Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image jok

MoodCapture, Aplikasi Ponsel Berbasis AI Mampu Deteksi Depresi dari Isyarat Wajah

Teknologi | Wednesday, 28 Feb 2024, 08:44 WIB
AI dapat bermanfaat bagi kehidupan. Foto: Pexels via republika.co.id.

SEBUAH aplikasi ponsel pintar baru menggunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi depresi dari isyarat wajah, membuka peluang bagi dukungan kesehatan mental digital secara real-time. Demikian laporan sebuah penelitian terbaru.

Para peneliti mempublikasikan hasil penelitian ini pada hari Selasa [27/2/2024] ke database pracetak arXiv, sebelum mempresentasikannya pada konferensi Association of Computing Machinery's CHI 2024 pada bulan Mei mendatang.

Kecerdasan buatan yang digabungkan dengan perangkat lunak pengolah gambar wajah dapat secara andal mendeteksi timbulnya depresi sebelum pengguna mengetahui ada sesuatu yang salah dengan dirinya, menurut para peneliti di Departemen Ilmu Komputer Dartmouth dan Fakultas Kedokteran Geisel di Hanover, New Hampshire, Amerika Serikat.

Sebuah prototipe aplikasi smartphone baru, bernama MoodCapture, menggunakan kamera depan ponsel untuk menangkap ekspresi wajah seseorang dan lingkungan sekitar selama penggunaan biasa, dan kemudian mengevaluasi gambar untuk mencari isyarat yang terkait dengan depresi.

"Kami melakukan penelitian ini untuk mengatasi kesenjangan kritis dalam metode tradisional untuk memantau dan mendeteksi depresi. Pendekatan tradisional sering kali melibatkan laporan diri dan penilaian klinis, yang dapat menjadi bias dan mungkin tidak dapat menangkap kompleksitas kondisi mental seseorang secara terus menerus," ujar salah seorang penulis pertama penelitian ini, Subigya Nepal, seorang kandidat doktor dalam ilmu komputer, kepada UPI melalui email.

"MoodCapture bertujuan untuk memanfaatkan ekspresi wajah yang tidak dijaga yang ditangkap selama membuka kunci ponsel secara rutin, membayangkan masa depan di mana AI dapat menilai suasana hati secara real time langsung di perangkat, memastikan privasi dan pemantauan kesehatan mental yang berkelanjutan," kata Nepal.

Dia mencatat bahwa langkah menuju metode yang lebih objektif dan tidak mengganggu ini menjanjikan deteksi dini depresi dan intervensi tepat waktu untuk individu yang berisiko.

Dalam sebuah penelitian terhadap 177 orang yang didiagnosis dengan gangguan depresi mayor, aplikasi ini dengan tepat mengidentifikasi gejala awal dengan akurasi 75%, kata para peneliti, dan mencatat bahwa hasil ini menunjukkan bahwa teknologi ini dapat segera tersedia untuk umum.

"Selama lima tahun ke depan, kita akan melihat teknik ini digunakan dalam pengaturan klinis dan sehari-hari untuk membantu orang-orang yang berisiko," kata penulis lain penelitian, Andrew Campbell, Profesor Ilmu Komputer Abad Ketiga Albert Bradley 1915 di Dartmouth.

"Satu dekade yang lalu, kami mencoba untuk melihat apakah gambar dari kamera depan ponsel dapat digunakan untuk memprediksi depresi dan gagal. Hari ini, kamera pada ponsel jauh lebih baik, dan model AI yang baru memungkinkan kita untuk pertama kalinya memprediksi depresi secara akurat," sambungnya Campbell.

Nepal menambahkan bahwa isyarat yang halus dan sering diabaikan dapat menjadi indikator yang berarti dari kondisi kesehatan mental. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kita mungkin dapat membuat deteksi depresi lebih mudah diakses dan tidak terlalu distigmatisasi dengan menanamkannya ke dalam struktur penggunaan teknologi sehari-hari tanpa memerlukan masukan pengguna secara eksplisit atau kunjungan klinis.

Meski demikmian, menurut Dr. Gustavo Medeiros, seorang psikiater di University of Maryland Medical Center di Baltimore, dan tidak terlibat dalam penelitian, penelitian ini masih bersifat pendahuluan, jadi perlu untuk menafsirkan hasil ini dengan hati-hati.

"Sampelnya relatif kecil, dan akurasi prediksinya kurang optimal, dan diagnosis depresi dilaporkan sendiri, yang tidak ideal," kata Medeiros.

Meski begitu, tambah Medeiros, studi percontohan ini menunjukkan bahwa jika upaya berkelanjutan dilakukan, kecerdasan buatan dapat digunakan dalam psikiatri dalam beberapa tahun ke depan. "Pengetahuan ilmiah biasanya berkembang sedikit demi sedikit, dan masih banyak langkah tambahan yang diperlukan hingga aplikasi ini bisa digunakan dengan baik," sebutnya.

Medeiros mengegaskan kebanyakan orang yang mengalami depresi tidak mencari bantuan, sehingga membangun hubungan dengan dokter kesehatan mental bisa jadi sulit karena beberapa alasan.

"Meskipun aplikasi ini tidak mungkin menggantikan tenaga profesional kesehatan mental, aplikasi ini dapat membantu orang dengan memberi tahu mereka bahwa mereka mungkin mengalami depresi, yang dapat mendorong mereka untuk mencari bantuan psikiater pada fase awal gangguan tersebut, sehingga meminimalkan dampak negatifnya," tutur Medeiros.

Medeiros menambahkan bahwa "depresi adalah penyakit kompleks yang memengaruhi ekspresi wajah pasien dengan berbagai cara."

Sebagai hasilnya, ia menyarankan agar penelitian di masa depan mengembangkan model prediktif yang lebih dari sekadar ekspresi wajah, melainkan pula memasukkan jenis data pasif lainnya seperti pola tidur dan berjalan, penggunaan media sosial, dan mengetik.

"Mempelajari model dengan beberapa sumber data kemungkinan akan meningkatkan akurasi prediksi," kata Medeiros.

Biomarker depresi, terutama yang direkam secara pasif dan tidak membutuhkan banyak usaha dari pengguna, jelas dibutuhkan. Demikian menurut Dr. Dan V Iosifescu, seorang profesor psikiatri dan anggota Institut Ilmu Saraf di Fakultas Kedokteran NYU Grossman, bagian dari NYU Langone Health di New York City.

"Penelitian saat ini memanfaatkan keberadaan dan kecanggihan ponsel pintar untuk menggunakan elemen-elemen seperti mengetik, suara, gerakan, akselerometer, dan tidur sebagai penanda tingkat keparahan depresi," ujar Iosifescu.

"Memiliki alat yang dapat diandalkan untuk mendeteksi tingkat keparahan depresi dapat membantu pasien dan dokter dengan menyoroti kebutuhan klinis pada kasus-kasus yang tidak terdiagnosis, perburukan klinis yang tak terduga atau keinginan untuk bunuh diri yang muncul," katanya.

Iosifescu menerangkan bahwa ekspresi wajah manusia adalah salah satu cara terbaik untuk mendeteksi emosi dan bahwa tingkat akurasi aplikasi 75% adalah sederhana. "Meskipun penulis menyatakan keyakinannya bahwa iterasi di masa depan dapat melewati ambang batas akurasi 90%, di mana pada saat itu aplikasi tersebut benar-benar akan berguna secara klinis," paparnya.

Dia memperingatkan bahwa penelitian ini juga memiliki potensi sisi gelap, karena prediksi suasana hati yang akurat dan pasif berpotensi digunakan untuk tujuan jahat oleh pemerintah otokratis dan oleh penjahat yang mencari korban berikutnya.

Tidak semua gejala depresi - seperti perubahan dalam tidur atau nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, kelelahan dan perasaan buruk tentang diri sendiri - dapat dievaluasi melalui foto. Begitu dikatakan oleh Allison Kranich, seorang konselor profesional klinis berlisensi di Rumah Sakit Northwestern Medicine McHenry di McHenry, Illinois.

"Mungkin pengenalan wajah dapat bermanfaat untuk tingkat depresi ringan dan subklinis, tetapi saya tidak dapat melihatnya secara signifikan mengubah perjalanan penyakit yang parah atau menyelamatkan nyawa mereka yang mengalami keinginan untuk bunuh diri," kata Kranich.

Dia menambahkan bahwa kita membutuhkan lebih banyak dokter yang merawat dan akses yang lebih baik ke perawatan kesehatan.***

--

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image