Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anita Puspa Abida

Sumber Ilmu dan Kebenaran dalam Islam

Agama | Monday, 25 Dec 2023, 22:26 WIB
https://www.pexels.com/id-id/foto/tampilan-jarak-dekat-dari-teks-di-kertas-318451/

Pengertian Ilmu

Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang itu. Ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm dan diambil dari kata ‘alamah yang berarti tanda, simbol, atau lambang yang dengannya sesuatu itu dapat dikenal. Akan tetapi, ’alamah juga berarti pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk, dan gejala. Karenanya ma’lam (jamak ma’alim) berarti petunjuk jalan atau sesuatu yang menunjukkan dirinya atau dengan apa seseorang ditunjukkan. Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha dari para ilmuwan muslim atas persoalan duniawi dan ukhrawi dengan bersumber kepada wahyu Allah. Pada dasarnya, hakikat ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran secara ilmiah. Namun, dalam al-quran dan hadits hakikat ilmu pengetahuan bukan semata-mata untuk mencari kebenaran yang bersifat ilmiah, melainkan untuk mencari-tanda-tanda, kebajikan-kebajikan, dan rahmah.

Sumber Ilmu dalam Islam

Dalam menuntut ilmu pengetahuan tersebut ada dua sumber yaitu wahyu dan akal (Rahman Assegaf: 2005:94). Yang antara keduanya tidak bisa dipisahkan dan tidak boleh bertentangan karena manusia yang dikaruniai akal pikiran diberi kebebasan untuk mengembangkan akalnya selama dalam pelaksanaannya tetap mengikuti tuntutan wahyu dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Walaupun pada prinsipnya Allah SWT merupakan sumber pengetahuan utama yang memberikan pengetahuan kepada manusia.

Oleh karena itulah munculnya sifat ilmu pengetahuan, ada yang bersifat abadi (perenial knowledge) yang mana tingkat kebenarannya bersifat absolut (mutlak), karena sumbernya dari Allah berupa ayat-ayat Quraniyah yang menghasilkan pengetahuan keagamaan (religious sciences), misalnya berupa al-quran, sunnah, siroh nabi, tauhid, hukum Islam, bahasa Arab, dan ada yang bersifat perolehan yang yang mana tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena sumbernya dari akal pikiran manusia berupa ayat-ayat kauniyah, yang menghasilkan pengetahuan rasional (rational sciences). Misalnya ilmu seni sastra, bahasa, ilmu filsafat, pendidikan, ekonomi, politik, sejarah, dan lain-lain.

Kedudukan akal dalam Islam sangat penting karena akal merupakan wadah yang menampung akidah, syari’ah, serta akhlak. Dengan menggunakan akal secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah, maka manusia akan merasa selalu terikat dan dengan sukarela mengikatkan diri pada Allah serta dapat mewujudkan sesuatu karena akal adalah kehidupan dan hilang akal adalah kematian. Namun, kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu yang fungsinya untuk meluruskan akal.

Agama mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada masyarakat manusia melalui wahyu. Artinya, ajaran tersebut berasal dari Tuhan karena itu bersifat benar dan tidak akan berubah-ubah sekalipun manusia mengubahnya menurut perkembangan zaman. La merupakan dogma tidak akan diubah menurut peredaran masa. Wahyu merupakan sabda Allah kepada pilihan-Nya untuk disampaikan kepada kepada manusia sehigga menjadi pedoman kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.

Sebaliknya, ilmu pengetahuan tidak kenal dan tidak terikat pada waktu karena ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional. Ibnu Khaldun atau yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Islam membagi ilmu menjadi dua macam, yaitu ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah. Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang berdasarkan otoritas, seperti hadits, tasawuf, dan ilmu kalam. Sedangkan, ilmu aqliyah adalah ilmu yang berdasarkan akal, seperti matematika dan fisika.

Selain Ibnu Khaldun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang merupakan keturunan Rasulullah SAW. Juga membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu iluminasi atau pengenalan dan ilmu sains atau pengetahuan. Dari kedua pendapat ini cukup dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya tentang syariah dan akidah saja, tetapi kita umat muslim juga diwajibkan menuntut ilmu lainnya.

Kebenaran dalam Islam

Kebenaran merupakan dambaan semua makhluk di dunia ini. Jika keseluruhan atau sebagian dari suatu agama tidak benar, kita harus menolaknya. Memelihara sesuatu kepercayaan yang tidak benar, walaupun kepercayaan itu berfaedah bagi masyarakat adalah merupakan suatu sikap yang bertentangan dalam diri sendiri. Jika sesuatu agama tidak benar berarti agama itu jahat. Jika Tuhan tidak ada, berdoa itu hanya membuang-buang waktu saja dan tidak dapat dipertahankan. Juga jika tidak ada kehidupan sesudah mati, sebaiknya kita mengetahui hal tersebut dengan bukti-bukti yang nyata dan selekas mungkin. Berdasarkan hal tersebut maka ada tiga hal yang sering dipahamkan yaitu perkataan filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama.

Filsafat berarti memikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri. Orang yang belajar filsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, tetapi lebih penting dari itu ia dapat berpikir. Begitu juga orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup secara agama. William Temple berpendapat bahwa filsafat itu ialah menuntut ilmu pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama adalah menuntut pengetahuan untuk beribadah.

Selanjutnya, beliau berpendapat bahwa pokok dari agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi perhubungan antara seseorang manusia dengan Tuhan. Perbedaan lain antara agama dan filsafat bahwa agama banyak berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang. Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut sesuatu aliran paham yang lain biasanya bersikap lunak, karena dia akan sanggup meninggalkan pendiriannya jika merasa dirinya salah. Sebaliknya, seorang yang beragama biasanya mempertahankan agamanya itu habis-habisan karena ia sudah mengikat dirinya dan mengabdikan kepadanya.

Perbedaan Konsep Kebenaran dalam Islam dengan Barat

Istilah kebenaran dalam perspektif Barat telah dirumuskan dalam beberapa terma. Secara epistemologi kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia berarti terlepas dari perhatian, tidak jelas, dan tidak terlihat. Kemudian, berubah positif menjadi sesuatu yang dipahami, ditemukan, tampak, dan terlihat. Dari hal ini, kebenaran dipahami sebagai sebuah daya terang yang ditemukan akal. Dalam bahasa Latin adalah veritas berarti pilihan atau kepercayaan akal. Sedangkan dalam Inggris adalah truth yang berarti apa yang dipahami dan dipilih akal. Artinya, disini rasio/akal merupakan sumber dan alat ukur yang paling diprioritaskan dalam mengukur suatu kebenaran di Barat khususnya Barat Modern.

Oleh karena itu, salah satu ciri khas dari konsep kebenaran di Barat adalah sifatnya yang relatif dan berubah-ubah, dikarenakan sumber dalam mencari kebenaran mereka hanya berpusat kepada rasio yang diperkuat oleh spekulasi filosofis. Hal ini dimulai semenjak kehadiran Rene Descartes sebagai pengusung paham rasionalisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa satu-satunya alat untuk mengukur kebenaran adalah rasio sebagaimana adagiumnya.

Kebenaran dalam Islam sebenarnya merupakan terma sentral dalam kajian epistemologhi, karena secara umum setiap orang memahami bahwa tujuan pengetahuan dalam Islam adalah untuk mencapai kebenaran. Syamsuddin Arif dalam orasi ilmiahnya menyampaikan bahwa menurutnya pengetahuan (ilmu) dan kebenaran dalam Islam setali tiga mata uang. Pertama, mengetahui sesuatu yang benar adalah ilmu. Kedua, ilmu adalah sesuatu yang benar itu. Ketiga, memiliki ilmu adalah menggenggam kebenaran. Oleh karena itu, salah satu ciri khas konsep kebenaran dalam perspektif Islam adalah hubungannya dengan ilmu.

Dalam islam, mengenai proses perolehan ilmu dan kebenaran, islam mengakui peran Tuhan dan manusia secara bersamaan. Tuhan adalah sumber ilmu dan kebenaran yang hakiki, sehingga tidak ada ilmu dan kebenaran yang dicapai manusia tanpa proses "pengajaran" Tuhan. Namun, di waktu yang sama manusia berperan aktif dalam proses pencapaian ilmu tersebut. Sedangkan, Tuhan dalam hal ini tidak semerta-merta melepaskan pengawasan, justru sebaliknya Dia membekali manusia dengan kemampuan intelegensi yang mampu menginterpretasi dunia inderawi di mana terkandung dalam jiwa kreatif yang dimiliki-Nya.

Dengan demikian, konsep kebenaran Barat berbeda sekali dengan pandangan ilmu pengetahuan dalam Islam, karena di Barat tujuannya hanya semata kepentingan duniawi saja atau materi saja, sedangkan bagi Islam terkait dengan amal ibadah masing-masing. Jadi, yang membedakan cara berpikir Islami dari cara Barat adalah keyakinan yag tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image