Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahiduz Zaman

Ujaran Kebencian Online: Fenomena Mirip Penyakit Menular di Era Digital

Edukasi | Friday, 02 Feb 2024, 05:51 WIB
Ilustrasi ujaran kebencian online. (Freepik/rawpixel.com)

Dalam era digital saat ini, kita menyaksikan bagaimana media sosial telah bertransformasi menjadi arena utama untuk diskursus publik. Namun, di balik kemudahannya dalam menghubungkan orang dan menyebarkan informasi, terdapat sisi gelap yang semakin mengkhawatirkan: penyebaran ujaran kebencian.

Artikel oleh Mihaela Popa-Wyatt yang berjudul "Online Hate: Is Hate an Infectious Disease? Is Social Media a Promoter?" yang diterbitkan pada November 2023 di Journal of Applied Philosophy, membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika penyebaran ujaran kebencian sebagai fenomena yang menular, mirip dengan penyakit infeksius.

Dengan membandingkan model kontagion sederhana dengan model kontagion kompleks, Popa-Wyatt menawarkan wawasan baru dan strategi mitigasi untuk mengatasi masalah ini. Pendekatan unik ini tidak hanya mengundang kita untuk mempertimbangkan ulang bagaimana kita memahami ujaran kebencian dalam konteks media sosial tetapi juga bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat menghadapi dan meresponsnya dengan cara yang lebih efektif dan berbasis bukti.

***

Artikel Mihaela Popa-Wyatt merespons dengan cermat realitas yang sering diabaikan: ujaran kebencian bukan sekadar ekspresi individual yang terisolasi, melainkan fenomena sosial yang menyebar seperti penyakit menular. Dengan menggunakan lensa kontagion penyakit, Popa-Wyatt memperluas pemahaman kita tentang bagaimana ujaran kebencian berkembang di media sosial, menawarkan perspektif yang mendalam tentang mekanisme penyebarannya.

Model kontagion sederhana, yang memperlakukan ujaran kebencian sebagai sesuatu yang menyebar dari individu ke individu melalui kontak langsung, terbukti tidak memadai untuk menjelaskan kompleksitas dan kecepatan penyebaran dalam ekosistem digital. Sebaliknya, model kontagion kompleks, yang mengakui peran jaringan sosial dan dinamika grup dalam penyebaran ujaran kebencian, menawarkan wawasan yang lebih kaya dan potensi solusi yang lebih efektif.

Penelitian ini mengungkap bahwa media sosial bukan hanya medium pasif yang memfasilitasi komunikasi, tetapi pemain aktif yang memengaruhi dinamika penyebaran ujaran kebencian. Algoritma yang mendorong interaksi pengguna dan memaksimalkan retensi dapat tidak sengaja mempromosikan konten yang provokatif atau memecah belah, termasuk ujaran kebencian. Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk 'viralitas' ujaran kebencian, di mana pesan beracun menemukan jalur yang lebih cepat dan lebih luas untuk menyebar.

Kontribusi Popa-Wyatt tidak hanya terbatas pada analisis masalah tetapi juga dalam mengidentifikasi strategi mitigasi yang berbasis bukti. Dengan mengakui bahwa pendekatan tradisional untuk moderasi konten dan pembatasan akses mungkin tidak cukup efektif dalam mengatasi ujaran kebencian yang bersifat viral, artikel ini menyarankan perlunya strategi yang lebih inovatif. Ini termasuk mengembangkan algoritma yang lebih bertanggung jawab, yang dapat mengenali dan membatasi penyebaran ujaran kebencian tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.

Lebih lanjut, Popa-Wyatt menekankan pentingnya pendidikan digital dan literasi media sebagai alat pencegahan. Mengajarkan kepada pengguna bagaimana mengenali dan merespons secara kritis terhadap ujaran kebencian dapat mengurangi keefektifan dan daya tariknya. Ini mendukung argumen bahwa solusi jangka panjang terhadap ujaran kebencian online memerlukan perubahan pada level individu, komunitas, dan platform.

Artikel ini juga mempertanyakan tanggung jawab moral dan etis platform media sosial dalam mengatasi ujaran kebencian. Dengan menggali lebih dalam tentang bagaimana platform dapat secara tidak sengaja memfasilitasi penyebaran ujaran kebencian, Popa-Wyatt menantang mereka untuk menjadi lebih proaktif dalam peran mereka sebagai wali dari ruang publik digital. Ini bukan hanya tentang mengembangkan alat teknis untuk memerangi ujaran kebencian, tetapi juga tentang membangun etos dan kebijakan yang mendukung diskursus publik yang sehat dan inklusif.

***

Dalam menghadapi tantangan ujaran kebencian online, artikel Mihaela Popa-Wyatt memberikan wawasan yang berharga dan memetakan jalur menuju solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dengan membandingkan model kontagion sederhana dan kompleks, penelitian ini tidak hanya memperluas pemahaman kita tentang dinamika penyebaran ujaran kebencian tetapi juga menggarisbawahi peran penting yang dimainkan oleh media sosial dalam proses tersebut. Saran yang diajukan, mulai dari pengembangan algoritma yang bertanggung jawab hingga peningkatan literasi digital, menunjukkan sebuah pendekatan multi-faset yang menargetkan akar masalah serta gejalanya.

Menyadari bahwa tidak ada solusi tunggal yang dapat mengatasi masalah kompleks ini, Popa-Wyatt menekankan pentingnya kerja sama antara platform media sosial, pengguna, dan pembuat kebijakan. Kesimpulan dan saran yang ditawarkan mengajak kita semua untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan lebih inklusif.

Dengan demikian, artikel ini tidak hanya berkontribusi pada diskursus akademis tetapi juga memberikan panduan praktis bagi siapa saja yang berkeinginan untuk memerangi ujaran kebencian dalam kehidupan digital mereka. Melalui pemahaman yang lebih mendalam dan tindakan yang terinformasi, kita dapat berharap untuk meminimalisir dampak negatif dari ujaran kebencian di media sosial, memastikan bahwa teknologi yang dimaksudkan untuk mendekatkan kita tidak justru memisahkan kita lebih jauh lagi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image