Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Sertifikasi Halal Harusnya Gratis

Agama | Tuesday, 20 Feb 2024, 10:29 WIB

Sertifikasi Halal Harusnya Gratis

Oleh: Dhevy Hakim

Sertifikasi halal mulai diwajibkan kepada semua pedagang makanan dan minuman termasuk pedagang kaki lima (PKL). Kementerian Agama mewajibkan sertifikasi halal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Sedangkan Peraturan Pemerintah ini dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Menurut keterangan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Muhammad Aqil Irham menyampaikan bahwa pelaku usaha wajib mempunyai sertifikat halal pada masa penerapan pertama aturan ini yang berakhir 17 Oktober 2024.

Mirisnya pemberlakuan sertifikasi halal ini terkesan adanya pemaksaan. Kesan pemaksaan terlihat dari ketentuan seperti sangsi hingga penarikan barang yang dijual jika sampai batas pengurusan sertifikat halal didapati para pelaku usaha maupun pedagang kecil tidak mempunyai sertifikat.

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu keberadaan sertifikasi halal saat ini menjadi penting. Sebab, syariat Islam telah mengatur mengenai makanan dan minuman yang halal dan yang haram. Jelaslah bagi setiap muslim dalam hal ini setiap yang dikonsumsi baik makanan dan minumannya dijamin halal. Namun bagaimana jika mendapatkan sertifikasi halal tidak mudah dan murah? Tentu saja peraturan tersebut semakin membebani rakyat.

Rakyat yang semula fokus berjualan, kini harus dibenturkan dengan adanya sertifikat halal. Adanya sangsi bagi mereka yang tidak memiliki sertifikat halal akan berdampak fataln yakni tidak bisa berjualan lagi. Walhasil, kondisi ekonomi bisa jadi akan semakin lesu.

Terkait pengurusan sertifikasi halal, memang dari pihak Kemenag sendiri telah memberikan informasi adanya sertifikasi halal secara gratis. Namun sayangnya negara hanya menyediakan sebanyak 1 juta layanan saja sejak Januari 2023. Jumlah ini sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan keberadaan PKL yang berkisar 22 juta di seluruh Indonesia. Artinya 21 juta pelaku usaha yang lainnya harus mengurus sertifikasi halal dengan mengeluarkan biaya. Lantas, bagaimana bila mereka tidak mampu? Tentu ini akan menyisakan persoalan baru.

Oleh karenanya pemberlakuan sertifikasi halal sudah semestinya diiringi dengan regulasi yang tidak memberatkan rakyat. Pemerintah seharusnya memberikan fasilitas terbaik untuk mempermudah pelaksanaan sertifikasi halal tersebut, terutama masalah biaya.

Sayangnya di sistem ala kapitalisme saat ini, mengharapkan adanya layanan dari negara yang tulus ikhlas sepenuh hati rasanya sulit. Cara pandang kapitalisme yang bertumpu pada untung rugi maupun manfaat telah mempengaruhi fungsi negara sebagai pelayan umat.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Khilafah sebagai pelaksana diterapkan syariat Islam akan memberikan jaminan halal atas apa saja yang akan dikonsumsi oleh semua warganya tanpa harus ribet mengurus sertifikasi kehalalan.

Setiap pelaku usaha terwarnai didalam pembuatan produknya dengan produk yang halal. Tanpa adanya sertifikasi halal, negara secara langsung mengontrol para pelaku usaha. Melalui qodhi hisbah yang bekerjasama sama dengan para polisi selalu meninjau langsung ke pasar ataupun di tempat pengolahan produk. Sebagai langkah pencegahan, negara akan memberikan ketegasan bagi siapa saja yang melanggarnya.

Non muslim dipersilahkan mengkonsumsi apa yang menurut aqidah agamanya dibolehkan. Namun, negara mengatur dengan tegas tidak boleh diperjualbelikan di area publik.

Dengan demikian, jaminan kehalalan hanya benar-benar dapat diraih jika sistem yang ditegakkan adalah sistem Islam. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image