Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Misbah Ardhi Widodo

Investigasi Identitas Non-Biner dalam Perspektif Islam

Lainnnya | Wednesday, 24 Jan 2024, 15:27 WIB

Dalam kajian terhadap gender, tentu harus menghadirkan istilah seks agar diketahui korelasi di antara keduanya. Menurut Rose Mcdermott dan Peter K. Hatemi, keduanya memiliki istilah yang berbeda. Gender diistilahkan sebagai aspek nonbiologis (aspek sosial dan budaya) yang berkaitan dengan sifat laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (feminis). Kemudian seks dipahami sebagai refleksi biologis yang merujuk pada fungsi reproduksi manusia, seperti hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis. Jadi, gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas atau feminitas seseorang dan seks lebih menekankan pada aspek biologi seseorang.

Berdasarkan kedua istilah di atas, diketahui adakalanya seseorang dapat memiliki preferensi identitas gender yang berbeda dari kategori biologis di mana mereka dilahirkan. Ambil saja contoh: dimungkinkan bagi laki-laki untuk memiliki sifat feminis (perempuan) atau menyukai sesuatu yang disukai perempuan, seperti boneka.

Gender juga diasumsikan berhubungan dengan berbagai definisi peran biner, ciri kepribadian, dan identitas dari manusia. Menurut Rose Mcdermott dan Peter K. Hatemi, Selain pengaruh genetik asli, konstruksi gender juga bisa diakibatkan oleh budaya sosial masyarakat. Maka dalam hal itu gender menyangkut tentang pengekspresian gender seperti cara berpakaian, bertingkah laku, dsb. Di daerah skotlandia misalkan, penggunaan rok telah menjadi pakaian bagi pihak laki-laki.

Membahas tentang gender. Ada sebuah fenomena tentang identitas gender Non-Biner yang dianggap sebagai fenomena baru dan kontemporer di dunia. Namun, fakta sejarah menunjukkan, bahwa gender non-biner ini sudah ada sebelum era sekarang. Dalam tradisi adat bugis di Indonesia misalnya, ada gender Bissu yang dianggap sebagai perwakilan seluruh spektrum gender; bukan laki-laki dan bukan perempuan. Atau di dalam komunitas masyarakat India bernama hijra: gender ke-tiga. Telah disebutkan dalam literatur kuno, Kama Sutra, komunitas ini telah ada pada masa 400 SM dan 200 M (Lihat artikel: A Brief History of Hijra, India’s Third Gender).

Non-Biner atau non-binary diartikan sebagai identitas gender yang tidak dapat digambarkan secara ekslusif kepada gender laki-laki maupun perempuan. Non-biner juga termasuk bagian dari komunitas LGBT. Di Barat, sebagai wilayah yang selalu mempropagandakan HAM, non-biner telah diafirmasikan sebagai identitas gender ke-tiga, selain laki-laki dan perempuan. Aneh tetapi nyata, bisa di temukan di media sosial, non-biner ini menyangkut juga identitas yang mengatasnamakan selain manusia, seperti halnya mengakui dirinya itu robot, alien, titan, dsb.

Non-Biner ini merupakan kecenderungan seseorang akibat ketidakmampuannya untuk mengidentifikasi diri terhadap gender biner, sehingga ada yang menolak konsep gender atau menjadi kompilasi dari seluruh spektrum gender. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketidakstabilan dan fluktuasi diri terhadap gender. Bisa dikatakan non-biner adalah kelainan identitas gender dan merupakan penyakit psikis (mental disorder).

“I identify as non-binary, because I do not identify with either gender” Ungkap Rui, seorang mahasiswa non-biner di salah satu Universitas di New Jersey

Mengacu pada arti umum di atas, orang-orang yang interseks (Khunsa) termasuk ke dalam bagiannya. Karena orang-orang interseks (Khunsa) memiliki kebingungan dalam mengindentifikasi jenis kelaminnya yang ganda, sehingga banyak dari orientasi seksualnya hanya mengikuti perasaan yang ada dalam internal diri mereka.

Ada problematika mengenai apakah transgender termasuk bagian gender non-biner atau bukan. Dalam permasalahan ini, sesungguhnya transgender itu berbeda dari non-biner; sama seperti kelompok bissu (non-biner) yang berbeda dari calabai (banci). Transgender hanya mengacu pada ketidakmampuan mengidentifikasi diri terhadap gender yang telah diberikan saat lahir, sehingga ia menjadi entitas gender yang bertolak belakang dari gender aslinya dengan seutuhnya. Sementara non-biner merupakan kombinasi dari biner gender atau tidak mengakui adanya konsep gender. Namun, dalam beberapa kasus, orang non-biner mengakui dirinya juga transgender, sebab ada persamaan antara non-biner dengan transgender, yaitu sama-sama memiliki orientasi seksual yang berbeda dari lahir; terkadang pula orang non-biner memilih gender yang bertolak belakang dari gender aslinya secara utuh. Sebuah penelitan di Amerika menunjukkan, rata-rata non-biner cenderung didominasi oleh kalangan muda. Namun, non-biner akan menyadari dirinya berubah menjadi transgender pada umur yang lebih tua.

Beredar dalam video-video yang tersebar dalam media sosial mengenai suara orang-orang non biner, bahwasanya orang-orang non-biner memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan identitas mereka melalui linguistik, yaitu menggunakan kata they/their/them atau zir/zer/xe and friends (gender-netral biner) sebagai kata ganti she/he.

Kata ganti netral sudah ada pada abad ke-19. Dennis Baron, pada bukunya What’s Your Pronount?: Beyond He or She, menulis ada lebih 200 gender-neutral pronouns, termasuk di dalamnya kata ganti “hir”. 200 kata ganti tersebut diajukan di antara abad ke-19 atau pada tahun 1970. David lindsay misalnya, menciptakan pronoun ae/aer/aers untuk ras alien di dalam novelnya A Voyage to Arcturus pada tahun 1920. Masih banyak lagi tokoh-tokoh yang menciptakan kata ganti baru dan masing-masing orang memiliki kata gantinya masing-masing; jika merambah kepada job/pekerjaan. Semisal guru, maka mereka hanya ingin dipanggil “teacher” saja atau jika mereka polisi, mereka tidak ingin disebut policeman/policewoman, melainkan police office.

Orang non-biner merasa risih jika mereka bergaul bersama orang cisbiner; sebutan bagi orang yang identitas gendernya sesuai dengan jenis kelamin (normal). Karena seringkali orang cisbiner memanggilnya dengan she/he atau Ms/Mrs, dsb. Mereka marah apabila dipanggil dengan pronoun yang merujuk pada gender tertentu. Selain itu, dengan adanya pengungkapan identitas melalui bahasa inilah, mereka berharap masyarakat dapat memanggil mereka dengan panggilan yang netral, sekaligus menerima keadaan mereka. Karena seringkali non-biner mendapat pendiskriminasian dari masyarakat. Pendiskriminasian ini sering dijumpai dengan mengatasnamakan agama.

Dalam masyarakat, agama merupakan pokok sentral kepercayaan masyarakat dalam menetapkan norma-norma kehidupan, sehingga apapun yang bertentangan dengan agama, masyarakat langsung menentang keras, tanpa melihat latar belakang dari suatu kejadian. Hal ini terjadi apabila nash-nash agama dipahami secara radikalis dan spasial. Padahal jika dilihat dari segi HAM dan undang-undang, semua kelompok manusia tetap mendapatkan posisi yang layak dan tidak boleh didiskriminasikan.

Dalam hal ini, Islam sebagai agama rahmatallil ‘alamin, memadukan konsep humanisme dengan nilai-nilai agama. Fenomena non-biner menurut Islam, tetap dipandang sebagai sesuatu yang menyelisihi kodrat manusia, sehingga dibutuhkan penegasan/larangan mengenai entitas non-biner agar tidak terjadi penormalisasian. Di sisi lain, Islam juga memandang non-biner sebagai bentuk gangguan/penyakit psikis yang memerlukan penanganan.

Orang non-biner adalah orang yang terkena penyakit psikis, rentan mengalami masalah-masalah mental (cemas, ketakutan, ketidakpercayadirian), bahkan banyak dari mereka mengalami suicide (bunuh diri) yang berawal dari adanya konflik batin atau ketidaknyamanan terhadap identitas mereka. Tentu hal ini berimplikasi pada penyesuaian seorang muslim dalam menyikapi orang non-biner dan pengupayaan untuk memberikan penanganan khusus kepada mereka. Oleh karena itu, meskipun ditegaskan untuk tidak mengafirmasikan mereka, tetapi jangan sampai mendiskriminasikan mereka, karena itu akan membuat psikis mereka bertambah parah. Inilah bentuk kepedulian dan kasih sayang Islam terhadap orang non-biner.

Islam akan mengapresiasikan orang non-biner ketika ia berjuang untuk tetap menjaga fitrahnya: berusaha bertaubat daripada orang yang lebih memilih mengganti alat reproduksinya dan pakaiannya (transgender). Perjuangannya itu bisa disebut “jihad”: jihad melawan diri sendiri. Dalam Islam apapun segala bentuk jihad akan digantikan oleh pahala.

Adanya stigma negatif di masyarakat terhadap non-biner ini perlu diperbaiki dan dihilangkan. Disebabkan karena stigma tersebut berdampak pada jiwa psikis orang non-biner, sehingga membuat mereka tidak percaya diri terhadap diri mereka sendiri, merasa down. Perlu dipahami pula orang non-biner tidak menghendaki dirinya memiliki identitas gendernya seperti itu. Itu adalah ujian bagi mereka dan kita sebagai manusia harus menyikapi keberadaannya dengan bijak..

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image