Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anqiyaa Ahnaf

Nyantri Nyoblos

Kisah | Sunday, 18 Feb 2024, 16:53 WIB

Pertengahan Februari tahun 2024, suasana politik panas, persaingan sengit antar calon presiden dan wakilnya. Baliho memenuhi jalanan. Kaos-kaos partai dibagikan secara gratis. Bansos secara tiba-tiba meroket. Perbincangan di meja makan pun bergeser menjadi berbau politik. Ibu-ibu yang merubungi tukang sayur, para tukang ojek di pangkalannya, sampai para sopir grab. Hal ini menyentuh semua tingkatan masyarakat.

Sedangkan di tempatku, suasana tampak tenang seperti biasa. Bangun pagi pukul setengah tiga, dilanjut salat tahajjud, lalu membaca buku pelajaran, lalu salat subuh, dilanjut dengan majlis Al-Qur’an, lalu kelas kuliah yang dimulai pukul setengah delapan. Kurang lebih itulah potongan pagi hariku sebagai seorang mahasantriwati di sebuah sekolah tinggi berbasis pesantren di Sukabumi. Hampir tidak ada perbincangan tentang politik di sini.

Tunggu dulu. Ternyata tidak. Terhitung, kami menonton semua perdebatan capres dan cawapres. Ditambah dengan film dokumenter “Dirty Vote” yang keluar beberapa hari sebelum pemilu.

Meskipun kami berada jauh dari rumah kami masing-masing, tidak berarti kami tidak menggunakan hak suara kami. Karena bayangkan, jika kampusku memutuskan untuk tidak mengikuti pemilu, itu berarti lebih dari seribu suara terbuang percuma.

Maka dari itu, agar suara kami tidak disalahgunakan, pihak kampus memutuskan untuk memindahkan tempat pemilu.

Dari empat ratus mahasantriwati yang berasal dari luar sukabumi, kami disebar di berbagai kecamatan sekitar. Terhitung, ada tiga puluh tujuh mobil yang disewa untuk memfasilitasi kepergian kami ini.

Langit mendung, rintik-rintik kecil mulai berjatuhan membuat bercak di jilbab hitam yang kupakai. Mobil yang kami naiki melaju mantap menembus gerimis. Kami turun di pinggir jalan. Sebuah kertas HVS sederhana yang dilapisi plastik menjadi satu-satunya petunjuk kami.

Kami menyusuri jalan setapak dengan sebuah solokan besar di sampingnya. Buih busa dan limbah cat mengotori air sungai, sebuah pemandangan yang lumrah sekali di perkampungan Indonesia.

Setelah melewati kolam pemancingan dan juga beberapa rumah penduduk, akhirnya kami tiba di TPS. Itu adalah halaman rumah seorang penduduk, sebuah tenda dipancangkan di sana. Barisan meja panitia memenuhi satu sisi, di hadapannya ada empat kursi plastik berwarna merah serta beberapa kursi yang dirakit dari bambu. Di sebelahnya, dibatasi oleh sebuah papan triplek adalah kotak-kotak suara serta bilik kecil untuk memilih.

Kami mendatangi panitia, menjelaskan situasi bahwa kami bukan penduduk asli dan pihak kampus memerintahkan kami untuk menyoblos di sini. Petugas itu mengangguk, mengatakan seraya meminta maaf karena kami harus menunggu selama dua jam lebih. Itu peraturan yang diberlakukan bagi pemilih tambahan.

Menunggu selama dua jam bukan hal mudah untukku yang tidak suka menunggu. Untungnya, TPS itu terletak di depan sebuah masjid perkampungan. Ke sanalah kami berteduh. Sebuah masjid sederhana dengan barisan karpet merah dan minbar kayu.

Aku menghabiskan waktu dengan berteleponan dengan ibuku dan kakkakku. Lalu membuka short youtube dan google. Bosan dengan ponsel, aku memutuskan berjalan-jalan di dalam masjid. Menemukan satu buku khutbah jumat berbahasa Sunda, lalu iseng memberikannya ke temaku yang berasal dari Jawa Tengah. Kami tergelak mendengar pengucapannya yang sangat tidak tepat.

Kami pergi ke TPS sekali lagi, mendaftarkan nama, lalu duduk menunggu dipanggil. Salah satu panel mengambil foto kami. Aku tahu, gaya kami yang memakai kerudung hitam dan cadar itu tidak bisa dibilang biasa. Salah satu anak kecil bahkan berkata dengan polosnya, teteh dari Palestina? Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.

Proses memilih itu berlangsung sangat cepat. Begitu namaku dipanggil, aku maju untuk menerima dua kertas suara, lalu pergi ke salah satu bilik, mengambil paku dan menyoblos, lalu mencelupkan jariku ke botol tinta. Resmi sudah aku menyoblos untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image