Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Ketika Minyak Goreng Berkuasa

Politik | Thursday, 13 Jan 2022, 10:54 WIB
republika.co.id

Ironi! Dibawah kuasa minyak goreng, negeri pengekspor minyak sawit terbesar di dunia ini pun terpaksa menjadi pesakitan. Harga melambung, publik menjerit, emak-emak mengomel. Resolusi hidup yang sejahtera di 2022, tertampar realitas keras di awal tahun.

Hidup memang tidak mudah, bukan sekedar metaverse sebuah kehidupan baru di dunia digital, sebagaimana yang ditawarkan secara virtual oleh facebook. Pemenuhan paling dasar dari hirarki kebutuhan manusia ala Maslow adalah soal hajat fisik, perut kenyang.

Dengan atas nama kurva permintaan dan penawaran, publik terpaksa tunduk menerima. Kuasa akumulasi modal, membuat kita tidak mampu mengendalikan, apa yang sesungguhnya menjadi sumberdaya milik kita sendiri. Tamsilnya, tikus mati di lumbung padi.

Kapitalisme itu nama bungkus besarnya, terselubung dalam samar disebut ekonomi pasar -eufemisme tanpa merubah makna, kita adalah objek. Sebagaimana diterangkan Claude Jessua, Pengantar Kapitalisme, 2015, landasan utamanya nilai tambah dan sifat tamak.

Keberadaan negara, sebagai wujud dari kehendak untuk hidup dalam tujuan bersama sebagai makhluk sosial tercederai. Prinsip melindungi kepentingan publik, dalam kerangka bangunan res-publica yang seharusnya mengurusi kepentingan publik sontak lenyap.

Padahal menurut kajian Darwis, Dialektika Politik Lokal di Indonesia, 2015, gagasan tentang kehidupan sejahtera secara bersama, bersemayam dalam rumusan kehendak merdeka, yang diinstitusionalkan melalui bentuk republik, sebagai sebuah senyawa tidak terpisah.

Perihal minyak goreng, cabai, hingga harga telur terlihat sulit dikendalikan. Padahal pada soal yang hampir serupa, pemerintah dapat menghentikan ekspor, bahkan memaksa produsen batubara memenuhi kebutuhan domestik, memasok pabrik setrum PLN.

Lantas bagaimana publik berdaya? Satu-satunya cara adalah dengan pemahaman yang penuh akan literasi politik, bahwa kekuasaan itu adalah jalan hidup bagi kebaikan bersama -bonum commune, bukan untuk kepentingan segelintir elit semata.

Sementara kesulitan menyapa penduduk, yang nilai kelayakan hidupnya hanya naik tipis berdasarkan upah minimum. Sebagian wajah aktor politik menghiasi layar kaca dengan berita kasus korupsi OTT. Pada saat bersamaan, elite politik sibuk memoles diri, kampanye tersembunyi dan penjajakan dini bagi pentas politik 2024. Prinsipnya, terkenal dan terpilih.

Publik butuh kecerdasan politik, melihat track record, memastikan janji bukan semata euphoria kampanye dan slogan kosong, melainkan komitmen untuk memastikan bahwa seluruh warga bangsa menjadi fokus dari perhatian pembangunan, bukan hanya fisik juga soal sejahtera batin.

Sekali lagi harga minyak goreng yang membumbung, bukan semata tentang urusan lambung, ini juga tentang lumbung suara aspirasi publik yang harus dikanalisasi melalui para wakilnya, yang secara satire hanya mau mendengarkan kehendak audiens pemilih disaat tahun pemilihan saja.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image