Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salsabiila Ramadhani Putri

Wanita dan Pembangunan Ekonomi: Studi Antropologi tentang Peran Gender dalam Masyarakat Tradisional

Pendidikan dan Literasi | Friday, 15 Dec 2023, 21:09 WIB

Kesetaraan gender seringkali kurang disadari kepentingannya oleh masyarakat secara umum. Meskipun telah terjadi banyak kemajuan dalam upaya mencapai kesetaraan gender selama beberapa dekade terakhir, diskriminasi berbasis gender masih terus terjadi di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Ketidaksetaraan gender mencakup aspek yang sangat luas, termasuk ketidaksetaraan dalam hak akses dan kendali terhadap sumber daya, kesempatan ekonomi, kekuasaan, serta hak partisipasi politik. Meskipun perempuan dan anak perempuan secara langsung menanggung beban terberat dari ketidaksetaraan ini, dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan pada akhirnya merugikan semua individu.

Pada dasarnya, peran gender dalam kesetaraan gender mengacu pada kondisi yang sama bagi pria dan wanita dalam memperoleh peluang serta hak – haknya sebagai individu, serta kesetaraan dalam menikmati hasil pembangunan, termasuk di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, kesetaraan dan keadilan gender sebaiknya terlaksana di seluruh sektor masyarakat tanpa memandang status ekonomi, baik itu kaya maupun miskin, serta tanpa memandang apakah masyarakat tersebut bersifat modern atau tradisional. Namun faktanya, baik masyarakat yang modern maupun yang tradisional dapat mengalami dampak ketidakadilan gender tersebut.

Wanita di pedesaan Indonesia, seringkali ditempatkan dalam peran penyedia pangan sesuai dengan norma gender tradisional yang berlaku di lingkungan hidup mereka. Kaum wanita juga diharuskan bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan mengelola rumah tangga. Selain itu, kaum wanita di daerah pedesaan dapat terlibat dalam bercocok tanam di lahan mereka dan mengumpulkan berbagai bahan makanan, obat – obatan, serta kebutuhan harian lainnya dari hutan (atau kombinasi keduanya dalam sistem wanatani). Mereka mungkin terlibat dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar dan ekonomi yang lebih luas, menyediakan makanan untuk keluarga sambil mendapatkan penghasilan tambahan. Peran mereka juga mungkin mencakup pelestarian pengetahuan budaya, memastikan keberlanjutan komunitas, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan sosial di dalam komunitas. Sedangkan di sisi lain, laki – laki cenderung dianggap atau memiliki kewajiban sebagai pencari nafkah utama (jika memiliki pekerjaan), dan umumnya mereka lebih mungkin memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan terkait sumber daya alam.

Wanita di pedesaan sering mengalami keterbatasan akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan pendapatan yang stabil, dan mereka sering dihadapkan pada hambatan – hambatan yang mendorong mereka untuk mengorbankan potensi pendapatan yang lebih baik. Ketentuan hukum dan norma sosial sering menjadi hambatan bagi mereka untuk memiliki properti atau menandatangani kontrak keuangan tanpa persetujuan suami. Kecuali dalam beberapa kasus, program – program yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan umumnya lebih ditujukan kepada laki – laki, yang mengakibatkan perluasan kesenjangan pendapatan antara pria dan wanita.

Dalam Islam, antropologi dan sosiologi agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan praktis untuk mengkomunikasikan pengalaman hidup beragama. Dalam al-Qur'an sebagai contohnya, terdapat ayat – ayat yang berkaitan dengan hubungan antar manusia dan penyebab – penyebab terjadinya kesengsaraan. Semua hal tersebut hanya dapat dijelaskan secara memadai jika individu yang memahaminya memiliki pengetahuan tentang konteks sejarah sosial pada waktu ajaran agama itu diciptakan. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari dan menerapkan antropologi dan sosiologi agama dalam kehidupan sehari – hari.

Wanita dalam kedudukannya di mata Islam, mendorong agar semua individu tanpa memandang jenis kelamin untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan, Rasulullah Muhammad SAW menekankan pentingnya pengetahuan dan pendidikan juga untuk kaum wanita. Wanita dalam Islam juga memiliki hak untuk bekerja dan mengelola aspek ekonomi mereka sendiri. Meskipun demikian, terdapat pemahaman bahwa keluarga merupakan prioritas utama bagi wanita, dan pekerjaan mereka seharusnya tidak menghalangi tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri. Selain itu, wanita dalam Islam berhak memiliki dan mengelola kekayaan mereka sendiri. Mereka juga memiliki hak mendapatkan bagian warisan sesuai dengan ketentuan syariah yang ada. Namun, interpretasi dan penerapan ajaran Islam dapat berbeda – beda di antara berbagai komunitas dan budaya. Beberapa komunitas mungkin menerapkan ajaran tersebut dengan pandangan yang lebih progresif, sementara yang lain mungkin memiliki interpretasi yang lebih konservatif. Oleh karena itu, pembahasan mengenai peran wanita dalam Islam seringkali memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap konteks budaya dan interpretasi agama tertentu.

sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.gesuri.id%2Fpemerintahan%2Fpartisipasi-perempuan-dalam-pembangunan-ekonomi-meningkat-b1T7oZfaM&psig=AOvVaw2nXufV_Yxu7FnkNoponVNj&ust=1702735357859000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CBIQjRxqFwoTCPD6ttXNkYMDFQAAAAAdAAAAABAD

Pada tahun 2013, persentase partisipasi wanita dalam angkatan kerja mencapai 36,36 persen. Keterbelakangan kaum wanita dalam sektor ketenagakerjaan juga terlihat dari kontribusi pendapatan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan laki – laki, dan juga persentase pengangguran yang lebih tinggi di kalangan wanita. Dan berdasarkan jenis pekerjaan, mayoritas wanita menduduki status sebagai pekerja keluarga atau bekerja tanpa mendapatkan gaji. Pada tahun yang sama, sekitar 29 persen kaum wanita berstatus sebagai pekerja yang berusaha, 19 persen sebagai buruh atau karyawan, 21 persen sebagai pekerja bebas, dan 31 persen sebagai pekerja keluarga.

Dengan demikian, peran wanita dalam pembangunan ekonomi masih dibatasi dengan keterbatasan atau minimnya peluang bagi kaum wanita untuk bekerja dan berusaha, disertai dengan rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi, informasi, dan teknologi, termasuk keterbatasan akses ke pasar, kredit, dan modal kerja. Meskipun mereka sudah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penghasilan keluarga, namun mereka masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Oleh karena itu, perlu untuk mendorong pemerintah untuk aktif terlibat dan melibatkan masyarakat dalam pembangunan ekonomi di lingkungan mereka dengan cara menciptakan peluang kerja baru yang menguntungkan baik wanita maupun pria. Hal ini dapat dicapai melalui upaya penciptaan lebih banyak lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan perbaikan standar hidup untuk masyarakat. Seharusnya, peluang pekerjaan diberikan dengan adil kepada pria dan wanita tanpa adanya hambatan berdasarkan peran gender yang dapat menghalangi salah satu jenis kelamin untuk berpartisipasi secara produktif untuk pembangunan ekonomi di lingkungan mereka.

Pemerintah sebenarnya telah mengimplementasikan prinsip pengarusutamaan gender di seluruh sektor pembangunan, sebagai bagian dari perencanaan jangka menengah dan tahunan. Kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan dalam lima tahun mendatang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi kaum wanita dalam proses politik dan jabatan politik, meningkatkan tingkat pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta sektor pembangunan lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup wanita dan menyempurnakan kerangka hukum yang melindungi setiap individu dari tindakan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Namun, pada kenyataannya mereka dalam berbagai sektor ekonomi masih mengalami hambatan terkait dengan akses, partisipasi, kendali, dan manfaat yang diperoleh dari proses pembangunan tersebut. Oleh karena itu, kaum wanita memerlukan dukungan agar tidak mengalami ketertinggalan yang signifikan dibandingkan dengan kaum pria.

Kendala – kendala budaya dan tradisi di lingkungan desa seringkali mengakibatkan kaum wanita berada dalam posisi subordinat dan diabaikan, terutama ketika terlibat dalam urusan domestik. Pada saat tersebut, tanggung jawab atas segala aspek domestik cenderung menjadi beban wanita, menyebabkan kaum wanita kekurangan waktu untuk pengembangan dirinya. Meskipun fenomena ini umum terjadi di daerah pedesaan, memungkinkan juga untuk terjadi di daerah perkotaan. Kejadian kekerasan berbasis gender ini nyatanya tidak mengenal batasan tempat. Hal tersebut sering kali menjadi ancaman serius terhadap kaum wanita di pedesaan. Jika situasi ini terus berlanjut, akan sulit mencapai kemajuan pembangunan. Pembangunan suatu negara dimulai dari desa, dan kemajuan desa sangat memengaruhi kemajuan suatu negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, untuk mencapai pembangunan yang berkesetaraan gender, penting untuk mengatasi ketidakadilan gender yang masih banyak terjadi di desa, bahkan pada tingkat keluarga. Dengan demikian, diperlukan pula upaya sosialisasi mengenai hubungan gender yang berkesetaraan, yang seharusnya dimulai dari tingkat keluarga.

Referensi

Dedi, W., (2023). “PENDEKATAN ANTROPOLOGI DAN SOSIOLOGI DALAM STUDI ISLAM”. Diakses dalam http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ihya/article/view/17900/7460 , Tanggal 4 Desember 2023 Pukul 20.45 WIB.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2015). “Analisis Gender Dalam Pengelolaan Konflik Sumberdaya Hutan”. Diakses dalam https://elearning.menlhk.go.id/pluginfile.php/854/mod_resource/content/1/analisis%20gender/peran_gender.html , Tanggal 5 Desember 2023 Pukul 14.30 WIB.

Khaerani, S. N. (2017). Kesetaraan dan Ketidakadilan Gender dalam Bidang Ekonomi pada Masyarakat Tradisional Sasak di Desa Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. QAWWAM, 11(1), 59–76. https://doi.org/10.20414/qawwam.v11i1.723 .

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image