Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AMIRUL ARDY BRILIAN

Peran Akad-akad Kerjasama Syariah dalam Peningkatan Hasil Pertanian di Indonesia

Ekonomi Syariah | 2023-12-23 15:21:27
Resource: https://pixabay.com/id/photos/sawah-pegunungan-lahan-pertanian-1807574/

Pertanian di Indonesia masih menjadi sektor andalan masyarakat dan perekonomian Indonesia. Pada tahun 2022, sektor ini memberikan kontribusi sebesar 12,91% terhadap PDB sehingga menjadi komponen terbesar ketiga setelah industri dan pertambangan. Dengan luas panen 10,61 juta hektar, para petani lokal mampu memproduksi beragam bahan baku, terutama beras, dan hasil panennya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hasil kumulatif Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 memperkirakan petani mampu menghasilkan 55,67 juta ton, meningkat 1,25 juta ton dibandingkan produksi tahun 2021 yang hanya 54,42 juta ton.

Walaupun pertanian termasuk salah satu sektor unggulan pada peningkatan perekonomian nasional, nyatanya masih tekendala dalam mendapatkan pembiayaan dari perbankan dikarenakan persyaratan administrasi dan tahapan assessment perbankan yang sulit ditembus oleh petani-petani kecil, terlebih yang belum memiliki lahan untuk bercocok tanam. Hal tersebut tentu bukan tanpa sebab, sektor pertanian dalam kacamata lembaga keuangan dinilai sebagai sektor yang berisiko tinggi (high risk) sehingga membuat mereka sangat pertimbangan dalam memberikan pembiayaan.

Ditengah maraknya problematika tersebut, Ekonomi Syariah hadir dengan sepaket akad/kontrak kerjasama yang menjadi solusi dan bisa diterapkan pada sektor pertanian di Indonesia. Akad/kontrak itu diantaranya Akad Mudzara’ah dan Akad Mukhabarah. Ada apa dengan akad tersebut? Apa yang menjadi keunggulannya? Pertanyaan tersebut barangkali muncul dalam setiap benak pembaca yang membaca tulisan ini. Pertama ialah akad mudzara’ah, menurut Imam Asy-Syafi’i adalah transaksi antara penggarap (petani) dengan pemilik tanah untuk menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan bibit dari pemilik tanah.

Menurut sebagian ulama fikih termasuk para ulama Syafiiyyah hukumnya ialah boleh (mubah). Penyelenggaraan mudzarah dapat diwujudkan melalui ketentuan yang ada yaitu pengembangan sikap gotong royong dimana pemilik tanah dan petani saling menguntungkan dengan rasa keadilan dan keseimbangan. Jika petani memiliki akses terhadap sumber daya keuangan melalui perjanjian kerja sama yang mengikuti aturan Islam, maka hal tersebut akan memberikan insentif bagi petani untuk mengembangkan teknologi dan peralatan serta mendiversifikasi tanaman mereka. Hal ini tentunya dapat mengurangi pengangguran, meningkatkan produksi pertanian dalam negeri, dan mendorong pembangunan sektor riil yang mendukung pertumbuhan makroekonomi.

Kedua ialah akad mukhabarah. Mukhabarah merupakan kerja sama antara pemilik perkebunan dengan petani bagi hasil yang hasilnya dibagi-bagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kerja sama dalam bentuk mukhabarah menitik beratkan pada peran petani yang tidak hanya berperan sebagai pengelola namun juga menyediakan benih dan seluruh biaya produksi mulai dari pembelian benih, penanaman hingga panen. Hukum mukhabrah adalah diperbolehkan dalam Islam. Petani dihargai atas kerja kerasnya dengan menerima persentase hasil panen. Akad mukhabarah tidak sama dengan akad mudzakarah, yang membedakannya ialah dari segi permodalannya. Pada Mudzakarah, petani hanya bertugas menanam dan merawat tanaman hingga panen, sementara modal pembibitan berasal dari pemilik lahan. Pada Mukhabarah, petani memiliki tugas yang lebih kompleks dimana mulai dari biaya pengadaan benih hingga biaya perawatan dan panen ditanggung oleh petani sebagai penggarap lahan.

Persamaannya ialah pada akad mudzakarah dan akad mukhabrah sama-sama menggunakan sistem bagi hasil dalam membagi keuntungan antara pemilik lahan dan petani (penggarap lahan). Besaran bagi hasil tergantung pada kesepakatan diawal, bisa jadi 50% : 50 % atau 75% : 25% atau angka presentase lainnya yang bisa menyesuaikan. Dengan adanya sistem bagi hasil tersebut dapat memberikan keleluasaan pada kedua belah pihak dalam menentukan porsi bagi hasil secara berkeadilan.

Namun, sangat disayangkan karena akad-akad kerjasama tersebut masih diaplikasikan antar masyarakat tanpa adanya lembaga intermediasi atau lembaga keuangan yang dalam hal ini tentunya lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan syariah lebih tertarik menerapkan skema pembiayaan atau akad mudharabah, murabahah dan musyarakah daripada akad mudzara’ah dan mukhabarah, karena menilai memiliki resiko tinggi seperti gagal panen dan resiko pertanian lainnya. Menurut penulis alasan tersebut tidak sepenuhnya tepat karena sebenarnya justru lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah memiliki peluang yang besar di sektor pertanian. Buktinya ialah dari sejak dulu sampai saat ini, masyarakat Indonesia pada beberapa suku telah mengenal bentuk kerjasama pertanian tersebut namun dengan penyebutan atau istilah yang berbeda. Contohnya yaitu di kalangan masyarakat Jawa, mereka memiliki tradisi maro/paro dan dikalangan masyarakat Bugis terdapat tradisi passanra. Akad-akad tersebut pengaplikasiannya sangat mirip dengan akad mudzakarah dan akad mukhabarah.

Kesimpulannya, akad mudzakarah dan akad mukhabarah merupakan solusi bagi peningkatan kesejahteraan petani lokal dan solusi bagi para petani maupun calon petani yang terkendala pada kepemilikan lahan dan modal. Namun, agar manfaat akad kerjasama tersebut bisa dirasakan oleh mayoritas petani di Indonesia maka diperlukan dukungan lebih besar dari pihak Lembaga Keuangan Syariah dalam memberikan layanan pembiayaan syariah dengan akad mudzakarah dan akad mukhabarah tersebut.

Resources:

Rusanti, E., & Sofyan, A. S. (2023). Implementasi Konsep Ekonomi Islam pada Sektor Pertanian berbasis Kearifan Lokal dan Tantangan Pembiayaan di Perbankan Syariah. Jurnal Ilmu Perbankan dan Keuangan Syariah, 5(1), 29-51.

Wahyu, A. R. M. (2019). Sistem Penggarapan Lahan Pertanian Masyarakat: Perspektif Ekonomi Islam. Al-Azhar Journal of Islamic Economics, 1(1), 1-15.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image