Karhutla Butuh Solusi Nyata, Bukan Sekedar Pencitraan Dunia
Agama | 2023-12-14 13:42:44By : Sarie Rahman
Dalam acara COP28 di Paviliun Indonesia yang di selenggarakan di Expo City Dubai, Uni Emirat Arab pada Kamis (30/11/2023) lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marver) Ad Interim Erick Thohir menjelaskan bahwa pemerintah benar-benar serius melakukan upaya maksimal terhadap perlindungan kelestarian hutan dari segala hal yang mengancamnya seperti perubahan iklim, ilegal logging, kebakaran hutan dan deforestasi. Sebagai buktinya saat ini titik api secara signifikan telah berkurang hingga 82 persen dari 1,6 juta hektar di tahun 2019 menjadi 296 hektar di tahun 2020. Begitu pula dengan laju deforestasi hutan Indonesia juga alami penurunan dari angka 3,51 juta hektar di tahun 1996-2000 menyempit menjadi 1,09 juta hektar di 2014-2015 dan di tahun 2018-2019 menyempit lagi menjadi 470 ribu hektar. Dan pada periode 2019-2022 deforestasi hutan Indonesia turun 75% menjadi 104 ribu hektar, angka terendah sejak tahun 1990 (Rakyat Merdeka.id, 30/11/2023).
Dalam pemaparannya disampaikan pula keberhasilan Indonesia atas program perhutanan sosial yang tujuannya menurunkan angka kemiskinan serta solusi atas konflik kepemilikan lahan dan memberikan akses kepada masyarakat lokal demi pengoptimalan potensi hutan dengan target 12,7 juta hektar hingga 2024.
Senada dengan pernyataan Menko Marver, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyampaikan hal yang sama bahwa untuk menekan kebakaran hutan, Indonesia tengah melakukan berbagai usaha. Indonesia telah menunjukkan kepemimpinannya pada peristiwa El Nino dibidang iklim, sebagai bukti bahwa Indonesia berhasil melewati kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan kebakaran gambut, hanya 16% dari total kebakaran hutan dan lahan yang terjadi, itu pun tidak menimbulkan kabut asap lintas batas (CNBC Indonesia, Jakarta 30/11/2023).
Ancaman Nyata bagi Generasi Mendatang
Pernyataan tersebut mendapatkan kritik tajam dari pengamat masalah perempuan, anak dan generasi dr. Arum Harjanti, beliau menyatakan sekalipun tidak ada asap lintas batas dalam artian tidak mengganggu negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, namun generasi tetap terimbas, karena asap tersebut justru akan sangat mengganggu rakyat Indonesia sendiri terlebih bagi yang berada di daerah terkena dampak ( MNews, 04/12/2023). Padahal sepanjang Januari hingga Agustus 2023 karhutla terjadi meluas di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau dan Aceh.
Masih menurut dr. Arum, salah satu dampak nyata bahaya kabut asap karhutla adalah meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang menyerang saluran pernafasan yang bisa menyebabkan batuk, pilek, nyeri tenggorokan, hingga demam. Risiko akan jauh lebih besar jika penderitanya anak-anak, dikarenakan imunitasnya yang masih proses perkembangan. Terlebih bagi anak-anak yang memiliki masalah di saluran pernafasan seperti asma, asap karhutla yang banyak mengandung partikel organik dan gas berbahaya, akan sangat membahayakan bahkan bisa berdampak pada organ tubuh lain seperti gangguan pada paru dan jantung, iritasi mata dan kulit. Tidak hanya itu, asap karhutla juga membahayakan lansia dan ibu hamil. Belum lagi efek jangka panjang yang ditimbulkannya, jika karhutla terjadi cukup lama akan berdampak sangat buruk pada kesehatan anak-anak di masa mendatang, apa jadinya calon generasi penerus bangsa jika kondisinya demikian. Harusnya ancaman bahaya karhutla mendapatkan perhatian serius dari negara, tidak bisa diabaikan begitu saja.
Fakta yang ada karhutla selalu terjadi di Indonesia, dalam laman Kemenkes disebutkan karhutla luas pernah terjadi pada tahun 1997 dan 2015 hingga dinyatakan darurat kabut asap. Sebuah keniscayaan jika karhutla selalu terjadi di negara ini, karena pembukaan lahan menjadi perkebunan akan terus terjadi, pasalnya di negeri ini konsensi hutan oleh perusahaan- perusahaan besar yang dimiliki pengusaha mendapat ijin negara. Pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan sawit yang berhektar- hektar luasnya itu di legalkan melalui undang- undang negara, seperti UU No.39 Tahun 2014 serta yang terbaru UU No.6 Tahun 2023 memuluskan jalan pengusaha membangun perkebunan sawit. Artinya, risiko anak-anak terpapar zat berbahaya yang membahayakan kesehatan mereka akan terus dirasakan hari ini dan masa mendatang, bahkan janin dalam kandungan pun turut terancam.
Derita Generasi Berkepanjangan, Dampak Regulasi Negara
Tidak hanya itu, dampak dari konsensi hutan oleh perusahaan – perusahaan besar tersebut acapkali membuat kerugian pada rakyat. Tidak sedikit perusahaan yang membangun kebun kelapa sawit di atas lahan masyarakat tanpa membayar kompensasi, tak jarang mereka malah melakukan kekerasan pada warga dan mengintimidasi mereka, atau ada banyak pula perusahaan yang membangun kebun kelapa sawit di kawasan hutan tanpa ijin. Alhasil rakyat tetap dalam derita karena karhutla akan terjadi berulang setiap musim panas, bila musim hujan derita kebanjiranlah yang akan menimpa warga.
Sungguh miris manakala negara lebih mengutamakan tingginya investasi dibanding nasib generasi yang sejatinya kewajiban baginya. Tatkala kesehatan generasi kalah dengan kepentingan perusahaan- perusahaan yang merupakan sebagian kecil rakyat Indonesia. Kebijakan negara nyata menimbulkan penderitaan generasi, salah satunya kesehatan. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme, menjadikan negara hanya sebatas pembuat regulasi untuk memuluskan investasi oligarki tapi abai terhadap kesejahteraan dan keamanan rakyatnya.
Butuh Solusi Sistemis, bukan Sebatas Pencitraan
Jika pemerintah memang serius bertekad mewujudkan nol karhutla, satu-satunya solusi adalah penerapan sistem Islam dalam naungan institusi daulah Islam. Disamping mampu menjadi solusi bagi masalah terkait hutan dan lahan, Islam juga mampu mengatasi masalah sosial akibat bencana lainnya. Karena sistem Islam memiliki prinsip dalam hal penjagaan hutan dan lahan, yaitu pertama, melarang terjadinya jual beli hutan gambut, karena hutan merupakan harta milik umum apalagi jika ia termasuk paru-paru dunia yang sangat dibutuhkan seluruh umat manusia.
Kedua, sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut, haram hukumnya jika negara menjadi regulator bagi kepentingan korporasi seperti perkebunan sawit.
Ketiga, dalam Islam menyebabkan terjadinya bencana bagi jutaan nyawa manusia disengaja ataupun karena kelalaian adalah satu keharaman, begitupun dengan karhutla yang merupakan bencana bagi jutaan orang. Rasulullah SAW pernah bersabda:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain” (HR.Ahmad dan Ibnu Majah).
Begitu juga Islam tidak mengenal hak konsensi, hak eksklusif (himmah) hanya diberikan pada negara dengan tujuan dipergunakan untuk kemaslahatan Islam dan seluruh umat manusia. Daulah Islam juga akan bertindak tegas dalam hal sistematika tata guna lahan dan pemanfaatannya, baik sebagai pemukiman atau sebagai lahan pertanian. Khalifah akan bersegera untuk mengambil bagian paling besar dalam menyelesaikan masalah seperti misal terjadinya kabut asap, karena kewajibannya melindungi rakyat.
Maka tidak ada solusi lain dengan penjagaan sempurna selain kembali pada kehidupan Islam dalam naungan Khilafah, yang menyelesaikan setiap persoalan umat hingga ke akarnya, bukan sekedar solusi tambal sulam, tidak juga sekedar pencitraan di negara lain sementara dampak yang dialami rakyat sendiri terlupakan. Karhutla termasuk bentuk kedzaliman sistem politik oligarki, dimana penguasa lebih berpihak pada pemilik modal ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Kembali pada kehidupan Islam dalam naungan Khilafah akan mengakhiri penderitaan yang dialami generasi, tidak akan ada lagi ancaman bahaya kabut asap. Normalisasi fungsi ekologi dan hidrologi gambut yang dibutuhkan dunia pun akan memiliki ruang yang sempurna.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.