebagai khalifah. Kebijakan seperti ini ternyata menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan pemerintahan sehingga hampir sepanjang pemerintahan dapat dikatakan tidak pernah lepas dari konflik.
Akhir Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Terjadinya perang Jamal adalah konflik dari pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan tiga tokoh Islam yaitu Aisyah, Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Hal ini diakibatkan oleh kepentingan politik yaitu menjadi khalifah khususnya Abdullah bin Zubair. Perang Shiffin adalah perang khalifah melawan Muawiyah yang juga banyak korban sesama orang Islam yang diakhiri dengan arbitrase (tahkim) yang sangat merugikan pihak khalifah Ali bin Abi Thalib. Hal ini menimbulkan perpecahan tentara Ali yang mendukung tahkim dan menolak. Pihak yang menolak dikenal dengan khawarij.
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah. Diakhir pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib muncul khawarij, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya perpecahan yang dikenal dalam teologi Islam. Ahli Sejarawan Islam Syihritini pernah berkata, “Tidak ada masalah yang lebih banyak menimbulkan pertumpahan darah dalam Islam selain masalah kekhalifahan”.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.